Kisah dari Gunung Merapi, Dieng, dan Kelut: MENINGGALKAN ANAK-ISTRI MENGHADAPI KEBUASAN ALAM
(Pengantar: tulisan ini di-create untuk Biwara Antara Spektrum LKBN Antara
pada tahun 1987. Diketik ulang dari versi yang dimuat oleh Harian Umum
Pelita, Jakarta, Senin 15 Juni 1987, halaman 6 dan 9 pada hari Sunday,
June 24, 2007.08:30-12:06, selesai juga setelah listrik mati cukup lama
akibat kebakaran di rumah Ketua RW 013.)
Banyak pekerjaan
bisa dipilih, baik dengan terpaksa maupun dengan segala senang hati.
Tetapi, tentu saja tidak semua orang mudah menerima kenyataan bahwasanya
ada orang yang dengan segala senang hati, bahkan turun-temurun, memilih
pekerjaan sebagai pengamat gunung berapi.
Apalagi,
pengamat seperti itu hanya dua hari saja berkumpul bersama anak-istrinya
setelah enam sampai tujuh hari berdinas di tempat terpencil, jauh dari
keramaian, hanya berteman alam gunung yang diamatinya.
Mereka
juga menghadapi kebuasan alam, yang setiap saat siap menebarkan maut.
Mereka menanggung beban bahwasanya sewaktu-waktu gunung yang diamatinya
bisa giat --,entah itu meletus, entah itu memuntahkan gas beracun-- dan
siap menyebarkan bibit bencana yang bisa mencelakakan jiwa ribuan orang
yang bertempat tinggal di lereng dan lembah di sekitar gunung yang
mereka amati itu.
Turun-Temurun
Salah
satu di antara mereka, Sugiyono H.S., yang lahir di Muntilan, Jawa
Tengah, pada tanggal 17 November 1951, ditugasi untuk mengamati Merapi,
gunung yang berwatak paling aneh di Jawa, bahkan mungkin di Indonesia.
Lulusan
Sekolah Menengah Atas yang beranak tiga itu ditugasi di Pos Pengamatan
Babadan, satu dari lima pos pengamatan yang ada di sana. Pengatur muda
tingkat satu dengan golongan gaji II/b itu bertugas sebagai pegawai
harian mulai tahun 1975 dan lima tahun kemudian baru diangkat sebagai
pegawai negeri.
Yang unik, pria yang menikah dengan Sri
Hartatiningsih itu seolah-olah menerima pekerjaan itu sebagai warisan
dari ayah dan kakeknya, Djuwangi dan Kertodikoro, yang masing-masing
bertugas sebagai pengamat gunung itu pada tahun 1920-1957 dan 1930-1971.
Bersama
dua rekan-sejawatnya, secara bergiliran Sugiyono bertugas melakukan
pengamatan visual membaca rekaman gempa bila ada perubahan kegiatan
gunung yang diamatinya. Secara rutin setiap pagi ia berkomunikasi dengan
kantor induk di Yogyakarta, serta melakukan hubungan antarpos
pengamatan dan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang.
Dalam
keadaan biasa, sekali sebulan ia mengadakan pemeriksaan kawah dan
puncak. Tidak ada kesulitan untuk mencapai puncak karena jalan setapak
yang ada cukup baik. Hanya saja, bila cuaca jelek dan berkabut sewaktu
ia bertugas mengamati kawah, ia harus menghadapi risiko duduk berbilang
jam di tepi kawah menggigil kedinginan.
Atas pertanyaan
penulis, Sugiyono menyatakan tugasnya ini “berat karena menanggung jiwa
ribuan orang” yang tinggal di lereng Merapi, yang setiap saat siap
memuntahkan lahar yang bisa saja membanjir, menghancurkan segala apa
yang dilintasinya.
Ia mengaku hatinya merasa senang dan
bahagia sempat mengabarkan perihal kegiatan gunung itu kepada
masyarakat. Dengan demikian, ia dapat melaksanakan tanggung jawab tugas
dan sekaligus dapat menyelamatkan rakyat awam dari ancaman yang mungkin
ditimbulkan oleh kegiatan gunung itu.
Pada tahun 1984,
misalnya, gunung itu “batuk-batuk” dan menebarkan abu ke arah utara, ke
daerah Boyolali dan sekitarnya, hingga abu menumpuk di atas rumah
setebal dua sentimeter. Peletusan kecil ini tidak minta korban.
Pisah Keluarga
Sugiyono
menyatakan bahwa tanggapan masyarakat terhadap para pengamat gunung
berapi itu cukup baik. Banyak anggota masyarakat yang melakukan
kunjungan ke pos pengamatan, sehingga suasana di sana menjadi hidup dan
”seolah-olah semua mata memandang ke arah kami bertiga yang ada di pos,”
katanya.
Sebagian dari mereka yang berkunjung itu pelajar
dan mahasiswa yang mendapat tugas untuk membuat karya tulis. Tetapi,
bila musim kunjungan ini sudah reda, menurut ia, “secara berangsur
keadaan pos sepi kembali, tinggal kami bertiga yang hanya dihibur
kicauan burung dan desah angin yang menerpa pepohonan di lereng Merapi.”
Dalam
keadaan seperti itu, terasalah kedukaan karena harus selalu berpisah
dari keluarga. “Betapa tidak, setiap kali kami harus meninggalkan istri
dan meniduri gunung,” katanya. Ia kemudian menambahkan bahwa “hanya satu
atau dua hari saja dalam seminggu kami bisa berkumpul.”
Tetapi,
ia mengaku tidak mengalami kelainan jiwa ataupun kelainan seksual.
Bahkan, menurut ia, pendidikan anaknya serta hubungan anak itu
dengannyapun tidak terganggu oleh kesenantiasaan berpisah itu.
“Anak-anak
tetap berkembang normal sebagaimana lazimnya anak lain,” katanya. Ia
menyatakan pula bahwa kelak bila sudah sekolah, selaku anak pengamat
gunung berapi, mereka akan mendapatkan beasiswa dari Yayasan Supersemar.
Fasilitas
di pos pengamatan yang dibangun permanen pada tahun 1954 itu cukup
baik. Ada tempat tidur dan dapur, lengkap dengan peralatan masak.
Bahkan, atas kebaikan bupati setempat, di pos itu sekarang sudah ada
pesawat televisi.
Di bangunan beton cor berukuran 7x12
meter persegi itu, Sugiyono memasak sendiri makanan sehari-hari baginya,
yang bahannya juga dibelinya sendiri di kampung terdekat. Hanya saja,
air minum agak sulit diperoleh. Tidak jarang ia dan dua temannya
segiliran tugas hanya mengandalkan pada air hujan yang dapat ditampung
di bak penampungan.
Ini terutama bila mereka tak sempat
membawa air dalam jerigen ke pos pengamatan yang jauhnya lebih kurang
lima kilometer dari desa terdekat dan empat kilometer dari puncak Merapi
itu. Bila musim kemarau tiba, merekapun tak mungkin lagi mandi, karena
air hanya cukup untuk sekadar masak dan minum saja.
Pada
tanggal 25 Mei 1987, bersama dua sejawatnya dari Gunung Kelut dan Gunung
Dieng, Sugiyono dipanggil ke Jakarta untuk menerima radio transistor
dari Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya R. Soeprapto
dan berbagai bingkisan lain yang Ketua Yayasan Perjalanan Mencerdaskan
Bangsa (YPMB) Sukyatno Nugroho dapat kumpulkan.
Orang Gunung
Sejawat
Sugiyono dari Pos Pengamatan Gunung Dieng, Suwandi, yang lahir di Batur
pada tanggal 21 Juni 1943 dan tamatan Sekolah Rakyat (SR), tampak
begitu lugu dan sulit diwawancarai. Bapak enam anak dari perkawinannya
dengan Sutini ini bekerja sebagai buruh harian mulai tahun 1967 dan
diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun 1982.
Di
samping bertugas sebagai pengamat, juru muda tingkat satu dengan
golongan gaji II/b ini juga melakukan pemeliharaan bangunan pos,
bangunan seismograf, halaman dan lingkungan pos, serta bertindak sebagai
kurir.
Setelah pekerjaan di sekitar pos usai dilakukannya, ia
membantu tugas lapangan seperti pemeriksaan kawah dan melakukan
pengukuran suhu. Sebelum ada sepeda motor, untuk mencapai satu dari 11
kawah di Dieng, ia harus berjalan kaki seharian, kadang-kadang sampai 13
kilometer jauhnya.
Karena adanya ancaman gas beracun, ia
selalu menggunakan masker bila sedang melakukan pengukuran suhu. Sewaktu
terjadi musibah gas maut Sinila pada bulan Februari 1979, ia berada di
pos pengamatan dan melihat bahwa penyebaran gas racun itu diawali dengan
gempa dan peletusan.
Posnya terletak pada ketinggian
2.000 meter dari muka laut, sehingga udaranya dingin, baik siang maupun
malam. Karena di pos tak tersedia alat pemanas ruangan, ia terpaksa
harus tidur dengan selimut berlapis-lapis. Tidurnyapun tak pulas, karena
ia harus bangun pada waktunya untuk melakukan pengamatan visual.
Air
bersih, baik dari mata air maupun sumur, sangat sulit diperoleh di
sekitar pos. Karena itu, untuk mencukupi kebutuhan minum sehari-hari, ia
hanya bisa berharap pada air hujan.
Meski menghadapi
situasi kerja yang demikian sulit, Suwandi yang mengaku “orang gunung”
merasa “cocok dengan tugas yang dipilihnya.” Setiap hari dengan senang
hati ia melaksanakan tugas “karena sudah kewajiban.”
Di pos itu, tidak ada pesawat radio single side band
(SSB) dan telefon. Karena itu, bila mendadak gunung tampak melakukan
kegiatan, ia atau temannya segiliranpun terpaksa bergegas naik motor
enam kilometer ke desa terdekat. Petugas di sana akan meneruskan berita
itu ke Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Pada
malam penerimaan bingkisan, Suwandi tampak gelisah. Ia berkali-kali
menengok mobil dinas Direktorat Vulkanologi yang membawanya ke Jakarta.
Maklum, ia baru pertama kali menginjakkan kakinya di Ibu Kota.
Bapak
yang keenam anaknya belum ada yang kawin dan tinggal satu yang belum
sekolah ini menyatakan ”Jakarta panas bukan main, tetapi di sini
pembangunan maju pesat.” Hari itu, oleh YPMB, ia diajak darmawisata ke
Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII),
bersama sejawatnya yang lain.
Tangga Plastik
Mirip
dengan sejawatnya dari Merapi, Giyono, yang lahir di Brenggolo pada
tahun 1940 dan ditugasi di Pos Pengamatan Gunung Kelut, Kabupaten
Kediri, Jawa Timur, memulai karirnya sebagai pengamat untuk menggantikan
kakaknya, Gian Mulyono, yang anaknya banyak dan tak betah bertugas di
tempat terpencil.
Lulusan SR ini bertugas melakukan pengamatan, baik visual maupun nonvisual, misalnya mengamati suara kegiatan solfatara/fumarola dan bau gas belerang. Ia juga mengamati cuaca, termasuk arah angin dan hujan.
Selain
itu, pengatur muda dengan golongan gaji II/a yang beranak tiga dari
hari perkawinannya dengan Darsih ini juga membantu mengelola alat
pengamatan, menyiapkan bahan laporan, dan memeriksa kawah serta mengukur
suhunya.
Kecuali pekerjaan kawah, semua tugasnya itu dilakukannya
setiap hari, baik sewaktu ia masih bekerja sebagai buruh harian sejak
tahun 1963 maupun setelah diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun
1970.
Untuk sampai ke kawah yang jauhnya kira-kira
sembilan kilometer dari pos, ia harus berjalan kaki lebih kurang enam
jam. Ia tidak melakukannya sendirian tetapi bersama rekan sejawatnya
karena sulitnya medan dan adanya ancaman binatang buas.
Untuk
turun ke tepi kawah, ia hanya menggunakan tangga dari tambang plastik.
Pekerjaan ini tentu saja dilakukannya dengan hati-hati, tergelincir
berarti tercebur ke danau kawah yang cukup dalam.
Ia juga harus mengukur suhu air kawah dan solfatara.
Pekerjaan ini cukup berat, karena harus dilakukannya dengan
menyeberangi danau, hanya menggunakan rakit bambu. Ia melakukan
pekerjaan ini sendirian, sementara temannya menunggu di tepi kawah
dengan harap-harap cemas.
Lingkungan tempat Giyono,
Suwandi, dan Sugiyono bertugas tampaknya tenang tetapi sebenarnya
menyimpan kebuasan. Tempat itu juga terasing. Karena itu, kebuasan yang
terpendam itupun tidak begitu menimbulkan kekuatiran, meski sebenarnya
kebuasan itu tetaplah merupakan ancaman.
Tempat itu jauh
dari keramaian dan tampaknya keterasingan itu juga melahap manusia
seperti mereka, menyembunyikannya dari masyarakat, padahal mereka
sebenarnya masih merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.
Home »
lautku
» Kisah dari Gunung Merapi, Dieng, dan Kelut: MENINGGALKAN ANAK-ISTRI MENGHADAPI KEBUASAN ALAM
Kisah dari Gunung Merapi, Dieng, dan Kelut: MENINGGALKAN ANAK-ISTRI MENGHADAPI KEBUASAN ALAM
Written By Unknown on Selasa, 29 Oktober 2013 | 20.00
Label:
lautku
Posting Komentar