BARANG KALI SANGAT gegabah
untuk menarik simpulan bahwa dalam kondisi Indonesia pasca Soeharto,
sistem manajemen yang berkembang ialah "management without management"
(aji pengawuran) yang pemimpinnya menyelesaikan masalah dengan cara
membuat diri "out of order", karena mental bertanggung jawabnya memang
sudah "ruksak" dan tak lagi punya "the need for responsibility"
(kebutuhan untuk bertanggung jawab atau menjadi kesatria).
Tapi, tahukah Anda bahwa kondisi seperti ini sama sekali tidak keluar dari pakem manajemen ("the canon of management")?
Pakar politik James McGregor Burns*1) menyebut pemimpin macam itu sebagai "transactional leader" (kasarnya: pemimpin yang membeli pengikut) yang merupakan pengejawantahan sisi gelap "transforming leader" (pemimpin pengubah pengikut). Akan tetapi, berbeda dari Burns, ahli kepemimpinan Bernard M. Bass*2) menyebutnya "transformational leader" dan memisahkannya dari pemimpin transaksional.
Tulisan ini tidak akan membahas persamaan dan perbedaan pendapat kedua pakar tersebut, walaupun kedua teori yang sebaiknya diterima secara interferensional itu digunakan sebagai alat analisis. Menurut Bass, pemimpin yang mampu mengubah zaman harus berkharisma, dapat dijadikan ilham, memiliki pertimbangan yang mempribadi, dan mampu mendorong pengikut secara intelektual.*3)
Yang dimaksudkannya dengan kharisma ialah "dapat memberikan visi dan rasa akan adanya misi, dapat menanamkan rasa bangga, serta dapat memeroleh penghormatan dan kepercayaan." Kharisma bersama inspirasi sebagai subfaktor dapat lebih membangun dan mendorong pengikut.
Akan halnya "individualized consideration", Bass menyangkutkannya dengan sikap pemimpin dalam memberikan perhatian kepada pengikut beserta kebutuhan mereka, memercayai dan menghormati mereka, serta membantu mereka belajar dari tanggung jawab yang diberikannya.
Tentang "intelectual stimulation", ia menyebutnya kemampuan pemimpin memberikan gagasan baru yang menantang yang dianggap dapat mendorong pemikiran kembali cara lama dalam melakukan hal tertentu. Ini, dalam cara berpikir filsuf Sir Muhammad Iqbal, disebut dengan istilah dapat memberikan "ciri baru pada dunia lama" ("new features in an old world").
Mengenai pemimpin transaksional, Bass mencirikan adanya tiga dimensi: "contingent reward", "management by exception", dan "laisser-faire". Dengan kata lain, pemimpin memberikan hadiah kepada pengikut yang berprestasi sesuai dengan arahannya pada setiap tahap, bertindak bila ada penyimpangan dan ketidakberesan, dan berkecenderungan membuat pengikut merampungkan sendiri masalahnya. Yang terakhir ini justru, "on the contrary", menunjukkan adanya kondisi ketidakadaan pemimpin ("non-leadership").
Itu tadi premisnya yang dikemukakan lebih panjang-lebar secara ilmiah oleh master Jusuf Udaya. Persoalan yang muncul ialah marilah kita, yang mayoritas bukan pemimpin melainkan hanya pengikut, menyadari dua sisi berlawanan dari kehadiran mau tak mau ("sine qua non") seorang pemimpin di rumah doyong dalam negara terpuruk yang berakyat amuk ini. Marilah kita menjadi kritis, tetapi tetap manusiawi. Apa artinya ini?
Kebanyakan pakar, saat membicarakan kedua sisi mata uang kepemimpinan ini, memusatkan perhatian pada sang pemimpin dan kurang bersikap kritis terhadap betapa dahsyat kekuatan rakyat ("people power") sebagai pengikut yang justru mampu "memaksakan" lahirnya pemimpin di tengah kondisi amuk.
Teladan terbaik dari perkara macam ini barang kali ialah ambruknya Ferdinand Marcos di Pilipina dan naiknya Corazon Conjuanco Aquino sebagai pemimpin nasional, setelah dia dizalimi melalui pembunuhan suaminya, Benigno "Ninoy" Aquino, di "tarmac"*5) pelabuhan udara Manila sepulang dari pengasingan diri sendiri di Amerika Serikat. Pengikutlah yang memaksa Cory menjadi pemimpin yang merupakan lambang pemersatu rakyat tertindas.
Apa teladan yang kita bisa ambil dari rakyat Pilipina yang terbukti mampu lebih cepat bangkit dari krisis ekonomi yang melanda Asia dibanding negara lain di kawasan ini?
Semoga kiranya tidaklah terlalu gegabah untuk menarik simpulan hipotetik bahwa:
1. Rakyat Pilipina tahu terhadap siapa kedahsyatan "people power" harus digunakan dan diarahkan,
2. Rakyat Pilipina, termasuk mereka yang melakukan pemberontakan secara bergerilya semasa Marcos, baik komunis (Communist Party of the Philippine = CPP) maupun agamis (Moro National Liberation Front = MNLF), bersedia memberikan waktu ("a little bit of chance") kepada Cory Aquino untuk membuktikan diri sebagai pemimpin tranformasional, bukan sekadar dijadikan simbol pemersatu untuk menjatuhkan tiran.
Kenapa demikian?
Agaknya, setelah kian terjerumus dalam kebebasan yang dipahami secara "tersesat", kita harus mengembalikan diri dan pikiran kita ke dalam konsepsi politik yang benar. Mayoritas dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia mengaku beragama Islam, jadi marilah kita ambil contoh dari salah satu muslim pemikir yang paling jago pada zamannya, Abu Nazar Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Al Farabi (h. 870--950 M).
Menurut A.M.A. Shaushtery*6), pendirian politik Al Farabi, sebagaimana tercermin dalam dua dari 102 bukunya, "Mabadi Arai ahlil Madinatil Fadilah" (harfiah: "Dasar Ideologi Warga Negara Utama") dan "Siyasatul Madaniyah" ("Politik Perekonomian"), didasarkan atas konsepsi usaha bersama manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, dengan pikiran dan tindakan pribadi yang suci, dan dengan kerja sama masyarakat, harmoni, dan semangat simpati."
Al Farabi mengingatkan pula bahwa negara lahir atas persetujuan bersama penduduk suatu masyarakat yang saling bertukar di dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka punya kepandaian berbeda-beda tetapi berjanji akan menyumbangkan hasil kepandaiannya itu untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakatnya dan untuk menuju satu cita-cita negara yang dijunjung bersama, yakni mencapai kebahagiaan.
Dan ketika mereka membentuk negara, penduduk secara sukarela dan ikhlas menyerahkan haknya sebagai pribadi --karena itu, teori Al Farabi ini disebut "Theory of the Compact for Mutual Renunciation of Rights"-- demi menjunjung tinggi cita-cita bersama mencapai kebahagiaan itu.
Keikhlasan dan penyerahan hak pribadi itulah yang semestinya mendasari sikap kita sebagai pengikut (baca: sebagai rakyat) ketika pada era reformasi sekarang ini kita bertekad membangun Indonesia Baru atau dalam bahasa Iqbal: "to built new features in old Indonesia".
Sejarah memang cenderung berulang kembali ("l'histoire sa repete"). Tetapi, janganlah kita mengulang kembali sejarah kelam perkembangan pemikiran di kalangan binatang berjalan tegak ("pithecantropus erectus") yang terjebak dalam kekuatan kecerdasannya sendiri ("cogito ergo sum"), sehingga ketika konsep Al Farabi ini terbawa ke Eropa menjadi "Social Contract Theory", yang berkembang justru kejatuhan manusia ke titik yang serendah-rendahnya, misalnya di tangan Thomas Hobbes (h. 1588--1679 M) menjadi manusia menerkam manusia ("homo homini lupus") dan perang semua lawan semua ("bellum ominum contra omnes"), sebab Hobbes mensyaratkan pengatur negara yang "leviathan", binatang buas maha kuasa, yang setelah menundukkan kebuasan manusia, barulah dapat mengaturnya dengan baik.
Ingatlah bahwa dalam semboyan revolusi Perancis "liberte, egalite, et fraternite", ada kata persaudaraan dan tidak hanya kemerdekaan dan persamaan.
Ada teladan yang bisa ditarik dari film seri televisi Genghis Khan yang pernah diputar TV7 dari Senin hingga Jum'at malam. Paling tidak, dalam sinetron serial yang disusun kembali dari remah kehancuran sejarah itu, ada dua tokoh yang mencerminkan cara bagaimana agar kita bisa menjadi pengikut atau rakyat yang kritis tapi manusiawi.
Yang pertama ialah selir baru hasil rampasan yang mampu menyadarkan Sang Maharaja yang pada akhirnya tidak jadi melakukan pembasmian suku si selir sampai ke akarnya ("genocide") dengan mengajarinya cara untuk memaafkan dan apa arti kesediaan memaafkan itu bagi citra diri Ka Khan.
Yang kedua ialah cendekiawan Yelu Cuchai, yang baru mau menjadi penasihat Sang Maharaja setelah Genghis Khan membatalkan perintah bumi hangus ibu kota kerajaan yang direbutnya, dengan cara mengingatkan bahwa pemimpin musuh telah melarikan diri dan yang tinggal hanyalah rakyat biasa yang tidak berdosa dalam perseteruan yang akhirnya mendorong Sang Khan Besar mempertahankan harga dirinya itu.
Genghis Khan menjadi pahlawan padang rumput --dalam bahasa Inggris Anda mungkin cenderung menyebutnya "warlord"-- akibat penghinaan demi penghinaan yang diterimanya baik sebagai pribadi maupun anak bangsa, akan tetapi pada akhirnya ia menjadi khan agung yang dengan kehormatannya menaklukkan wilayah yang luas karena kesediaannya menerima kritik yang manusiawi, walaupun sering kali kritik yang demikian itu terpaksa dilontarkan dengan sengit dan pedas.
Catatan Kaki:
*1) James McGregor Burns, Leadership, Harper and Row, New York, 1978.
*2) Bernard M. Bass, Leadership and Performance beyond Expectation, The Free Press, New York, 1978, dan Bass and Stodgill's Handbook of Leadership, The Free Press, New York, edisi ketiga, 1990.
*3) Dalam bahasa Indonesia, Anda dapat membaca ulasan lebih rinci tentang ini pada Jusuf Udaya, Relevansi Kepemimpinan Karismatis terhadap Situasi di Indonesia Saat Ini, dalam Atma nan Jaya, Tahun XII No. 1, Unika Atma Jaya Jakarta, April 1999.
*4) Kata ini merupakan singkatan dari tar macadam, yang digunakan pelaksana pembangunan untuk membuat landasan pesawat terbang. Tetapi, pada perkembangannya, tarmac telah menjadi kata yang berarti landasan itu sendiri dan oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Perusahaan Umum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kedelapan, 1996, menjadi lema tarmak dengan arti landasan pesawat terbang.
*5) A.M.A. Shaushtery, Outlines of Islamic Culture, seperti dikutip H. Zainal Abidin Ahmad dalam Negara Utama (Madinatul Fadilah) --Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam Al Farabi, Penerbit PT Kinta, Jakarta Kota, 1968.
Tapi, tahukah Anda bahwa kondisi seperti ini sama sekali tidak keluar dari pakem manajemen ("the canon of management")?
Pakar politik James McGregor Burns*1) menyebut pemimpin macam itu sebagai "transactional leader" (kasarnya: pemimpin yang membeli pengikut) yang merupakan pengejawantahan sisi gelap "transforming leader" (pemimpin pengubah pengikut). Akan tetapi, berbeda dari Burns, ahli kepemimpinan Bernard M. Bass*2) menyebutnya "transformational leader" dan memisahkannya dari pemimpin transaksional.
Tulisan ini tidak akan membahas persamaan dan perbedaan pendapat kedua pakar tersebut, walaupun kedua teori yang sebaiknya diterima secara interferensional itu digunakan sebagai alat analisis. Menurut Bass, pemimpin yang mampu mengubah zaman harus berkharisma, dapat dijadikan ilham, memiliki pertimbangan yang mempribadi, dan mampu mendorong pengikut secara intelektual.*3)
Yang dimaksudkannya dengan kharisma ialah "dapat memberikan visi dan rasa akan adanya misi, dapat menanamkan rasa bangga, serta dapat memeroleh penghormatan dan kepercayaan." Kharisma bersama inspirasi sebagai subfaktor dapat lebih membangun dan mendorong pengikut.
Akan halnya "individualized consideration", Bass menyangkutkannya dengan sikap pemimpin dalam memberikan perhatian kepada pengikut beserta kebutuhan mereka, memercayai dan menghormati mereka, serta membantu mereka belajar dari tanggung jawab yang diberikannya.
Tentang "intelectual stimulation", ia menyebutnya kemampuan pemimpin memberikan gagasan baru yang menantang yang dianggap dapat mendorong pemikiran kembali cara lama dalam melakukan hal tertentu. Ini, dalam cara berpikir filsuf Sir Muhammad Iqbal, disebut dengan istilah dapat memberikan "ciri baru pada dunia lama" ("new features in an old world").
Mengenai pemimpin transaksional, Bass mencirikan adanya tiga dimensi: "contingent reward", "management by exception", dan "laisser-faire". Dengan kata lain, pemimpin memberikan hadiah kepada pengikut yang berprestasi sesuai dengan arahannya pada setiap tahap, bertindak bila ada penyimpangan dan ketidakberesan, dan berkecenderungan membuat pengikut merampungkan sendiri masalahnya. Yang terakhir ini justru, "on the contrary", menunjukkan adanya kondisi ketidakadaan pemimpin ("non-leadership").
Itu tadi premisnya yang dikemukakan lebih panjang-lebar secara ilmiah oleh master Jusuf Udaya. Persoalan yang muncul ialah marilah kita, yang mayoritas bukan pemimpin melainkan hanya pengikut, menyadari dua sisi berlawanan dari kehadiran mau tak mau ("sine qua non") seorang pemimpin di rumah doyong dalam negara terpuruk yang berakyat amuk ini. Marilah kita menjadi kritis, tetapi tetap manusiawi. Apa artinya ini?
Kebanyakan pakar, saat membicarakan kedua sisi mata uang kepemimpinan ini, memusatkan perhatian pada sang pemimpin dan kurang bersikap kritis terhadap betapa dahsyat kekuatan rakyat ("people power") sebagai pengikut yang justru mampu "memaksakan" lahirnya pemimpin di tengah kondisi amuk.
Teladan terbaik dari perkara macam ini barang kali ialah ambruknya Ferdinand Marcos di Pilipina dan naiknya Corazon Conjuanco Aquino sebagai pemimpin nasional, setelah dia dizalimi melalui pembunuhan suaminya, Benigno "Ninoy" Aquino, di "tarmac"*5) pelabuhan udara Manila sepulang dari pengasingan diri sendiri di Amerika Serikat. Pengikutlah yang memaksa Cory menjadi pemimpin yang merupakan lambang pemersatu rakyat tertindas.
Apa teladan yang kita bisa ambil dari rakyat Pilipina yang terbukti mampu lebih cepat bangkit dari krisis ekonomi yang melanda Asia dibanding negara lain di kawasan ini?
Semoga kiranya tidaklah terlalu gegabah untuk menarik simpulan hipotetik bahwa:
1. Rakyat Pilipina tahu terhadap siapa kedahsyatan "people power" harus digunakan dan diarahkan,
2. Rakyat Pilipina, termasuk mereka yang melakukan pemberontakan secara bergerilya semasa Marcos, baik komunis (Communist Party of the Philippine = CPP) maupun agamis (Moro National Liberation Front = MNLF), bersedia memberikan waktu ("a little bit of chance") kepada Cory Aquino untuk membuktikan diri sebagai pemimpin tranformasional, bukan sekadar dijadikan simbol pemersatu untuk menjatuhkan tiran.
Kenapa demikian?
Agaknya, setelah kian terjerumus dalam kebebasan yang dipahami secara "tersesat", kita harus mengembalikan diri dan pikiran kita ke dalam konsepsi politik yang benar. Mayoritas dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia mengaku beragama Islam, jadi marilah kita ambil contoh dari salah satu muslim pemikir yang paling jago pada zamannya, Abu Nazar Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Al Farabi (h. 870--950 M).
Menurut A.M.A. Shaushtery*6), pendirian politik Al Farabi, sebagaimana tercermin dalam dua dari 102 bukunya, "Mabadi Arai ahlil Madinatil Fadilah" (harfiah: "Dasar Ideologi Warga Negara Utama") dan "Siyasatul Madaniyah" ("Politik Perekonomian"), didasarkan atas konsepsi usaha bersama manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, dengan pikiran dan tindakan pribadi yang suci, dan dengan kerja sama masyarakat, harmoni, dan semangat simpati."
Al Farabi mengingatkan pula bahwa negara lahir atas persetujuan bersama penduduk suatu masyarakat yang saling bertukar di dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka punya kepandaian berbeda-beda tetapi berjanji akan menyumbangkan hasil kepandaiannya itu untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakatnya dan untuk menuju satu cita-cita negara yang dijunjung bersama, yakni mencapai kebahagiaan.
Dan ketika mereka membentuk negara, penduduk secara sukarela dan ikhlas menyerahkan haknya sebagai pribadi --karena itu, teori Al Farabi ini disebut "Theory of the Compact for Mutual Renunciation of Rights"-- demi menjunjung tinggi cita-cita bersama mencapai kebahagiaan itu.
Keikhlasan dan penyerahan hak pribadi itulah yang semestinya mendasari sikap kita sebagai pengikut (baca: sebagai rakyat) ketika pada era reformasi sekarang ini kita bertekad membangun Indonesia Baru atau dalam bahasa Iqbal: "to built new features in old Indonesia".
Sejarah memang cenderung berulang kembali ("l'histoire sa repete"). Tetapi, janganlah kita mengulang kembali sejarah kelam perkembangan pemikiran di kalangan binatang berjalan tegak ("pithecantropus erectus") yang terjebak dalam kekuatan kecerdasannya sendiri ("cogito ergo sum"), sehingga ketika konsep Al Farabi ini terbawa ke Eropa menjadi "Social Contract Theory", yang berkembang justru kejatuhan manusia ke titik yang serendah-rendahnya, misalnya di tangan Thomas Hobbes (h. 1588--1679 M) menjadi manusia menerkam manusia ("homo homini lupus") dan perang semua lawan semua ("bellum ominum contra omnes"), sebab Hobbes mensyaratkan pengatur negara yang "leviathan", binatang buas maha kuasa, yang setelah menundukkan kebuasan manusia, barulah dapat mengaturnya dengan baik.
Ingatlah bahwa dalam semboyan revolusi Perancis "liberte, egalite, et fraternite", ada kata persaudaraan dan tidak hanya kemerdekaan dan persamaan.
Ada teladan yang bisa ditarik dari film seri televisi Genghis Khan yang pernah diputar TV7 dari Senin hingga Jum'at malam. Paling tidak, dalam sinetron serial yang disusun kembali dari remah kehancuran sejarah itu, ada dua tokoh yang mencerminkan cara bagaimana agar kita bisa menjadi pengikut atau rakyat yang kritis tapi manusiawi.
Yang pertama ialah selir baru hasil rampasan yang mampu menyadarkan Sang Maharaja yang pada akhirnya tidak jadi melakukan pembasmian suku si selir sampai ke akarnya ("genocide") dengan mengajarinya cara untuk memaafkan dan apa arti kesediaan memaafkan itu bagi citra diri Ka Khan.
Yang kedua ialah cendekiawan Yelu Cuchai, yang baru mau menjadi penasihat Sang Maharaja setelah Genghis Khan membatalkan perintah bumi hangus ibu kota kerajaan yang direbutnya, dengan cara mengingatkan bahwa pemimpin musuh telah melarikan diri dan yang tinggal hanyalah rakyat biasa yang tidak berdosa dalam perseteruan yang akhirnya mendorong Sang Khan Besar mempertahankan harga dirinya itu.
Genghis Khan menjadi pahlawan padang rumput --dalam bahasa Inggris Anda mungkin cenderung menyebutnya "warlord"-- akibat penghinaan demi penghinaan yang diterimanya baik sebagai pribadi maupun anak bangsa, akan tetapi pada akhirnya ia menjadi khan agung yang dengan kehormatannya menaklukkan wilayah yang luas karena kesediaannya menerima kritik yang manusiawi, walaupun sering kali kritik yang demikian itu terpaksa dilontarkan dengan sengit dan pedas.
Catatan Kaki:
*1) James McGregor Burns, Leadership, Harper and Row, New York, 1978.
*2) Bernard M. Bass, Leadership and Performance beyond Expectation, The Free Press, New York, 1978, dan Bass and Stodgill's Handbook of Leadership, The Free Press, New York, edisi ketiga, 1990.
*3) Dalam bahasa Indonesia, Anda dapat membaca ulasan lebih rinci tentang ini pada Jusuf Udaya, Relevansi Kepemimpinan Karismatis terhadap Situasi di Indonesia Saat Ini, dalam Atma nan Jaya, Tahun XII No. 1, Unika Atma Jaya Jakarta, April 1999.
*4) Kata ini merupakan singkatan dari tar macadam, yang digunakan pelaksana pembangunan untuk membuat landasan pesawat terbang. Tetapi, pada perkembangannya, tarmac telah menjadi kata yang berarti landasan itu sendiri dan oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa telah dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Perusahaan Umum Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kedelapan, 1996, menjadi lema tarmak dengan arti landasan pesawat terbang.
*5) A.M.A. Shaushtery, Outlines of Islamic Culture, seperti dikutip H. Zainal Abidin Ahmad dalam Negara Utama (Madinatul Fadilah) --Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam Al Farabi, Penerbit PT Kinta, Jakarta Kota, 1968.
Posting Komentar