PADA AWALNYA HANYALAH SATU[1]
RATA-RATA orang Tionghoa di Indonesia memeluk ajaran Sam Kauw[2] atau Tri-Dharma, yang terdiri atas tiga aliran --Taoisme[3], Buddhisme[4], dan Konfusianisme[5]-- yang diakulturasi harmonis dalam ajaran moral yang mendahulukan kebajikan dan kerukunan antara sesama manusia.
Kali ini, saya memilih satu tokoh saja, Konfusius, yang saya pikir ujar-ujarnya, terutama tentang kosmologi[6] Tionggoan, mewakili pemikiran ketiga paham dalam Sam Kauw.
Kenapa saya memilih ujar-ujar tentang kosmologi ketimuran? Saya pikir, setelah perenungan berbilang tahun, saya boleh memberanikan diri menyimpulkan bahwa justru dalam pandangan kosmologilah Tri-Dharma dan Islam bertemu, paling tidak dalam kepersisan alur pikir.
Tidak kurang dari Konfusius menyatakan: “Senantiasa ada Tai Chi dalam Perubahan. Perubahan melahirkan dua kekuatan utama. Dua kekuatan utama melahirkan empat citra. Empat citra melahirkan delapan trigram.” yang biasanya berlanjut dengan: “... melahirkan enam puluh empat heksagram.” dan kemudian: “... selaksa (sepuluh ribu) hal.” (Ta Chuan 11.5)
Apa yang dimaksud dengan Tai Chi atau Puncak Agung, bagi saya, tidak lain hanyalah Tuhan yang Maha Esa Allah Subhanahu wa ta’ala, yang senantiasa melakukan perubahan dengan cara mencipta dan mencipta kembali.
Dengan kata lain, keimanan kepada Allah --yang adalah yang pertama dari Rukun Iman dalam Islam-- merupakan sine qua non (mau tak mau harus begitu).
Tentu saja, pemaknaan Tao atau Tai Chi atau Puncak Agung secara filosofis ini harus dijaga agar istilah itu tidak diartikan secara harfiah, yang akhirnya menjadikan “orang menyembah gunung” atau paling tidak “minta rejeki kepada penunggu gunung.”
Akan halnya dua kekuatan utama, kita semua sudah sama-sama tahu bahwa itu yin dan yang, bumi dan langit, negatif dan positif.
Dalam kosmologi Islam, dua konsep dasar teologis ini tampak sekali dalam asma’-ul husna (sembilan puluh sembilan) nama Tuhan, yang pada hakikatnya dapat dikategorikan menjadi:
- nama indah (jamal) atau lembut (luthf) atau anugerah (fadhl) atau karunia (rahmah);
- nama agung (jalal) atau hebat (qahr) atau adil (‘adl) atau murka (ghadhab).
Ada kesamaan lain. Di antara penganut Tri-Dharma, Konfusianis lebih menekankan yang, sedangkan Taois lebih menitikberatkan yin. Sementara itu, dalam Islam, kaum legalis atau ahli fiqh (fuqaha) menghampiri Islam dengan menekankan sifat yang, sedangkan ahli hikmah (hukama’) lebih memilih yin. Yang terakhir ini berpedoman gagasan “rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya.”
Kali ini, saya tidak ingin mengajak Anda lebih jauh membahas hal ini, saya hanya ingin menyatakan bahwa apa pun pendekatan yang dipilih, pada akhirnya yang dikehendaki adalah mengajak sesama manusia untuk hidup baik dan bajik.
Karena itu, saya ingin mengajak Anda mengingat-ingat kembali ajaran Tiongkok kuna yang telah ada jauh sebelum kelahiran Konfusius. Ujar-ujar kuna ini terdiri atas empat huruf:
- Jen yang berarti Cinta. Bila diurai secara ideogram, jen terdiri atas huruf jen (manusia) dan erh (dua atau kedua). Ini berarti: a. cinta itu hubungan antara dua manusia, atau b. diperlukan orang kedua untuk menjalin cinta.
- Yi atau kebajikan atau kebudimanan. Bila diurai, yi terdiri atas huruf ya (domba), mou (tangan), ke (pisau), dan wo (aku). Ini berarti orang Tionghoa sejak dulu memahami bahwa kebajikan akan datang setelah orang memotong hewan kurban.
- Tao atau jalan atau kebenaran. Tao terdiri atas huruf i (satu), yen (mata), p’ieh (gerak), shou (lagu atau puisi penggolong), hui (api), tsou (berjalan). Ini berkisah tentang penciptaan manusia yang ditiupi ruh Tuhan. Dengan demikian, manusia senantiasa membutuhkan Tuhan untuk jalan hidupnya. Huruf hui (api) di atas aksara i (satu) menunjukkan makna Ruh Suci (Holy Spirit).
- Ti’eh atau kebajikan atau budi baik atau amal kebajikan. Huruf ini terdiri atas jen (semua manusia), shih (sepuluh), ssu (empat), i (satu), dan hsin (hati). Ini berarti bila seluruh umat manusia dari empat penjuru jagat bersatu hati, akan dihasilkan kebajikan.
Akhirnya, saya hanya bisa menyatakan, tujuan ajaran kosmolosi Islam --dan juga Tiongkok kuna-- adalah mengungkapkan --dalam konteks tradisi intelektual-- berbagai kewajiban dan keharusan eksistensi manusia.
Manusia diharuskan oleh sifat dan wataknya untuk hidup selaras dengan Tao atau “pasrah” (islam) pada cara langit dan bumi guna menciptakan harmoni di muka bumi pada umumnya dan dalam masyarakat manusia pada khususnya.
Terakhir sekali, saya ingin mengutip kalimat Chuang Tzu yang mengungkapkan dengan sangat bagus tujuan utama dalam tradisi kearifan (hikmah) Islam bahwa:
“Aku, langit, dan bumi hidup bersama-sama --aku dan segala sesuatu adalah satu.”
Catatan Kaki:
[1] Artikel ini semula ditulis sebagai bahan ceramah untuk Prof. Drs. H. Usman Effendy, MBA, M.Sc., dan selesai dikerjakan pada 11 Juni 1999.10:39.
[2] Tiga paham ini berperan membentuk sejarah dan kebudayaan Cina. Lihat Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ, Kamus Teologi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, cetakan kedua, 1996, halaman 311.
[3] Ajaran filsafat yang ditemukan oleh Lao-Tzu di Negeri Cina pada abad keenam sebelum Masehi yang mengajarkan agar orang bertindak sesuai dengan alam dan bukan melawannya. Lihat Harimurti Kridalaksana dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Perum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kedelapan 1996, halaman 1009. Secara harfiah Cina berarti “jalan”, paham ini juga merupakan sistem kepercayaan dan praktik religius. Lao-Tse sebenarnya gelar kehormatan bagi Li, pegawai arsip kenegaraan Cina. Ia dianggap telah menulis Tao Teh Ching (mengenai prinsip dasar dunia dan pengaruhnya). Di dalamnya, Tao dipandang sebagai jalan realitas yang terakhir, artinya sebagai yang imanen dalam jalan jagat raya (atau prinsip yang mengatur yang ada di belakang seluruh kehidupan) dan merupakan cara manusia harus mengatur hidupnya. Dengan latar belakang pergolakan sosial yang terjadi pada masa Dinasti Chou (1127-256 SM), Taoisme mengajarkan bahwa keselarasan harus dicapai dengan menyesuaikan sikap serta tingkah laku seseorang dengan prinsip dasar. Selanjutnya sistem ini dikembangkan oleh Chuang Chou (369-286 SM). Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ, op.cit., halaman 311.
[4] Ajaran yang dikembangkan di India oleh Siddharta Gautama Buddha (563-483 SM) yang antara lain mengajarkan bahwa kesengsaraan adalah bagian kehidupan yang tidak terpisahkan dan orang dapat membebaskan diri dari kesengsaraan dengan menyucikan mental dan moral diri pribadi. Lihat Harimurti Kridalaksana dkk., op.cit., halaman 149-150.
Secara harfiah Sanskrit berarti “yang diterangi”, ajaran ini ini punya dua bentuk: Hinayana (Sanskrit: kendaraan kecil) atau Theravada (Pali: ajaran tua) yang terdapat antara lain di Birma, Sri Lanka, dan Thailand serta Mahayana (Sanskrit: kendaraan besar) yang ada di antaranya di Cina, Jepang, Korea, Mongolia, dan Tibet.
Di bawah pohon Bodhi (pohon penerangan), Gautama memeroleh penerangan mengenai empat kebenaran dasariah:
a. eksistensi manusia adalah sengsara;
b. akar kesengsaraan adalah keinginan;
c. kesengsaraan berakhir dengan pembebasan diri dari segala bentuk keinginan;
d. hilangnya kesengsaraan dapat dicapai melalui delapan jalan pembebasan.
Jalan ini mencakup pengetahuan yang benar mengenai empat kebenaran itu, kehendak yang benar, percakapan yang benar, tindakan yang benar, pekerjaan yang benar, usaha yang benar, penguasaan yang benar atas perasaan dan pikiran, dan konsentrasi yang benar.
Jalan ini memberikan harapan akan berakhirnya penderitaan yang menyebabkan keinginan menjadi besar dan membawa orang ke nirvana (Sanskrit: dipadamkan) atau keadaan damai yang utuh.
Kitab suci Buddha ditulis dalam bahasa Pali (Sri Lanka) dan Sanskrit (India). Dua ajaran Buddha yang dasar ialah karma (Sanskrit: tindakan, iman), yaitu kepercayaan bahwa pekerjaan pada masa lalu diganjar atau dihukum dalam hidup sekarang ini atau kehidupan berikutnya, dan reinkarnasi, yaitu kelahiran kembali atau perpindahan jiwa. Buddhisme Mahayana yang muncul kira-kira pada zaman Isa Al-Masih mengajarkan bahwa pribadi tidak hanya harus mencapai nirvana, melainkan juga menjadi Buddha dan menyelamatkan orang lain. Bentuk Buddhisme ini meliputi penghormatan kepada Yang Ilahi dan mengandung berbagai bentuk sinkretisme. Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ, op.cit., halaman 43-44.
[5] Kepercayaan dan praktik yang dilandaskan pada tulisan klasik Cina dan secara khusus diteruskan oleh Konfusius atau K’ung Fu-tzu (550-478 SM). Mungkin ia mengarang buku yang terakhir dari kelima kitab “kanonik”: Shu Ku (dokumen historis), Shih King (puisi), Li Ki (upacara dan lembaga), Yi King (Kitab Perubahan), dan Lu (Kitab Tahunan). Konfusius menerima agama tradisional waktu itu, dengan menekankan upacara tradisional dan teguh percaya kepada T’ien, kekuatan kosmik yang menentukan tujuan hidup manusia dan segala sesuatu yang lain. Atas dasar itu, Konfusius mengembangkan ajaran-etisnya. Ia menekankan kejujuran, kesetiaan kepada atasan, dan pengembangan kerahiman (yen), serta watak yang baik. Ia mengajarkan bahwa kebaikan batin secara utuh terungkap dalam semua hubungan manusiawi melalui kesantunan, kesopanan, dan ketaatan kepada upacara (li). Tanda keagungan manusia adalah kelembutan, keutamaan sebagai anak, kesetiaan, tenggang rasa, kesopanan, dan keseimbangan antara dua ekstrem. Sejak 200 SM sampai dengan 1912 M, Konfusianisme adalah anutan resmi di Cina. Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ, op.cit., halaman 151.
[6] Dalam hal ini, kosmologi yang dimaksud ialah cabang dari metafisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan. Lihat Harimurti Kridalaksana dkk., op.cit., halaman 528. Bandingkan dengan ini: Kosmologi ialah pemahaman menyeluruh mengenai jagat raya: asal-usul, hakikat, tata susunan, dan tujuan-akhirnya. Gerald O’Collins, SJ, dan Edward G. Farrugia, SJ, op.cit., halaman 166.
Posting Komentar