DALAM ALAM PASCAMODERN
sekarang ini, saat semuanya sudah serba-canggih, Anda tidak susah
mendapatkan alat peraga saat mengajar murid di dalam kelas. Dulu, pada
dasawarsa 1950-an, belum ada laptop alias komputer jinjing. Yang agak setara saat itu hanyalah kotak pasir. Kebanyakan guru masih menggunakan papan tulis dan kapur.
Pada malam sebelum menulis karangan ini, saya mencoba chatting (berbincang) melalui jaringan sosial Facebook dengan
beberapa teman yang berprofesi guru. Dari situ, saya tahu tidak banyak
pengajar yang masih mengingat keandalan kotak pasir (sandbox) sebagai alat peraga.
Ketika saya bersiluncur di dunia maya, saya lumayan terkejut. Laman kamus Wikipediadan situs pencari data Google ternyata
menggunakannya. Yang satu memanfaatkannya sebagai alat berlatih bagi
orang yang akan menyumbang data. Yang lain menggunakannya sebagai alat
penyaring (selector) blogger baru. Akibatnya: sanksisandbox menjadi momok bagi blogger di lingkungan Google.
Sayangnya, teknologi komunikasi, tepatnya pengolah kata (word processor), sederhanacopy and paste (salin dan tempel) tampaknya telah mengajarkan jalan pintas (short cut) termudah bagi blogger untuk mengisi blog-nya.
Cara ini bukannya haram, tapi sebaiknya kreatiflah sedikit: sunting
ulang bahan yang Anda dapat dan tulis kembali dengan gaya bahasa Anda
sendiri.
Lebih sayangnya lagi, saat saya mengintip Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dipamerkan oleh guru dan juga dosen di blog-nya masing-masing, saya mendapati juga pemraktikan cara copy and paste ini.
Tentu saja, cukup banyak juga yang melakukannya dengan cara yang benar:
menyunting ulang bahan yang tersedia. Bahkan, sebagian di antaranya,
begitu jujur, mencantumkan catatan kaki sumber rujukan.
Baca dan Olah dengan (Gaya) Bahasamu Sendiri
YANG MENGGEMBIRAKAN saya, ada blogger muda
yang dengan bagus menulis ulang bahan yang didapatnya dari blog
psikolog mengenai teori kotak pasir tersebut. Bandingkan dua kutipan
berikut ini:
“Saya mendengar cerita
tentang anak-anak yang bermain pasir dalam kotak. Ada dua anak yang
masing-masing membawa ember kecil dan sendok kecil bermain bersama.
Salah seorang anak berteriak, menangis, dan lari keluar kotak. ‘Saya
benci kamu. Saya tidak mau main lagi dengan kamu. Kamu nakal’.”
“Namun,
beberapa menit kemudian anak yang lari keluar (dari) kotak tersebut
kembali ke kotak dan dengan tenangnya berbaikan dan asyik bermain berdua
kembali. Dekat dengan anak-anak yang sedang bermain tersebut, duduk dua
orang dewasa. Yang satu mengatakan, ‘Apakah kau mem(p)erhatikan kedua
anak tersebut?,’ katanya dengan air muka menunjukkan kekaguman.”
“’Bagaimana
bisa, ya, anak-anak seperti itu. Mereka adalah dua anak yang bermusuhan
lima menit lalu,’ jawab orang dewasa yang lain. ‘Sebenarnya sederhana.
Anak-anak memilih kebahagiaan daripada memikirkan berlama-lama, apakah
temannya melakukan tindakan benar atau salah,’ demikian jawab temannya.”
Begitu ditulis oleh psikolog Sawitri Supardi Sadarjoen.
Berikut ini yang ditulis oleh Dinda. “Ada… artikel yang saya ambil dari koran Kompas Minggu tentang
psikologi. Saya sangat suka artikel ini karena tanpa kita pungkiri
kehidupan ini penuh dengan konflik dengan orang-orang di dalam kehidupan
kita.”
“Sewaktu kecil mungkin kita sering musuhan dengan teman sebaya tapi beberapa menit kemudian kita kembali bermain bersama. Kenapa bisa begitu ya? Sebenarnya sederhana, anak-anak lebih memilih kebahagiaan daripada memikirkan berlama-lama, apakah temannya melakukan tindakan benar atau tidak. Tetapi beda (halnya) dengan orang dewasa yang memiliki kesulitan luar biasa untuk lepas dari rasa amarah, kepahitan, dan terluka.”
“Walaupun hidup ini sangat singkat, tetapi kita tidak peduli dan menunda untuk kembali ke kotak pasir. Ternyata kebutuhan orang dewasa untuk menyeimbangkan posisi kebersamaan dengan orang lain begitu kuat dan hal ini justru membuat kita terpaku dengan perasaan negatif, padahal perasaan negatif harus dibayar dengan mengorbankan kebahagiaan dan kenyamanan perasaan kita sendiri.”
“Kebutuhan kita akan bahasa percakapan melandasi keinginan kita agar berdiri tegak di atas kebenaran. Melalui kata-kata, kita dapat memahami orang lain.”
“Kita dapat berbicara dan menentukan kapan kita berhenti bicara. Apa pun yang kita pilih(,) sebenarnya sebagai orang dewasa(,) kita pun dapat kembali ke kotak pasir dengan kejelasan, kebijaksanaan(,) dan tujuan yang kita tentukan. Dengan begitu, kita dapat menguatkan self (diri) dan hubungan dengan orang lain.”
“Sewaktu kecil mungkin kita sering musuhan dengan teman sebaya tapi beberapa menit kemudian kita kembali bermain bersama. Kenapa bisa begitu ya? Sebenarnya sederhana, anak-anak lebih memilih kebahagiaan daripada memikirkan berlama-lama, apakah temannya melakukan tindakan benar atau tidak. Tetapi beda (halnya) dengan orang dewasa yang memiliki kesulitan luar biasa untuk lepas dari rasa amarah, kepahitan, dan terluka.”
“Walaupun hidup ini sangat singkat, tetapi kita tidak peduli dan menunda untuk kembali ke kotak pasir. Ternyata kebutuhan orang dewasa untuk menyeimbangkan posisi kebersamaan dengan orang lain begitu kuat dan hal ini justru membuat kita terpaku dengan perasaan negatif, padahal perasaan negatif harus dibayar dengan mengorbankan kebahagiaan dan kenyamanan perasaan kita sendiri.”
“Kebutuhan kita akan bahasa percakapan melandasi keinginan kita agar berdiri tegak di atas kebenaran. Melalui kata-kata, kita dapat memahami orang lain.”
“Kita dapat berbicara dan menentukan kapan kita berhenti bicara. Apa pun yang kita pilih(,) sebenarnya sebagai orang dewasa(,) kita pun dapat kembali ke kotak pasir dengan kejelasan, kebijaksanaan(,) dan tujuan yang kita tentukan. Dengan begitu, kita dapat menguatkan self (diri) dan hubungan dengan orang lain.”
Gunung Meletus pun Bisa
KITA KEMBALI bernoslagia dengan kotak pasir. Sandbox sebagai alat peraga (dulu disebut “alat berupa”) sudah umum dipakai di Indonesia pada tahun 1953.
Berikut ini saya kutipkan apa yang ditulis oleh trio redaktur A.M. Arifin Temyang, Ahmad Badwi, dan M. Vastenhouw, dalam buku Risalah Didaktik, Seri Pertama, I: Didaktik Umum,
terbitan Firma Penerbitan “Saptadarma”, Jakarta, Januari 1953, halaman
36. Ejaannya saya sempurnakan. Untuk memudahkan Anda memahaminya, saya
tambahkan kata, suku kata, atau sekadar tanda baca dalam kurung.
“Misalnya
guru (akan) bercerita tentang gunung berapi dengan telaga kepundan.
Tetapi(,) tempat kediaman kita di datar(an) rendah, jauh dari gunung.
Sulit memperlihatkannya, bukan?”
“Apa daya?
Dalam beberapa menit saja(,) telah dapat sebuah gunung kita tiru dengan
pasir. Di dalam lubang kepundan(,) diletakkan piring ceper kecil berisi
air. Itulah telaga kepundan.”
“Jikalau hendak
kita perlihatkan bagaimana kerjanya gunung berapi, maka bubuhkan karbid
sedikit ke dalam air itu. Sebentar saja air itu mulai mendidih. Sebatang
korek api (menyala) kita dekatkan: bum! Ledakan terdengar. Dan… itulah
gunung api yang sedang meletus; Lengkap dengan asapnya, serta bau yang
busuk, dan lahar yang mengalir melalui lereng!”
Masih banyak yang Anda, terutama Anda yang mengajar di daerah terpencil, dapat lakukan dengan sandbox. Dalam bukunya, Zandbakwerk,
Penerbit Djambatan, Jakarta, misalnya, E.H. van Waardenberg mengajak
kita menggunakan kotak pasir untuk memeragakan kisah kancil dan buaya,
bahkan perang satu lawan satu.
Apa
hakikat mengajar dengan kotak pasir? Bacalah kutipan saya yang terakhir
ini: “Guru bercerita tentang perang pijar antara dua pasukan. Alangkah
riangnya hati murid sekelas, jikalau disuruh membuat dari karton tipis
segala yang perlu untuk me’rupa’kan perang-perangan itu.”
+ komentar + 1 komentar
Guru bukan sekedar di GUGU lan di TIRU, dikahwatirkan ia juga MENIRU atau melakukan Plagiasi. Guru adalah ujung tombak peradaban.
Kotak pasir itu ada peradaban.
www.komunitascahaya.org
Posting Komentar