Home » » Kisah dari Gunung Merapi, Dieng, dan Kelut: MENINGGALKAN ANAK-ISTRI MENGHADAPI KEBUASAN ALAM

Kisah dari Gunung Merapi, Dieng, dan Kelut: MENINGGALKAN ANAK-ISTRI MENGHADAPI KEBUASAN ALAM

Written By Unknown on Selasa, 29 Oktober 2013 | 20.00

Kisah dari Gunung Merapi, Dieng, dan Kelut: MENINGGALKAN ANAK-ISTRI MENGHADAPI KEBUASAN ALAM

(Pengantar: tulisan ini di-create untuk Biwara Antara Spektrum LKBN Antara pada tahun 1987. Diketik ulang dari versi yang dimuat oleh Harian Umum Pelita, Jakarta, Senin 15 Juni 1987, halaman 6 dan 9 pada hari Sunday, June 24, 2007.08:30-12:06, selesai juga setelah listrik mati cukup lama akibat kebakaran di rumah Ketua RW 013.)

Banyak pekerjaan bisa dipilih, baik dengan terpaksa maupun dengan segala senang hati. Tetapi, tentu saja tidak semua orang mudah menerima kenyataan bahwasanya ada orang yang dengan segala senang hati, bahkan turun-temurun, memilih pekerjaan sebagai pengamat gunung berapi.

Apalagi, pengamat seperti itu hanya dua hari saja berkumpul bersama anak-istrinya setelah enam sampai tujuh hari berdinas di tempat terpencil, jauh dari keramaian, hanya berteman alam gunung yang diamatinya.

Mereka juga menghadapi kebuasan alam, yang setiap saat siap menebarkan maut. Mereka menanggung beban bahwasanya sewaktu-waktu gunung yang diamatinya bisa giat --,entah itu meletus, entah itu memuntahkan gas beracun-- dan siap menyebarkan bibit bencana yang bisa mencelakakan jiwa ribuan orang yang bertempat tinggal di lereng dan lembah di sekitar gunung yang mereka amati itu.


Turun-Temurun

Salah satu di antara mereka, Sugiyono H.S., yang lahir di Muntilan, Jawa Tengah, pada tanggal 17 November 1951, ditugasi untuk mengamati Merapi, gunung yang berwatak paling aneh di Jawa, bahkan mungkin di Indonesia.

Lulusan Sekolah Menengah Atas yang beranak tiga itu ditugasi di Pos Pengamatan Babadan, satu dari lima pos pengamatan yang ada di sana. Pengatur muda tingkat satu dengan golongan gaji II/b itu bertugas sebagai pegawai harian mulai tahun 1975 dan lima tahun kemudian baru diangkat sebagai pegawai negeri.

Yang unik, pria yang menikah dengan Sri Hartatiningsih itu seolah-olah menerima pekerjaan itu sebagai warisan dari ayah dan kakeknya, Djuwangi dan Kertodikoro, yang masing-masing bertugas sebagai pengamat gunung itu pada tahun 1920-1957 dan 1930-1971.

Bersama dua rekan-sejawatnya, secara bergiliran Sugiyono bertugas melakukan pengamatan visual membaca rekaman gempa bila ada perubahan kegiatan gunung yang diamatinya. Secara rutin setiap pagi ia berkomunikasi dengan kantor induk di Yogyakarta, serta melakukan hubungan antarpos pengamatan dan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.

Dalam keadaan biasa, sekali sebulan ia mengadakan pemeriksaan kawah dan puncak. Tidak ada kesulitan untuk mencapai puncak karena jalan setapak yang ada cukup baik. Hanya saja, bila cuaca jelek dan berkabut sewaktu ia bertugas mengamati kawah, ia harus menghadapi risiko duduk berbilang jam di tepi kawah menggigil kedinginan.

Atas pertanyaan penulis, Sugiyono menyatakan tugasnya ini “berat karena menanggung jiwa ribuan orang” yang tinggal di lereng Merapi, yang setiap saat siap memuntahkan lahar yang bisa saja membanjir, menghancurkan segala apa yang dilintasinya.

Ia mengaku hatinya merasa senang dan bahagia sempat mengabarkan perihal kegiatan gunung itu kepada masyarakat. Dengan demikian, ia dapat melaksanakan tanggung jawab tugas dan sekaligus dapat menyelamatkan rakyat awam dari ancaman yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan gunung itu.

Pada tahun 1984, misalnya, gunung itu “batuk-batuk” dan menebarkan abu ke arah utara, ke daerah Boyolali dan sekitarnya, hingga abu menumpuk di atas rumah setebal dua sentimeter. Peletusan kecil ini tidak minta korban.


Pisah Keluarga

Sugiyono menyatakan bahwa tanggapan masyarakat terhadap para pengamat gunung berapi itu cukup baik. Banyak anggota masyarakat yang melakukan kunjungan ke pos pengamatan, sehingga suasana di sana menjadi hidup dan ”seolah-olah semua mata memandang ke arah kami bertiga yang ada di pos,” katanya.

Sebagian dari mereka yang berkunjung itu pelajar dan mahasiswa yang mendapat tugas untuk membuat karya tulis. Tetapi, bila musim kunjungan ini sudah reda, menurut ia, “secara berangsur keadaan pos sepi kembali, tinggal kami bertiga yang hanya dihibur kicauan burung dan desah angin yang menerpa pepohonan di lereng Merapi.”

Dalam keadaan seperti itu, terasalah kedukaan karena harus selalu berpisah dari keluarga. “Betapa tidak, setiap kali kami harus meninggalkan istri dan meniduri gunung,” katanya. Ia kemudian menambahkan bahwa “hanya satu atau dua hari saja dalam seminggu kami bisa berkumpul.”

Tetapi, ia mengaku tidak mengalami kelainan jiwa ataupun kelainan seksual. Bahkan, menurut ia, pendidikan anaknya serta hubungan anak itu dengannyapun tidak terganggu oleh kesenantiasaan berpisah itu.

“Anak-anak tetap berkembang normal sebagaimana lazimnya anak lain,” katanya. Ia menyatakan pula bahwa kelak bila sudah sekolah, selaku anak pengamat gunung berapi, mereka akan mendapatkan beasiswa dari Yayasan Supersemar.
Fasilitas di pos pengamatan yang dibangun permanen pada tahun 1954 itu cukup baik. Ada tempat tidur dan dapur, lengkap dengan peralatan masak. Bahkan, atas kebaikan bupati setempat, di pos itu sekarang sudah ada pesawat televisi.

Di bangunan beton cor berukuran 7x12 meter persegi itu, Sugiyono memasak sendiri makanan sehari-hari baginya, yang bahannya juga dibelinya sendiri di kampung terdekat. Hanya saja, air minum agak sulit diperoleh. Tidak jarang ia dan dua temannya segiliran tugas hanya mengandalkan pada air hujan yang dapat ditampung di bak penampungan.

Ini terutama bila mereka tak sempat membawa air dalam jerigen ke pos pengamatan yang jauhnya lebih kurang lima kilometer dari desa terdekat dan empat kilometer dari puncak Merapi itu. Bila musim kemarau tiba, merekapun tak mungkin lagi mandi, karena air hanya cukup untuk sekadar masak dan minum saja.

Pada tanggal 25 Mei 1987, bersama dua sejawatnya dari Gunung Kelut dan Gunung Dieng, Sugiyono dipanggil ke Jakarta untuk menerima radio transistor dari Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya R. Soeprapto dan berbagai bingkisan lain yang Ketua Yayasan Perjalanan Mencerdaskan Bangsa (YPMB) Sukyatno Nugroho dapat kumpulkan.


Orang Gunung

Sejawat Sugiyono dari Pos Pengamatan Gunung Dieng, Suwandi, yang lahir di Batur pada tanggal 21 Juni 1943 dan tamatan Sekolah Rakyat (SR), tampak begitu lugu dan sulit diwawancarai. Bapak enam anak dari perkawinannya dengan Sutini ini bekerja sebagai buruh harian mulai tahun 1967 dan diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun 1982.

Di samping bertugas sebagai pengamat, juru muda tingkat satu dengan golongan gaji II/b ini juga melakukan pemeliharaan bangunan pos, bangunan seismograf, halaman dan lingkungan pos, serta bertindak sebagai kurir.
Setelah pekerjaan di sekitar pos usai dilakukannya, ia membantu tugas lapangan seperti pemeriksaan kawah dan melakukan pengukuran suhu. Sebelum ada sepeda motor, untuk mencapai satu dari 11 kawah di Dieng, ia harus berjalan kaki seharian, kadang-kadang sampai 13 kilometer jauhnya.

Karena adanya ancaman gas beracun, ia selalu menggunakan masker bila sedang melakukan pengukuran suhu. Sewaktu terjadi musibah gas maut Sinila pada bulan Februari 1979, ia berada di pos pengamatan dan melihat bahwa penyebaran gas racun itu diawali dengan gempa dan peletusan.

Posnya terletak pada ketinggian 2.000 meter dari muka laut, sehingga udaranya dingin, baik siang maupun malam. Karena di pos tak tersedia alat pemanas ruangan, ia terpaksa harus tidur dengan selimut berlapis-lapis. Tidurnyapun tak pulas, karena ia harus bangun pada waktunya untuk melakukan pengamatan visual.

Air bersih, baik dari mata air maupun sumur, sangat sulit diperoleh di sekitar pos. Karena itu, untuk mencukupi kebutuhan minum sehari-hari, ia hanya bisa berharap pada air hujan.

Meski menghadapi situasi kerja yang demikian sulit, Suwandi yang mengaku “orang gunung” merasa “cocok dengan tugas yang dipilihnya.” Setiap hari dengan senang hati ia melaksanakan tugas “karena sudah kewajiban.”

Di pos itu, tidak ada pesawat radio single side band (SSB) dan telefon. Karena itu, bila mendadak gunung tampak melakukan kegiatan, ia atau temannya segiliranpun terpaksa bergegas naik motor enam kilometer ke desa terdekat. Petugas di sana akan meneruskan berita itu ke Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Pada malam penerimaan bingkisan, Suwandi tampak gelisah. Ia berkali-kali menengok mobil dinas Direktorat Vulkanologi yang membawanya ke Jakarta. Maklum, ia baru pertama kali menginjakkan kakinya di Ibu Kota.

Bapak yang keenam anaknya belum ada yang kawin dan tinggal satu yang belum sekolah ini menyatakan ”Jakarta panas bukan main, tetapi di sini pembangunan maju pesat.” Hari itu, oleh YPMB, ia diajak darmawisata ke Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), bersama sejawatnya yang lain.


Tangga Plastik

Mirip dengan sejawatnya dari Merapi, Giyono, yang lahir di Brenggolo pada tahun 1940 dan ditugasi di Pos Pengamatan Gunung Kelut, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, memulai karirnya sebagai pengamat untuk menggantikan kakaknya, Gian Mulyono, yang anaknya banyak dan tak betah bertugas di tempat terpencil.

Lulusan SR ini bertugas melakukan pengamatan, baik visual maupun nonvisual, misalnya mengamati suara kegiatan solfatara/fumarola dan bau gas belerang. Ia juga mengamati cuaca, termasuk arah angin dan hujan.

Selain itu, pengatur muda dengan golongan gaji II/a yang beranak tiga dari hari perkawinannya dengan Darsih ini juga membantu mengelola alat pengamatan, menyiapkan bahan laporan, dan memeriksa kawah serta mengukur suhunya.
Kecuali pekerjaan kawah, semua tugasnya itu dilakukannya setiap hari, baik sewaktu ia masih bekerja sebagai buruh harian sejak tahun 1963 maupun setelah diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun 1970.

Untuk sampai ke kawah yang jauhnya kira-kira sembilan kilometer dari pos, ia harus berjalan kaki lebih kurang enam jam. Ia tidak melakukannya sendirian tetapi bersama rekan sejawatnya karena sulitnya medan dan adanya ancaman binatang buas.

Untuk turun ke tepi kawah, ia hanya menggunakan tangga dari tambang plastik. Pekerjaan ini tentu saja dilakukannya dengan hati-hati, tergelincir berarti tercebur ke danau kawah yang cukup dalam.

Ia juga harus mengukur suhu air kawah dan solfatara. Pekerjaan ini cukup berat, karena harus dilakukannya dengan menyeberangi danau, hanya menggunakan rakit bambu. Ia melakukan pekerjaan ini sendirian, sementara temannya menunggu di tepi kawah dengan harap-harap cemas.

Lingkungan tempat Giyono, Suwandi, dan Sugiyono bertugas tampaknya tenang tetapi sebenarnya menyimpan kebuasan. Tempat itu juga terasing. Karena itu, kebuasan yang terpendam itupun tidak begitu menimbulkan kekuatiran, meski sebenarnya kebuasan itu tetaplah merupakan ancaman.

Tempat itu jauh dari keramaian dan tampaknya keterasingan itu juga melahap manusia seperti mereka, menyembunyikannya dari masyarakat, padahal mereka sebenarnya masih merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit