Sedikit mengenai Syaikh Ja’far Al-Barzanji
YANG PALING POPULER dari beragam buku maulid Baginda Nabi Muhammad shålållåhu ‘alayhi wa al-salam (s.a.w.) di Indonesia ialah Al-Barzanji. Di banyak tempat, kitab maulid yang berjudul asli Al-‘Iqd al-Jawahir (Untaian Permata) ini telah menjadi bagian dari ritual baku tarekat Qådiriyah. Demikian hasil riset sejarahwan asal Belanda Martin van Bruinessen, yang bersumberkan penelitian Guru Besar Near East School of Theosophy di Beirut, Libanon, J. Spencer Trimingham.[1]
Meski menurut Trimingham, maulid tidaklah benar-benar diterima secara universal ke dalam praktik keagamaan populer, Martin van Bruinessen menekankan bahwa Maulid Barzinji sampai sekarang merupakan teks keagamaan tentang perayaan Maulid Nabi s.a.w. yang dikenal secara luas. Di Indonesia, banyak edisi berbeda-beda muncul dari kitab ini. Juga komentar dan terjemahannya, baik dalam bahasa Jåwå maupun Indonesia.[2]
Paling tidak ada enam adaptasi karya ini di Indonesia,yakni
· Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi al-Bantani (Banten), Madarij al-Su’ud Ila Iktisah al-Buruj, berbahasa Arab, berbagai terbitan;
· Abu Ahmad ‘Abd al-Hamid al-Qandali (Kendal), Sabil al-Munji, berbahasa Jåwå, penerbit Menara, Kudus;
· Ahmad Subki Masyhadi (Pekalongan), Nur al-Lail al-Duji wa Miftah Bab al-Yasar, berbahasa Jåwå, penerbit Hasan Al-‘Attas, Pekalongan;
· Asråri Ahmad (Wonosari, Tempuran), Munyah al-Martaji Fi Tarjamah Maulid al-Barzanji, berbahasa Jåwå, penerbit Menara, Kudus;
· Mundzir Nadzir, Al-Qåul al-Munji ‘Ala Ma’ani al-Barzanji, berbahasa Jåwå, penerbit Sa’ad bin Nashir bin Nabhan, Suråbåyå; dan
· M. Mizan Asråri Zain Muhammad (Sidåwayah, Rembang), Badr al-Daji Fi Tarjamah Maulid al-Barzanji, berbahasa Indonesia, Karya Utama, Suråbåyå.
Siapakah orang yang menulis Maulid Barzinji atau Al-‘Iqd al-Jawahir ini? Menurut Dr. Azyumardi Azrå, ia anggota keluarga Barzanji yang terkemuka setelah sufi anti-mahdisme Muhammad Al-Barzanji, yakni Syaikh Ja’far bin Hasan bin ‘Abd al-Karim al-Barzanji (h. 1103--1180 H/1690--1766 M), yang ialah mufti Syafi’iyyah di kota Madinah.[3]Angka tahun wafat sufi kelahiran Kota Nabi yang ditulis Dr. Azrå ini berbeda dari versi Martin van Bruinessen, yakni 1764 M.[4]
Masih sebagai persembahan untuk Nabi s.a.w., Syaikh Ja’farAl-Barzanji juga menulis Qishshåh al-Mi’råj, yang tidak dikenal luas di Indonesia. Karyanya yang lain ialah Manaqib Sayyid al-Syuhada Hamzah, wali zaman pertengahan yang syahid pada tahun 624 H/1225 M. Karya ini hanya dikenal sebagian orang di Nusantara. Yang unik, manaqib ini dijadikan rujukan sebagai sumber otoritatif fatwa ulama tarekat di Jåwå tentang masalah apakah peringatan hari kematian wali merupakan bid’ah atau tidak.[5]
Manaqib Syaikh ‘Abd Al-Qadir
KARYANYA YANG benar-benar populer ialah hagiografi Syaikh ‘Abd al-Qådir, Lujain al-Dani fi Manaqib ‘Abd al-Qådir al-Jilani, kitab yang bahkan mampu menembus berbagai sudut yang paling jauh di Nusantara. Pembacaan manaqib ‘Abd al-Qådir dengan tujuan menolak bala, memohon perlindungan, mengusir setan, atau semata-mata sebagai tindakan pemujaan sudah lama tersebarluas dan menjadi praktik yang umum dilakukan di Indonesia. Peringatan hari kematian sang wali, pada tanggal 11 Råbi’ al-Akhir, telah dan masih diperingati di banyak tempat dengan acara pembacaan manaqibnya. Di tempat tertentu, acara ini bahkan dilakukan pada setiap tanggal 11 pada setiap bulan Qåmariyah.[6]
Ada banyak versi manaqib ini, baik dalam bahasa Aråb, Jåwå, Sunda, maupun Indonesia. Setengahabad lalu, Dr. G.W.J. Drewes dan R.Ng. Poerbåtjaråkå menerbitkan studi perihal manaqib berbahasa Jåwå, yang didasarkan atas karya Yafi’i, Khulashåh al-Mafakhir. Namun, menurut penelitian Martin van Bruinessen, hampir semua manaqib yang dipakai sekarang didasarkan pada Lujain Al-Dani Ja’far al-Barzanji. Manaqib lain yang juga dirujuk, Tafrih al-Khathir, diterjemahkan oleh orang Kurdi, ‘Abd Al-Qådir bin Muhyi al-Din al-Arbili, dari karya asli Muhammad Shådiq al-Qadiri dalam bahasa Persia.[7]
(Gus Moen)
Catatan kaki oleh Gus Moen:
YANG PALING POPULER dari beragam buku maulid Baginda Nabi Muhammad shålållåhu ‘alayhi wa al-salam (s.a.w.) di Indonesia ialah Al-Barzanji. Di banyak tempat, kitab maulid yang berjudul asli Al-‘Iqd al-Jawahir (Untaian Permata) ini telah menjadi bagian dari ritual baku tarekat Qådiriyah. Demikian hasil riset sejarahwan asal Belanda Martin van Bruinessen, yang bersumberkan penelitian Guru Besar Near East School of Theosophy di Beirut, Libanon, J. Spencer Trimingham.[1]
Meski menurut Trimingham, maulid tidaklah benar-benar diterima secara universal ke dalam praktik keagamaan populer, Martin van Bruinessen menekankan bahwa Maulid Barzinji sampai sekarang merupakan teks keagamaan tentang perayaan Maulid Nabi s.a.w. yang dikenal secara luas. Di Indonesia, banyak edisi berbeda-beda muncul dari kitab ini. Juga komentar dan terjemahannya, baik dalam bahasa Jåwå maupun Indonesia.[2]
Paling tidak ada enam adaptasi karya ini di Indonesia,yakni
· Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi al-Bantani (Banten), Madarij al-Su’ud Ila Iktisah al-Buruj, berbahasa Arab, berbagai terbitan;
· Abu Ahmad ‘Abd al-Hamid al-Qandali (Kendal), Sabil al-Munji, berbahasa Jåwå, penerbit Menara, Kudus;
· Ahmad Subki Masyhadi (Pekalongan), Nur al-Lail al-Duji wa Miftah Bab al-Yasar, berbahasa Jåwå, penerbit Hasan Al-‘Attas, Pekalongan;
· Asråri Ahmad (Wonosari, Tempuran), Munyah al-Martaji Fi Tarjamah Maulid al-Barzanji, berbahasa Jåwå, penerbit Menara, Kudus;
· Mundzir Nadzir, Al-Qåul al-Munji ‘Ala Ma’ani al-Barzanji, berbahasa Jåwå, penerbit Sa’ad bin Nashir bin Nabhan, Suråbåyå; dan
· M. Mizan Asråri Zain Muhammad (Sidåwayah, Rembang), Badr al-Daji Fi Tarjamah Maulid al-Barzanji, berbahasa Indonesia, Karya Utama, Suråbåyå.
Siapakah orang yang menulis Maulid Barzinji atau Al-‘Iqd al-Jawahir ini? Menurut Dr. Azyumardi Azrå, ia anggota keluarga Barzanji yang terkemuka setelah sufi anti-mahdisme Muhammad Al-Barzanji, yakni Syaikh Ja’far bin Hasan bin ‘Abd al-Karim al-Barzanji (h. 1103--1180 H/1690--1766 M), yang ialah mufti Syafi’iyyah di kota Madinah.[3]Angka tahun wafat sufi kelahiran Kota Nabi yang ditulis Dr. Azrå ini berbeda dari versi Martin van Bruinessen, yakni 1764 M.[4]
Masih sebagai persembahan untuk Nabi s.a.w., Syaikh Ja’farAl-Barzanji juga menulis Qishshåh al-Mi’råj, yang tidak dikenal luas di Indonesia. Karyanya yang lain ialah Manaqib Sayyid al-Syuhada Hamzah, wali zaman pertengahan yang syahid pada tahun 624 H/1225 M. Karya ini hanya dikenal sebagian orang di Nusantara. Yang unik, manaqib ini dijadikan rujukan sebagai sumber otoritatif fatwa ulama tarekat di Jåwå tentang masalah apakah peringatan hari kematian wali merupakan bid’ah atau tidak.[5]
Manaqib Syaikh ‘Abd Al-Qadir
KARYANYA YANG benar-benar populer ialah hagiografi Syaikh ‘Abd al-Qådir, Lujain al-Dani fi Manaqib ‘Abd al-Qådir al-Jilani, kitab yang bahkan mampu menembus berbagai sudut yang paling jauh di Nusantara. Pembacaan manaqib ‘Abd al-Qådir dengan tujuan menolak bala, memohon perlindungan, mengusir setan, atau semata-mata sebagai tindakan pemujaan sudah lama tersebarluas dan menjadi praktik yang umum dilakukan di Indonesia. Peringatan hari kematian sang wali, pada tanggal 11 Råbi’ al-Akhir, telah dan masih diperingati di banyak tempat dengan acara pembacaan manaqibnya. Di tempat tertentu, acara ini bahkan dilakukan pada setiap tanggal 11 pada setiap bulan Qåmariyah.[6]
Ada banyak versi manaqib ini, baik dalam bahasa Aråb, Jåwå, Sunda, maupun Indonesia. Setengahabad lalu, Dr. G.W.J. Drewes dan R.Ng. Poerbåtjaråkå menerbitkan studi perihal manaqib berbahasa Jåwå, yang didasarkan atas karya Yafi’i, Khulashåh al-Mafakhir. Namun, menurut penelitian Martin van Bruinessen, hampir semua manaqib yang dipakai sekarang didasarkan pada Lujain Al-Dani Ja’far al-Barzanji. Manaqib lain yang juga dirujuk, Tafrih al-Khathir, diterjemahkan oleh orang Kurdi, ‘Abd Al-Qådir bin Muhyi al-Din al-Arbili, dari karya asli Muhammad Shådiq al-Qadiri dalam bahasa Persia.[7]
(Gus Moen)
Catatan kaki oleh Gus Moen:
[1] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning,Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Penerbit Mizan,Bandung, cetakan kedua, Mei 1995, halaman 97, dengan mengutip J. SpencerTrimingham, Madzhab Sufi, Oxford University Press, London, 1973, halaman207-208.
[2] Ibid.
[3] Dr. Azyumardi Azra, Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-AkarPembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, cetakanpertama, September 1994, halaman 101, dengan mengutip:
· Al-Muradi, Silk Al-Durar, IV, halaman 9.
· Al-Baghdadi, Hadiyyat Al-‘Arifin, I, 255.
· Al-Zarkali, Al-A’lam, II, halaman 117.
· C.J. Edmonds, Kurds, Turks, and Arabs,Oxford University Press, 1957, khususnya halaman 68-79.
· Al-Muradi, Silk Al-Durar, IV, halaman 9.
· Al-Baghdadi, Hadiyyat Al-‘Arifin, I, 255.
· Al-Zarkali, Al-A’lam, II, halaman 117.
· C.J. Edmonds, Kurds, Turks, and Arabs,Oxford University Press, 1957, khususnya halaman 68-79.
[4] Martin van Bruinessen, op.cit., Mei1995, halaman 97.
[5] Martin van Bruinessen, op.cit., Mei1995, halaman 97, dengan mengutip
· GAL, II, halaman 384.
· Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarahAn-Nahdhiyyah, Al-Fuyudhat Al-Rabbani, Jombang, Jawa Timur, 1980,halaman 33.
· GAL, II, halaman 384.
· Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarahAn-Nahdhiyyah, Al-Fuyudhat Al-Rabbani, Jombang, Jawa Timur, 1980,halaman 33.
[6] Martin van Bruinessen, op.cit., Mei1995, halaman 97.
[7] Martin van Bruinessen, op.cit., Mei1995, halaman 97-98, dengan mengutip
· Bruinessen, 1987, halaman 49 catatan kaki.
· Mudarris, 1983, halaman 305-....
· G.W.J. Drewes dan R.Ng. Poerbatjaraka, 1938,halaman 45.
· Bruinessen, 1987, halaman 49 catatan kaki.
· Mudarris, 1983, halaman 305-....
· G.W.J. Drewes dan R.Ng. Poerbatjaraka, 1938,halaman 45.
Posting Komentar