WAYANG THENGUL disebut-sebut
sebagai salah satu potensi wisata budaya Kabupatèn Blora yang pernah
berkembang dengan baik pada era antara tahun 1940 dan 1955 serta menjadi
daya tarik turis, baik dari dalam negeri maupun måncånegårå. Apakah
yang dimaksud dengan wayang thengul?
Wayang thengul tidak lain dan tidak bukan hanyalah istilah lokal untuk apa yang di Yogyåkartå, misalnya, disebut wayang golèk ménak, karena wayang ini memang biasanya digunakan terutama untuk mementaskan lakon Wong Agung Ménak alias Wong Agung Jayèngrånå dari Serat Ménak.Akan tetapi, secara umum wayang thengul disebut wayang golèk Jåwå, yang berkembang terutama di daerah Tuban dan Bojonegoro, yang masih dalam wilayah bahasa yang sama, yakni dialek yang berciri lèh, dengan Blora.
Naskah rontal (Jawa: daun lontar) salah satu kisah ini, Serat Rengganis, disuguhkan dalam Pameran Keliling Budaya Tulis dan Benda Cagar Budaya di Jåwå Tengah yang mengambil tempat di gedung pertemuan Sasana Bhakti di sudut timur laut alun-alun Blora pada tanggal 5--9 Mei 2004.
Naskah lontar yang ditemukan di Jalan Kemetiran Kidul 103 Yogyåkartå ini berisikan kisah Bagéndhå Ambyah, dimulai dari kisah Rengganis bertapa sampai dengan Umar Måyå sakit hingga disembuhkan oleh Rengganis. Ada yang menyebut Serat Rengganisitu cerita ménak-pang (carangan, buatan baru) yang berkembang di Palembang.
Apakah itu wayang thengul atau wayang golèk ménak? Wayang golèk “dibuat dari kayu, bulat dan tebal. Bagian bawah dan kaki dibalut dengan pakaian. Sebelah atas biasanya telanjang, kecuali pada beberapa pelawak dan pahlawan, pakai baju sikepan. Wayang ini dipertunjukkan tanpa kelir pada siang hari, biasanyadisertai dengan gamelan laras miring,” tulis Amir Mertosedono, S.H.
Ia menambahkan “Timbulnya wayang golèk lebih awal dari wayang klithik. Golèk berarti: (1) boneka, (2) mencari; dalam kedua arti ini terselip arti yang penting, yaitu (1) bulat, (2) di sekeliling. Mungkin wayang golèk merupakan kelanjutan dari wayang potèhi, semacam sandiwara (boneka) Cina dari Foeh Kien selatan. Kepala wayang tersebut dibuat dari kayu. Tangkainya dibuat dari bambu. Dengan tangkai itu, wayang bisa ditancapkan pada batang pisang.”
“Wayang golèk tidak pakai kaki, tetapi ditutup dengan kain (sarung). Biasanya kepalanya terlalu besar. Leher dan tangannya terlalu panjang. Tangannya berakhir pada kayu yang menggambarkan tinju dan tangan diikat dengan sepotong bambu. Dalang menggerak-gerakkan bambu tersebut, dengan ibu jari dan jari telunjuk, sedangkan tiga jari lain memegang tangkai wayang. Cerita untuk wayang ini ialah cerita tentang Umar Måyå, Amir Hamzah, dan (juga) Damar Wulan,” tulisnya pula.
Bila mementaskan cerita yang disebut terakhir ini, tentu yang dimaksud ialah sub-gènré wayang golèk Panji.
“Salah satu contoh lakon yang pernah dimainkan oleh wayang thengul antara lain lakon Damarwulan Ngarit, cerita yang diambil dari zaman kerajaan Måjåpahit.Contoh lakon yang bersumber pada Serat Ménak ialah Wong Agung Ménak dan Umar Måyå Umar Madi,” tulis Dr. Kanti Walujo, M.Si., pejabat karier di Departemen Penerangan era Menteri Harmoko.
S. Haryanto memberikan pemerian yang lebih rinci kenapa wayang jenis ini disebut wayang golèk. “Pada akhir pergelaran wayang kulit purwå, dulu, dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan dinamakan golèk. Dalam bahasa Jåwå, golèk berarti juga ‘mencari’. Dengan memainkan wayang golèk tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton nggolèki atau mencari intisari dari nasihat yang terkandung dalam pergelaran yang baru lalu. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah, wayang golèk dinamakan demikian,” tulisnya.
Akan tetapi, sepanjang hidup penulis laporan ini, yang mulai menonton wayang sejak kelas IV SD pada tahun 1964, tidak pernah didapati pementasan wayang kulit ditutup dengan tarian boneka golèk tiga dimensi. Yang paling sering ialah tarian bèndrong oleh Bimå, satria panenggak Pandhåwå, sebelum tancep kayon (dalang menancapkan gunungan tanda pementasan berakhir).
Menurut dalang dan dosen Dr. Singgih Wibisono, penjelasan seperti ini pernah ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangéran Aryå Adipati (K.G.P.A.A.) Mangku Nagårå VII (k. 1916--1944) dalam artikelnya yang dimuat Majalah Djawa pada tahun 1933. “Demikianlah juga dalam tradisi pergelaran wayang kulit yang masih terus dipertahankan oleh para dalang ialah bahwa menjelang akhir pertunjukan sang dalang menampilkan tarian dengan menggunakan golèk, yaitu boneka kayu berdimensi tiga. Kata golèk juga berarti ‘mencari’. Dalam hal ini dikandung maksud agar setelah penonton mengikuti seluruh cerita, dari awal sampai akhir, diharapkan mereka nggolèki atau mencari inti pelajaran yang tersirat dalam pertunjukan semalam suntuk yang kiranya bermanfaat bagi hidupnya,” tulisSinggih, dengan mengutip artikel itu.
Kembali ke definisi wayang golèk, S. Haryanto menulis pula bahwa “Wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju serta selendang (sampur) dan dalam pementasannya tidak digunakan kelir. Sebagai pengganti bléncong, sering dipakai lampu petromaks atau listrik. Boneka kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragamnya, sesuai dengan tokoh wayang dalam epos Råmåyånå dan Måhåbharåtå.”
Yang dibicarakan ini tentu saja wayang golèk purwå, yang pertama kali masuk Jåwå Barat di Cirebon, baru kemudian masuk pedalaman Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda, tentu saja tidak lagi memakai bahasa Jåwå, meski kata bahasa Jåwå dan Jåwå Kunå banyak disisipkan ke dalam bahasa Sunda. Wayang golèk purwå Jåwå diciptakan pada masa pemerintahan Prabu Amangkurat I di Mataram (k. 1646--1677), tepatnya pada tahun 1646. Benarkah demikian?
Menurut S.Haryanto, wayang golèk ménak dikenal baik di Jåwå Tengah, termasuk ragam lain di Banyumas, maupun di Jåwå Barat, juga sama-sama mementaskan cerita bernafaskan Islam, yakni kisah Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad s.a.w., bersama tokoh ménak yang lain: Raja Jubin, Adam Bilis, Tumenggung Pakacangan, Iman Suwångså, Pringadi, Panji Kumis, Radèn Abas, dan Umar Måyå. Di Jåwå Barat, wayang golèk ménak disebut wayang bendo.
Ia juga menulis, “sesudah Kerajaan Demak runtuh, kraton pindah ke Pajang dan sebagian wayang dibawa ke Cirebon, karena Kerajaan Cirebon punya hubungan erat dengan Demak. Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon, terdapat wayang golèk purwå bercampur dengan wayang golèk ménak, sehingga dalam pementasannya disebut wayang cepak. Wayang jenis ini membawakan pula cerita sejarah perkembangan agama Islam di Jåwå. Masyarakat menyebut wayang tersebut wayang cepak, karena kepala sebagian golèk-nya rata.”
Akan halnya wayang di Cirebon, Saini K.M. menulis “Wayang Cirebon terdiri atas wayang kulit dan wayang cepak (papak, ménak). Wayang kulit menyajikan ceritera wayang purwå, episode Måhåbharåtå dan Råmåyånå, sedangkan wayang cepak menyajikan cerita Panji dan Ménak, yaitu kisah kepahlawanan seputar Amir Hamzah, pamanda Rasul s.a.w. Kiranya jelas kisah tersebut erat berhubungan dengan penyebaran agama Islam. Berbeda dari wayang golèk Jåwå Barat yang nilai ritualnya sangat menipis dewasa ini, wayang Cirebon termasuk lebih kuat bertahan. Kendati kemundurannya, wayang Cirebon dapat dianggap masih memiliki ritus bagi komunitasnya dan beberapa dalangnya sering memandang rendah wayang Bandung.”
“Kalau jati diri suatu komunitas budaya di antaranya terletak dalam kosmosnya, yaitu identitas gambaran dunia, tata-nilai dan emosi yang berhubungan dengannya, wayang Cirebon ialah salah satu sarana yang paling kuat untuk mengukuhkan kosmos tersebut. Dalam wayang cepak yang mengisahkan kepahlawanan Amir Hamzah yang kemudian ternyata bersambung dengan kepahlawanan Sunan Gunung Jati, nilai-nilai keislaman dan kecirebonan ditampilkan, diakui, dan dikuatkan kembali. Namun,tidak sekadar itu, nilai-nilai tersebut diwadahi wahana artistik-estetik yang khas Cirebon,” tulisnya pula.
Sebelumnya ia menekankan bahwa “Terdapat beberapa faktor yang mendukung bertaliannya fungsi ritual wayang Cirebon, baik wayang kulit maupun wayang cepak. Sebagai kelompok etnik yang berada di tengah kelompok etnik yang berjumlah besar dengan kebudayaan yang kuat, yaitu Jåwå Tengah (Sålå, Yogyåkartå) dan Jåwå Barat (Sunda), masyarakat Cirebon sebagai komunitas budaya cenderung termotivasi untuk mempertahankan jati dirinya. Identitas ini, di samping diungkapkan dalam bahasa, juga dalam seni. Wayang Cirebon termasuk seni yang sangat penting sebagai pengungkap jati diri kecirebonan. Faktor lain yang mendukung ialah kehadiran keraton (Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan). Ketiga keraton ini,selain menjadi buhul yang menghubungkan masyarakat budaya Cirebon dengan masa lampaunya, juga menjadi penyangga upacara etnik Cirebon, yang terpenting ialah upacara Panjang Jimat.”
Kembali ke soal penciptaan wayang thengul, S. Haryanto menulis pula bahwa pada masa pemerintahan Sultån Hadiwijåyå di Pajang, Sunan Kudus menciptakan bentuk wayang golèk dari kayu pada tahun wayang nir gumuling kismå (1508 Ç/1584M).
Akan tetapi, pada bagian lain bukunya, ia menulis bahwa Kiyai Trunådipå dari Kampung Baturetno, Suråkartå, membuat wayang ménak setelah ia menjual wayang madyå hasil karyanya kepada Mangku Negårå VII (k. 1916--1944). Wayang ménak ini dibuat dari kulit yang ditatah dan disungging, seperti halnya wayang kulit purwå, sedangkan wayang ménak yang dibuat dari kayu dan merupakan wayang golèk disebut wayang thengul. Maksudnya supaya bisa digunakan untuk mementaskan Serat Ménak. Setelah ia meninggal, wayang ini dibeli oleh Radèn Mas Ngabèhi (R.M.Ng.) Dutåpråjå.
(Ki Slamet No One)
Posting Komentar