BARA NOSTALGI(L)A
TAK ADA KATA lain yang pantas diucapkan orang mengenai rumah tanggaku duabelas tahun ini kecuali “extremely excellent!” atau “kelewat asyik” kata orang Betawi.
Kalau Anda tanya tentang suamiku, bapak dari ketiga anakku, pun tak ada kalimat lain kecuali “dia mah tipe idola”, “orang rumahan”, atau bahkan “tahunya kerja, capek, pulang, dan tidur!”, serta “tak kenal dugem[1]”.
Dia ganteng, berkupis tipis, banyakan diam, dan baru nerocos
kalau sudah marah dan tak kuat lagi menahan sabar. Tukang insinyur
macam dia memang lebih banyak bekerja dengan tangan dan otaknya,
ketimbang dengan bibirnya.
Mungkin Anda akan bertanya nakal: apa tidak bosan memiliki rumah tangga yang ayem-tentrem seperti itu di tengah zaman penjungkirbalikan nilai dan norma yang mendera dengan teramat keras sekarang ini?
Izinkanlah
aku hanya menjawabnya dengan seulas senyum. Stt, lelaki pendiam itu bak
gunung berapi yang sedang tidur. Di dalamnya, tersimpan magma. Entah
berapa jilid dan versi Kama Sutra[2] tersimpan di benaknya. Terus terang saja, hidup berpasangan dengannya bagaikan berpacaran seumur hidup, sungguh!
Malam
itu tepat peringatan ke-13 tahun malam perkawinan kami. Seperti
biasanya, kami tidak merayakannya, kecuali melaksanakan tugas rutin
suami-istri. Itu pun karena aku yang memulainya, dengan cara sesederhana
memakai baju tidur tipis warna pink kesukaannya.
St,
bedanya ialah, tentu saja, seperti biasanya, kami melakukan eksplorasi
gaya baru bersanggama. Sungguh, seperti tadi telah aku tuliskan: Entah
berapa jilid dan versi Kama Sutra tersimpan di benaknya. Malam
itu, setelah melepaskan semua benda yang terbuat dari benang dari
tubuhnya dan ... tubuhku, ia mengambil sarung kesayangannya dan
menyodorkannya kepadaku.
“Tari Plesiran,” katanya.
Anda
ingin tahu? Itu nomor tari “sedikit kuna” dari khasanah tontonan rakyat
yang mengeksplorasi sarung. Di dalam sarung, penari perempuan menari
berkebaya dan berkain panjang motif gendongan bayi, sedangkan yang lelaki bercelana panjang, kemeja panjang, serta topi putih yang diikati sapu tangan. Tari Plesiran
itu diangkat ke pentas oleh Yulianti Parani pada tahun 1972 serta
dibawakan oleh Farida Sjuman dan Trisapto di Taman Ismail Marzuki (TIM)
Jakarta.[3]
“Sarung memang punya berbagai kemungkinan,”
tulis pakar tari Edi Sedyawati. Seniman Betawi Nasir pernah pula
memanfaatkan sarung ketika mendemonstrasikan nomor tari Topeng Betawi bersama Ipon, juga di TIM, pada tahun 1976. Yang pasti, imitasi gerakan tari Plesiran
itu ke dalam adegan ranjang hanyalah berguna sebagai pembangkit selera.
Selanjutnya... (st, pinjam kalimat iklan:) terserah Anda!
Yang
jelas, kemudian kami sama-sama terkapar lunglai di ranjang tua dari
kayu berukir buatan Jepara hadiah perkawinan kami dari neneknya, ibu
dari bapaknya. Kata perempuan yang mengasuhnya dari bayi itu, nenek
moyang pengukir ranjang tersebut dididik langsung oleh pahlawan pejuang
persamaan hak kaum perempuan, Raden Ajeng Kartini.
“Mas, masih ingat Anti?” tanyaku pelan dan hati-hati.
Alisnya
berkerut aneh, tapi Mas Wiwiet mengangguk. Aku kaget juga. Sepanjang
hidup mendampinginya, aku belum pernah melihat kerutan alis macam itu.
Ada tanda kecemasan di wajahnya, bahkan samar-samar terbayang ketakutan.
“Dia mengajakku mempersiapkan reuni SMA kita...”
Lama ia tidak menjawab. Aku pun dengan sabar menunggu. “Di mana?” kata Mas Wiwiet pada akhirnya.
“Di salah satu hotel di Ancol.”
Ia
mendesah pendek. Sulit rasanya memaknai desahnya itu. Beberapa menit
kemudian, ia mencium keningku. Itu tanda kalau ia pamit tidur lebih
dulu. Aku pun mencoba tidur, tapi kerutan alis itu terus membayang.
Memang,
dulu, waktu SMA, aku cukup lama terombang-ambing, antara memilih Mas
Wiwiet dan Koeshardjoko, yang kini sarjana karawitan dan dalang wayang
kulit yang cukup terkenal di Jawa Tengah. Terus terang, aku lebih sering
bersama Koes ketimbang dia. Hobiku dan Koes sama: nembang dan nari Jawa, sedangkan Wiwiet lebih suka mengotak-atik sepeda dan mesin motor atau membenahi bangunan rumah.
Dalam
soal antar-jemput pun, Koes lebih telaten. Bahkan, sejak hari pertama
aku ikut ekstra-kurikuler kesenian Jawa, tak hanya mengantar-jemput, ia
begitu rajin membetulkan gerak tanganku. Maklum, begitu lahir, ia sudah
berada di sanggar tari, karena ayahnya memang dalang dan penari.
Sementara itu, Wiwiet malahan kabur karena cemburu melihat kami berdua
begitu akrab. Selepas SMA pun, aku seakademi-karawitan dengan Koes,
sedangkan Wiwiet masuk jurusan arsitektur fakultas teknik.
Hanya
karena kehidupan awal Koes sebagai seniman begitu susah, bahkan sempat
terpaksa menjadi sopir di Pertamina, sedangkan karier Wiwiet sebagai
perencana bangunan cepat sekali menanjak, dia lebih berpeluang
mendekatiku. Dan akhirnya Wiwiet berhasil mendapatkan persetujuan dari
kedua orang tuaku untuk mempersunting aku.
Aku sendiri? Sarjana sih sarjana, bahkan sempat menyelesaikan tugas magister, tapi aku gagal menjadi penari dan waranggana[4] profesional, serta hanya mampu sekadar mengajar dan menjadi ... makelar kain batik.
Akh,
itu kenangan manis masa SMA dan kuliah. Malam itu, entah berapa jam aku
gelisah mencoba memahami kerutan alis suamiku. Baru setelah aku
memutuskan untuk menolak ajakan Anti, aku baru bisa mulai mengantuk dan
lalu tertidur.
Pada pagi harinya, tentu saja aku terlambat
bangun. Seperti biasanya, Mas Wiwiet tidak membangunkanku. Bahkan, ia
sempat menyiapkan sarapan bagi kami sekeluarga. Aku baru terbangun
ketika si bungsu bertengkar kecil dengan si sulung yang hari itu tidak
mau mengantarnya sekolah. Dan seperti biasanya, ayahnya pun mengalah
mengantarnya.
“Asti,” kata Mas Wiwiet memanggil dengan
potongan namaku, setelah mencium pipiku di depan pintu rumah kami, “Kau
bantu saja Anti, tapi jangan libatkan aku...”
“... sama sekali?” tanyaku, setelah memupus rasa kagetku.
“Sama sekali!” jawabnya tegas.
Aku terpana. Pada akhirnya ia memberiku izin.
Setelah
suami dan ketiga anakku pergi, aku pun menelefon Anti. Kami berdua lalu
mencocokkan “angan-angan” gambaran pelaksanaan reuni itu. Rapat demi
rapat di berbagai tempat pun terlalui. Aku diminta menjadi ketua panitia
reuni.
Setelah kontak intensif hampir sebulan, hanya
tujuh dari 213 teman seangkatan di SMA menyatakan tidak bersedia datang.
Yang tujuh orang itu pun tidak mau karena memang sudah meninggal. Dan
... akibat itu kesibukan, kerutan alis suamiku pun terlupakan!
“Kamu
mau menghadiahi aku apa dalam reuni nanti, As?” tanya Anti begitu
persiapan sudah tuntas dan tinggal menunggu hari “H” pertunjukan.
“Apa yang kamu mau?”
“Bukan barang!”
“Okey-lah, tapi apa?”
“Aku hanya ingin kamu datang dengan baju tari. Masih kamu simpan kan baju itu?”
“Mana cukup, aku sekarang agak gemuk...”
Anti terlihat kecewa sekali.
“Jangan kuatir, aku akan pakai yang belum lama ini dibuat untuk pementasan di kantor Mas Wiwiet,” jawabku tanpa curiga apa-apa.
“Baguslah, kalau begitu,” sahutnya, disambung dengan kalimat “ancaman” dalam bahasa Jawa, “Awas ya, aja blenjani janji.[5]”
Berkat
teman seangkatan yang punya jabatan cukup tinggi di perusahaan
penyiaran, reuni itu direkam untuk siaran tunda. Pihak televisi boleh
dikata hanya melakukan penyuntingan bahan, sama sekali tidak campur
tangan dalam penyusunan acara, yang sebetulnya lebih mirip out-bound manajemen kepemimpinan, ketimbang pertemuan kangen-kangenan.
Yang
pasti, kami semua, termasuk aku dan Mas Wiwiet, terhanyut larut dalam
nostalgia masa SMA. Seperti biasanya, temu kangen itu tak hanya
merupakan ajang luapan perasaan setelah sekian lama berpisah, melainkan
juga sarana pamer kesuksesan. Sebagai istri, aku cukup bangga dengan
keberhasilan Mas Wiwiet, yang perusahaannya sudah beranak-cucu dan
menjadi salah satu developer tepercaya di Ibu Kota.
Namun,
sebagai pribadi, aku merasa sedikit getir. Aku hanya ibu rumah tangga
biasa. Ada butik kecil yang menjual kain tradisional dan perlengkapan
tari Jawa di paviliun rumah kami, plus sekian jam mengajar di akademi kesenian, tapi itu sebenarnya hanya sekadar menghibur hati.
Koeshardjoko dan istrinya, Endang Koesoemastoeti, sindhen yang cukup kondang, duduk di pojok belakang. Kami malahan belum sempat bertegur sapa, kecuali bersalaman waktu mereka datang.
Acara
demi acara malam itu berlangsung lancar. Sebagai ketua panitia reuni,
aku kian lega. Terbit kebanggaan bahwasanya ibu rumah tangga macam aku
bisa mengorganisir reuni yang begitu meriah dan gayeng.
“Sekarang,
tibalah saatnya puncak acara reuni ini,” kata Menik sebagai M.C. Teman
kami yang berprofesi sebagai penyiar radio ini dari awal pembentukan
panitia memang sudah minta dijadikan pembawa acara.
Aku kaget: puncak acara apa lagi?
“Kami
semua sepakat untuk mendaulat ketua panitia reuni, Bu Asti Wietdarmono,
serta dalang dan penari terkenal kita, Pak Koeshardjoko, agar naik ke
panggung membawakan nomor tari Gatutkaca Gandrung. Kepada Pak
Wiwiet dan Bu Endang, kami mohon maaf dengan acara kejutan ini. Dan,
karena Pak Koes masih harus ganti pakaian, sedangkan Bu Asti sudah
berbaju tari, saya persilakan Bu Asti naik lebih dulu. Mangga, Bu Asti.”
Jadi,
itu maksud Anti minta aku berpakaian tari? Aku lihat Koes juga tak
kalah kaget. Aku agak lega. Itu menandakan permintaan mendadak ini bukan
akal-akalannya. Aku pun memandang suamiku, yang juga kaget, minta
persetujuan. Teriakan hadirin yang bergemuruh membuatnya mau tak mau
harus memberikan izin. Bahkan, ia pun didaulat memakaikan kuluk Pregiwati dan membimbingku ke panggung.
“Mas nggak keberatan, kan?” bisikku pelan.
“Kalau
sudah begini, aku bisa berbuat apa?” jawab Mas Wiewiet tak kalah pelan,
tapi... dengan kerutan alis seperti malam itu, yang bikin aku serasa
kehilangan nyawa. “Sudahlah, menarilah, niatkan buat aku, sayang.”
Setelah mengangguk hormat kepada sekalian hadirin, mengikuti alunan gendhing, aku pun berimprovisasi menarikan Dewi Pregiwati sedang bersuka-ria main di taman sari keputren,
mengejar kupu-kupu, menangkapnya, dan menaruhnya di tengah kuntum
bunga. Kamera televisi mengikuti setiap langkahku dengan cermat, apalagi
ketika dari balik panggung, Koes muncul sebagai Gatutkaca yang
membawakan tembang ungkapan rindu, Kinanthi.
sasarmu neng taman santun,
praptamu inganti-anti,
wus dangu nggenira lenggah,
ndadak wadi ngemu wadi,
marma nuli ngandikoa,
sakecap sun tuku pati.
yen nganti tita lan segu,
kelakon kunjana kingkin,
amirangrong karungrungan,
dasihe tan ngrasa sisip,
tinekan ing duka cipta,
paran darunaning runtik.[6]
Aneh bin ajaib, seolah-olah aku kembali muda, seusia SMA. Kata demi kata ungkapan kangen Raden Jaka Pramana, putra mahkota Kerajaan Pagelen, kepada Rara Kumenyar di Desa Cengkarsari dalam alam Cemporet ciptaan pujangga R.Ng. Ranggawarsita itu seolah-olah luapan hati Koes kepadaku.
Ketika
ia memegang pinggangku, lalu dengan gagah mengangkatku, dan
mendudukkanku di paha-kanannya, dengan masih terus mengalunkan tembang rindu itu, aku pun berada dalam kebahagiaan yang tak terperikan.
Aku
serasa melayang. Mata kami bertatapan. Aku lupa bahwa ia suami orang
dan aku pun istri orang. Aku bahkan sejenak lupa bahwa kami sedang
berada di panggung dan menari, bersandiwara di depan orang banyak
membawakan nukilan lakon Gatutkaca Rabi[7].
“Andaikan
ini belasan tahun yang lalu, mungkin anak-anakku yang akan keluar dari
rahimmu,” bisik Koes menyadarkanku dari lamunan.
Kami berdua pun
membungkukkan badan kepada hadirin sebagai tanda akhir dari tarian kami.
Tepuk tangan bergemuruh gegap gempita memenuhi ruang pertemuan
berkapasitas seribu kepala itu. Aku turun panggung bersama Koes masih
dengan perasaan melayang. Sungguh, aku takut dan merasa begitu berdosa
kepada Mas Wiwiet.
Jujur saja, aku tidak menari untuknya
seperti yang dibisikkannya tadi, tapi untuk diriku sendiri dan ... untuk
Koes. Itu berarti, walau hanya dalam hitungan menit, aku telah
berselingkuh darinya, di depan orang banyak dan direkam untuk siaran
televisi lagi.
Reuni malam itu memang sukses. Masih ada nilai
tambahnya lagi, yakni: dari segi bisnis, panitia diminta oleh perusahaan
TV tersebut secara rutin menyelenggarakan “reuni” semacam itu. Karena
itu, seusai reuni itu, panitia membentuk yayasan untuk melaksanakannya,
karena undang-undang telah mengizinkan yayasan melakukan aktivitas
niaga.
Akan tetapi, bagiku, dan terutama sekali bagi
suamiku, reuni itu adalah awal yang lain dalam kehidupan kami. Sungguh,
sejak hari pertunjukan itu, meskipun kami masih suami-istri dan tetap
tinggal serumah, hubungan kami sudah tidak lagi seperti dulu. Apalagi,
Mas Wiwiet sering termangu-mangu setelah memutar ulang CD rekaman acara
reuni itu, khususnya fragmen Gatutkaca Gandrung tersebut.
Teluk Angsan Permai, Sabtu 2 Juli 2005.22:00 WIB.
CATATAN KAKI:
[1] “Dugem” itu singkatan dari “dunia gembira”, clubbing,
dansa-dansi di kelab malam dan pulang larut atau dinihari. (St,
terserah Anda untuk menambahinya atribut lain: gaul bebas, narkotika,
atau tukar kunci kamar hotel.)
[2] Buku asal India ini entah dikarang oleh siapa. Isinya jurus dan strategi mencapai kepuasan di ranjang.
[3] Lihat foto dan baca keterangan gambar pada Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, cetakan pertama, 1981, halaman 78.
[4] Waranggana itu sindhen, penyanyi klasik Jawa.
[5] “Awas ya, jangan ingkar janji.”
[6]
Tembang rindu ini ditulis oleh pujangga penutup Kraton Surakarta,
Raden Ngabehi Ranggawarsita. Lihat R.Ng. Ranggawarsita, Tjemporet, diprosakan oleh Imam Soepardi, Penerbit Panjebar Semangat, Surabaya, cetakan pertama, Oktober 1962, halaman 33.
[7] Rabi = kawin.
Posting Komentar