UPAYA MANUSIA UNTUK menyejahterakan
dirinya, termasuk mengelola sampah “untuk dijual”, entah disadari entah
tidak, selalu serbaguna dan beragam dampak. Di samping itu, sepanjang
sejarah Indonesia merdeka, pengelolaan sampah di republik ini selalu
menimbulkan masalah. Padahal, secara ekonomis selalu ada saja warga
negara yang secara swadaya mengolahnya. Bahkan, sepuluh tahun belakangan
ini, lembaga internasional pun turun tangan berkampanye mengubah sikap
hidup masyarakat.
Adalah Divisi Lingkungan dan Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil (Environment and Development in Coastal Region and Small Islands = CSI) Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa (UNESCO) yang melakukan kampanye tersebut. Diterapkan di kawasan Ibu Kota dan sekitarnya, proyek ini bernama panjang Environmental Governance and Wise Management Practice for Tropical Coastal Mega-Cities Sustainable Human Development of The Jakarta Metropolitan Area 2000-2004. Dalam bahasa Indonesia, maknanya kira-kira: Praktik Pengelolaan Lingkungan dan Penanganan Sampah yang Bijak bagi Pembangunan Berkelanjutan yang Manusiawi Kota Besar Pantai Tropis di Wilayah Ibu Kota Jakarta 2000-2004. Penggagasnya tak lain dari petinggi UNESCO di Paris, Prancis, Dr. Yoslan Nur, yang asal ranah Minang.
Pada dasarnya, Doktor Yos minta kita mengoreksi sudut pandang. Akar masalah pencemaran di Pulau Seribu, misalnya, tidaklah terletak di kepulauan itu sendiri, melainkan terserak-serak mulai dari kawasan hulu ke-13 sungai yang mengalir di Jakarta dan sekitarnya sampai ke perilaku penduduk kawasan itu sendiri. Kawasan hulu itu berada di daerah Jawa Barat, termasuk Cibinong, tempat pabrik semen berada. Karena itu, dengan tujuan utama menciptakan “budaya laut bersih”, CSI-UNESCO berusaha menanamkan ke benak kita prinsip 4-R: Reduce, Re-use, Recycle, and Re-plant (Kurangi, Gunakan Kembali, Olah Lagi, dan Bikin Balik), tak hanya bagi warga Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), melainkan juga Jawa Barat dan Banten.
Secara kasat mata, menurut Nuning Wirjoatmodjo, senior program assistant UNESCO Jakarta, program ini bisa berupa: kompetisi melukis di atas kertas daur ulang dengan tema laut, menanam tanaman obat dengan kompos organik, dan mengubah barang bekas menjadi barang yang punya nilai tambah, dengan tujuan mengurangi beban laut. Pemenang lomba gambar itu tak hanya mendapatkan hadiah kenang-kenangan dari Direktur UNESCO Jakarta Prof. Stephen C. Hill pada tanggal 1 September 2000, melainkan juga diajak berdarmawisata ke Pulau Seribu pada tanggal 16 September 2000. Apa yang mereka lakukan di sana? Persis seperti berbagai program CSI-UNESCO sebelumnya, peserta diajak berkeliling membersihkan Pulau Bidadari. sekadar mendapatkan contoh yang benar dari cara pengamalan prinsip 4-R tersebut. (Baca: box SuratAnda pada halaman 5.)
Anda mungkin akan memprotes: Gagasan tak akan berguna tanpa pelaksanaan yang baik dan mengena. Tentu saja, CSI-UNESCO tak bisa jalan sendiri. Peran serta semua pihak dibutuhkan, termasuk Anda! Banyak mitra UNESCO dalam melaksanakan baik program maupun proyeknya, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM), terlepas dari bagaimana caranya menghidupi diri dan kegiatannya. Masih pada tahun itu, segerombolan manusia yang tergabung dalam kelompok kerja [aikon!] dengan manajer A.S. Handayani Ningsih mengajak anak berlomba menghias kotak sampah dengan lukisan bewarna-warni.
Jadi, Anda sekarang tahu dari mana asal tong, kaleng, atau kotak sampah bergambar indah yang tersebar di berbagai lokasi umum di Jakarta. Tentu saja tidak semuanya berasal dari proyek kerja sama CSI-UNESCO dan [ai-kon!]. Anda pasti masih ingat lomba lukis tong sampah di Taman Surapati beberapa tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pinjam istilah Dana Suaka Alam Dunia (World Wide Fund for Nature = WWF), “Banyak cara untuk dapat berpartisipasi dalam proses pelestarian alam, terserah kepada kita untuk menentukannya.”
Anda boleh saja memprotes keras: Itu kan cerita basi bin sangat usang! Upaya itu tidak menghasilkan uang lagi! Anda benar sekali. Akan tetapi, prinsip hidup bersih dan cinta lingkungan yang dikampanyekannya masih afdol dan bernilai ekonomi, yang pada segi tertentu bernilai uang cukup tinggi. Mengolah koran bekas menjadi kertas daur ulang, misalnya, pada akhirnya akan menghasilkan berbagai kerajinan tangan, terutama kartu ucapan selamat dan undangan, yang dijual mahal di toko cendera mata. Membeli produk ini pun meningkatkan gengsi dan prestise Anda. Iyya, kan?
Dulu, sewaktu terlibat program CSI-UNESCO, penulis mendapatkan kesan seolah-olah pemerintah menutup mata. Akan tetapi, seusai rapat mematangkan gagasan untuk menerbitkan majalah Profesi ini, penulis disodori brosur Program Beasiswa Kursus (PBK) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2006. Lho, apa hubungannya?
Itulah kejutan baru: pemerintah Republik Indonesia sudah berkenan mengucurkan bea siswa yang pada akhirnya akan bisa dinikmati oleh remaja miskin di perkotaan, termasuk mereka yang ingin mendalami seluk-beluk pengolahan sampah. Dengan kata lain, pendidikan non-formal (PNF) kini sudah terjamah bea siswa. (Baca: box Motivasi: Bea Siswa Kursus, Mau? pada halaman 10--11) Memang, ini baru program, tetapi yakinlah, efek berganda akan tercipta. Upaya yang diawali oleh pemerintah ini akan segera disusul secara berurutan. Badan usaha milik negara (BUMN) yang besar-besar tak pelak lagi kelak akan turun tangan, apalagi mereka ini sudah diprogramkan untuk mengucurkan sebagian keuntungannya guna membina usaha kecil dan menengah (UKM = Small and Medium Enterprise = SME).
Apa artinya ini? Pada masanya kelak, PNF akan membuktikan dirinya sebagai ujung tombak upaya mengatasi pengangguran dan kemiskinan, terutama di kalangan warga perkotaan. Angka jumlah orang miskin di republik ini pada bulan Maret 2007, meski mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, masih cukup tinggi, 37,17 juta kepala atau 16,58% dari jumlah penduduk Indonesia. (Baca: box Indikator pada halaman 8--9)
Lingkup Sasaran
PENGALAMAN ADALAH guru yang terbaik. Divisi CSI-UNESCO tentu dengan cermat telah memilih sasaran kampanyenya, dengan pertimbangan strategis. Siapakah sebenarnya yang mereka pilih? Salah satu di antaranya boleh jadi akan membuat Anda iri. Anak nelayan dari Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, pernah terpilih untuk mengikuti pelatihan pemisahan sampah organik dan anorganik.
Desa nelayan yang satu ini memang istimewa. K.H. Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, presiden keempat RI, pernah ikut menanam kepala kerbau di sana sewaktu masih menjabat ketua umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU). Terlepas dari pro dan kontra soal adat itu, desa tersebut pernah pula dibina dan diangankan menjadi pusat wisata pembuatan kapal layar tradisional. Yang mengikhtiarkan ialah wartawati kaliber dunia dan pecinta lingkungan Sasmiyarsi Sasmoyo, ketua Paramitra Bahari, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkhususkan diri pada bidang pariwisata kelautan dan industri rumahan ramah lingkungan.
Waktu berkunjung ke sana bersama rombongan CSI-UNESCO, termasuk perempuan kuli tinta itu, penulis sempat membicarakan kemungkinan mengolah sejenis ikan tangkapan nelayan setempat yang masyarakat tidak mengonsumsinya menjadi panggang (ikan asap). Di sana, tersedia banyak pohon yang batang, dahan, dan rantingnya bisa dijadikan kayu bakar. “Kalau pohon yang ada habis?” tanya nelayan yang kami ajak bicara polos. “Tanam pohon mèh (Jawa: trembesi), potong rantingnya secara rutin saat sudah cukup besar. Pohonnya tetap hidup berumur panjang.” Nelayan itu mengangguk. Ia orang turunan Banten yang lahir di Jawa Tengah. Nama mèh tak asing baginya. Konon, nelayan di sana sudah melaksanakan gagasan membuat panggang itu. Benar atau tidak, penulis tidak tahu.
Sasaran lain dari program “kampanye kesadaran lingkungan hidup dan cinta laut” CSI-UNESCO ialah kampung ramah lingkungan Banjarsari, Cilandak Barat, dan Cipete Utara, Jakarta Selatan, serta wilayah Kapuk Muara dan Kamal Muara, Jakarta Utara. Kampung yang dipilih rata-rata memiliki semua atau sebagian kemudahan pengolahan sampah, pusat daur ulang kertas, atau kebun tanaman obat. Cipete Utara, yang saat itu dipimpin wanita lurah Tri Wahyuningdyah, misalnya, tidak hanya memiliki kebun tanaman obat, melainkan berhasil mengajak warganya untuk memanfaatkan sebanyak mungkin tanah pekarangannya untuk memelihara Tanaman Obat Keluarga (Toga), dan bahkan punya pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang diizinkan meresepkan Toga.
Cipete Utara memang pernah meraih prestasi nasional di bidang tersebut, yang tampaknya akan disusul oleh kampung Banjarsari sebagai kawasan ramah lingkungan. Membandingkan dua kawasan ini akan terasa nyata perbedaannya. Masyarakat Cipete Utara relatif heterogin dengan kesenjangan yang cukup jauh antara si kaya, menengah, dan yang miskin, sedangkan kawasan Banjarsari tampaknya lebih dihuni menengah-atas, relatif homogin, ditandai dengan taman baca atau perpustakaan RW yang cukup mewah, bertingkat dua.
Tentu saja bukan itu maksud program kampanye tersebut. Yang pasti, keduanya asri dan ramah lingkungan dalam ukurannya masing-masing. Itu saja yang harus dicatat baik-baik dan sedapat mungkin ditiru di banyak desa lain di seantero Nusantara ter-cinta.
Dalam kampanyenya itu, CSI-UNESCO juga punya subprogram, yakni Lomba Anak Muda Cinta Lingkungan. Kompetisi ini terdiri atas tiga bidang, yakni melukis di atas kertas daur ulang, menciptakan kreasi baru (dengan nilai tambah) dari barang bekas, tetapi masih dalam prinsip “pemakaian ulang, penghematan pemakaian barang, dan secara fungsional dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari”, serta menanam tumbuhan obat dengan menggunakan pupuk “kas-cing” (bekas cacing atau vermi-compost atau vermi culture) atau pupuk organik disertai deskipsi tanaman: nama latin, nama lokal, serta guna dan cara pemakaian (dengan menyebutkan sumbernya).
Salah satu pemenang lomba melukis ialah Theodorus Raditiyo (lahir 17 Februari 1989), siswa SD Yasporbi III Kompleks Perumahan BI Pasar Minggu. Lukisannya benar-benar mendekati tema “Laut, masa depan kita” yang ditentukan CSI-UNESCO, dengan pilihan objek salah satu dari: kehidupan nelayan, perahu, pemandangan alam, terumbu karang, ikan dan isi laut, aktivitas pantai, atau kegiatan pelabuhan. Hadiah lomba yang ditekankan pada orisinalitas ini ialah darmawisata ke Kepulauan Seribu dan tempat lain untuk pelajaran lingkungan hidup, yang tak lain ialah Banjarsari.
Di Pulau Bidadari, di bawah bimbingan pecinta lingkungan dari Yayasan Muara Indonesia (YMI), pemenang diajak menyusuri pesisir, mengelilingi pulau yang pada zaman Belanda merupakan salah satu benteng Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) itu, dengan membersihkannya dari sampah. Dalam kesempatan seperti itu, orang YMI sendiri, M. Yusri, mengingatkan peserta darmawisata bahwa daun yang luruh dari pohon merupakan bagian dari siklus alam.
Sisi Manusia
SISI MANUSIA makalah Yoslan Nur mengenai pengelolaan dan daur ulang limbah di tingkat masyarakat Teluk Jakarta diamati dengan kasat mata Jum’at 14 Juli 2000, ketika para wakil donor internasional berkunjung ke dua pusat daur ulang limbah organik di permukiman penduduk berpenghasilan rendah di Jakarta Utara.
Di pusat kegiatan daur ulang Kapuk Muara, mereka melihat Rizal Fauzi (12) sedang melem selembar kertas hasil daur ulang pada kotak pensil sisi-tiga berbentuk prisma. Di satu bangunan di halaman samping, para pengunjung menyaksikan cacing makan dengan asyik limbah organik rumah tangga untuk menghasilkan kompos. Penduduk memakai pupuk itu untuk tanaman halaman mereka, kata Mudakin Zaini (63) menjelaskan.
Di Pasar Inpres Pluit, yang berjarak sepuluh menit dengan kendaraan bermotor dari Kapuk Muara, kelompok pengunjung mengamati bagaimana limbah pasar organik diubah menjadi kompos dengan cara tumpuk. Siregar, kepala pasar, memperlihatkan kompos siap pakai dalam kantung seberat 1,6 kilogram yang dijual dengan harga Rp2.000. Jenis kompos lebih halus yang dibuat dengan cacing dijual seharga Rp3.000 per kantung.
Dalam pertemuan pagi hari sebelumnya, para wakil donor itu mendengarkan paparan dari anggota masyarakat biasa mengenai bagaimana mereka menanggulangi limbah organik setempat.
Nyonya Bambang Wahono, ibu rumah tangga di Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan, menerangkan bagaimana warga setempat mengolah limbah rumah tangga menjadi kompos. Mereka tidak hanya memakai pupuk itu untuk tanaman obat tetapi juga menjualnya dan menghasilkan untung Rp100.000 sebulan, katanya.
Endang Werdiningsih, guru Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 34 di Pondok Labu, Jakarta Selatan, menceritakan bagaimana muridnya belajar tentang daur ulang kertas bekas dan bagaimana membuat kompos dengan cacing. Kini, sekolah lain dan kelompok masyarakat setempat minta sekolahnya mengadakan peragaan tentang daur ulang, katanya.
Jakarta Raya dan sekitarnya punya 20 juta jiwa penduduk dan menghasilkan 25.000 meter kubik limbah setiap hari, 4.000 meter kubik di antaranya berasal dari pasar tradisional. Fakta yang membuat orang tersentak ialah 70 persen sampah itu organik dan 1.400 meter kubik masuk Teluk Jakarta setiap hari.
Kegiatan daur ulang di Banjarsari dan SMU Nege-ri 34 merupakan upaya ke-cil tapi bermakna untuk mengurangi jumlah limbah yang mengalir dari kota ke laut. Banjarsari dan SMU Negeri 34 dalam jumlah lebih banyak dapat mengecilkan secara berarti tekanan sampah terhadap Teluk Jakarta. Hal yang diperlukan ialah pemuka masyarakat yang memiliki ketrampilan berkomunikasi dan semangat membara untuk menyebarkan kabar tentang praktik bijak dalam mengelola limbah organik.
Lindungi Pantai
DAERAH PANTAI harus dilindungi dari dampak negatif berbagai kegiatan yang dilakukan di darat, khususnya yang berupa limbah. Pentingnya hubungan kota dan laut serta perlindungan daerah pantai dari limbah yang berasal dari darat, kata Dr. Dirk G. Troost, kepala Divisi CSI-UNESCO, ketika berdiskusi dengan sejumlah LSM, pejabat pemerintah, guru, dan wartawan di Jakarta, Kamis 13 Juli 2000.
Sampah tidak bisa dianggap enteng, katanya. Ia mencontohkan tragedi runtuhnya “gunung sampah” di Manila yang menewaskan puluhan orang. “Tragedi sampah di Manila tersebut merupakan pelajaran penting. Di kota besar seperti Jakarta, partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam penanganan limbah,” kata Dr. Troost yang bertugas di kantor pusat UNESCO di Paris.
Diskusi dengan Dr. Troost yang berasal dari Belanda itu berlangsung di Desa Banjarsari, Cilandak. Kampung ini dipilih oleh UNESCO sebagai proyek percontohan “kampung ramah lingkungan” sejak tahun 1996. Banjarsari telah memenuhi kriteria ramah lingkungan, antara lain telah memiliki pengelolaan sampah, mampu membuat kompos dari limbah, memiliki perpustakaan, dan telah melaksanakan penghijauan, termasuk tanaman obat-obatan.
Dalam rangka program “Selamatkan Pulau Seribu”, UNESCO telah mengadakan kerja sama untuk mengolah dan mengurangi sampah di sejumlah pasar di Jakarta. Sistem pengolahan sampah yang diperkenalkan oleh UNESCO dan sejumlah LSM di pasar tersebut berhasil mengurangi volume limbah hingga 30-40 persen.
Menurut hasil penelitian UNESCO dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagian besar terumbu karang di Pulau Seribu telah rusak terutama akibat sampah yang mencemari perairan di daerah ini. Hadir dalam diskusi tersebut antara lain wakil dari LIPI, SMU Negeri 34, YMI, dan Yayasan Kirai.
Agenda Pemulihan
Sarwono Kusumaatma-
dja sewaktu menjadi menteri eksplorasi laut dan perikanan di Jakarta hari Jum’at 14 Juli 2000 menya-takan Indonesia telah me-masuki era baru dengan memasukkan pengelolaan pantai dan sumber daya laut dalam agenda utama pemulihan ekonomi dan reformasi politik.
“Kami punya komit-men untuk tidak mengu-langi kesalahan pemerin-tahan yang lalu. Pendekat-an dari atas ke bawah, ter-pusat, dan berdasarkan sektor semata telah menye-babkan kerusakan ling-kungan hidup, konflik sosi-al, serta berkurangnya pen-dapatan dan kesempatan bagi generasi mendatang,” katanya pada acara diskusi tentang Manajemen Zona Pantai Teluk Jakarta dan Pulau Seribu.
Teluk Jakarta menjadi teluk yang paling tercemar di Asia antara lain akibat limbah yang berasal dari rumah tangga dan industri serta reklamasi tanah, kata-nya dalam diskusi itu, yang diselenggarakan oleh UNESCO.
Menurut ia, pencemar-an tersebut bahkan meluas hingga ke Pulau Seribu dan pembenahan masalah ter-sebut merupakan tantang-an utama bagi pemerintah dan masyarakat. Pengelola-an wilayah pantai mesti di-integrasikan dengan mana-jemen perkotaan serta dae-rah aliran sungai, katanya.
Kepala Divisi CSI-UNESCO Dr. D. Troost mengatakan, komponen penting yang tercakup da-lam program pengelolaan wilayah pantai adalah sains, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan komunika-si. Ia juga menekankan pentingnya hubungan pe-ngelolaan pantai dan kota guna melindungi wilayah pantai dari dampak negatif berbagai kegiatan yang di-lakukan di darat, terutama yang menghasilkan limbah.
Walikota Jakarta Utara saat itu, Subagyo, dalam diskusi tersebut mengata-kan, dari 13 sungai yang mengalir hingga ke Teluk Jakarta, hanya delapan yang punya alat penyaring lim-bah.
Sementara itu, Direktur UNESCO Jakarta Prof. Stephen Hill dalam pidato sambutannya menjelaskan bahwa program UNESCO yang menyentuh langsung masyarakat bawah di wila-yah Teluk Jakarta dan Pu-lau Seribu merupakan re-fleksi perubahan di dalam UNESCO. Badan PBB yang berpusat di Paris ini dulu lebih berkutat pada masalah ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Na-mun, kini, program UNESCO menghubung-kan antara sains dan kese-jahteraan masyarakat. “UNESCO sedang melak-sanakan restrukturisasi dan desentralisasi,” katanya.
Setelah acara diskusi yang dihadiri wakil dari LSM, lembaga pemerintah, sekolah, media, dan kedu-taan asing itu, peserta me-ngadakan kunjungan ke proyek percontohan UNESCO antara daerah pelestarian bakau (ma-ngrove) di Muara Angke, pengelolaan limbah di pasar tradisional Pluit, serta pusat daur ulang di Kapuk Muara.
Pusat Daur Ulang
Muhammad Rizal Fau-
zi melem selembar kertas buram keabu-abuan pada balok sisi-tiga. Anak lelaki berbadan kecil itu sedang memasang lapis lu-ar tempat pensil. Balok ber-bentuk prisma itu sendiri dibuat dari dupleks, jenis kertas tebal yang dipakai membuat sampul keras un-tuk buku. “Ini kegiatan sa-ya selama libur,” kata Rizal (12), putra sopir mobil pri-badi.
Rizal dan dua rekannya yang sebaya bekerja tanpa bicara menyelesaikan tem-pat pensil berbentuk balok segi tiga dan tabung. Di sanggar kerja mereka di Kapuk Muara, Jakarta Uta-ra, satu kotak penuh lem-baran kertas buram kasar berada di sisi kanan Rizal. Kertas buram itu hasil daur ulang kertas bekas.
Berapa honornya? “Sa-ya tidak tahu,” jawab polos Rizal yang masuk SLTP Negeri 112 di Kecamatan Penjaringan mulai tanggal 17 Juli 2000. Menurut Nur-hasan (24), pelatih di Pusat Kegiatan Daur Ulang Ma-syarakat Kapuk Muara itu, Rizal dibayar Rp1.000 un-tuk setiap tempat pensil yang beharga Rp6.000.
Sejak pusat itu dibuka Juni 1999, lebih dari 50 o-rang telah dilatih untuk me-ngolah kertas daur ulang dan memakainya untuk membuat amplop, undang-an, dan kreasi lain seperti tempat pensil, Nurhasan menjelaskan. Pusat yang berada di mulut Sungai Muara Angke itu, sekira sa-tu kilometer dari pantai, ti-dak hanya mendaur ulang kertas bekas, tetapi juga mengolah sampah organik.
Mudakin Zaini (63), pe-nanggung jawab ternak ca-cing, memperlihatkan se-jumlah baki kayu ukuran la-ci meja di halaman samping sanggar. Dalam baki itu, ada segumpal sampah da-pur. Di celah gumpalan itu, terlihat cacing sedang ma-kan sisa dapur rumah tang-ga.
Dasar bak sudah ditu-tup serbuk hitam halus. Ini adalah kompos, pupuk or-ganik hasil pengolahan sampah sayur dan buah de-ngan bantuan cacing jenis lumbrikus. Warga memakai kompos ini untuk tanaman halaman rumah, kata Mu-dakir, ketua RT di Kelurah-an Kapuk Muara.
Sementara itu, Pasar In-pres Pluit juga mengada-kan kegiatan daur ulang sampah dalam skala lebih besar. Di pasar tradisional itu, volume sampah orga-nik berkurang 80 persen, kata M. Yusri, pengurus YMI yang menangani pro-yek daur ulang sampah di Kapuk Muara dan Pasar Pluit.
Kompos hasil penyi-raman dan pengeringan serta kompos hasil perom-bakan dengan cacing dijual di pasar. Kompos jenis per-tama dijual Rp2.000 sekan-tung 1,6 kilogram, sedang-kan kompos kascing (bekas cacing) yang lebih halus be-harga Rp3.000 satu kan-tung.
Sampah DKI
Setiap hari, pasar Inpres
di Jakarta menghasilkan sampah 4.000 meter kubik. Secara keseluruhan pendu-duk Jakarta membuang 25.000 meter kubik limbah setiap hari, 1.400 meter ku-bik di antaranya masuk ke Teluk Jakarta. Padahal, 70 persen sampah DKI meru-pakan limbah organik yang baik untuk dijadikan kom-pos.
Kegiatan daur ulang sampah di Kapuk Muara dan di Pasar Inpres Pluit merupakan upaya kecil da-lam menanggulangi polusi akibat sampah di Jakarta. Pengelolaan sampah yang baik di darat diharapkan dapat mengurangi limbah yang mengotori Teluk Ja-karta.
Karena Kapuk Muara dan Pluit merupakan pro-yek perintis, serombongan wakil donor internasional mengunjungi dua tempat tersebut 14 Juli lalu. Kun-jungan mereka dalam kait-an proyek usulan UNES-CO yang lebih besar untuk menghasilkan model pe-ngelolaan lingkungan hi-dup di Jakarta, khususnya di sekitar Teluk Jakarta dan Pulau Seribu.
Sebelum berangkat ke lapangan, para donor me-nerima paparan upaya ma-syarakat dalam menanggu-langi sampah. Ny. Bam-bang Wahono, ibu rumah tangga di Banjarsari, Cilan-dak, menjelaskan bagaima-na warga di kampungnya sejak yahun 1996 mendaur-ulang sampah dapur.
Kompos yang dipero-leh dengan bantuan cacing itu lalu dipakai untuk me-nghasilkan tanaman obat. Penjualan kompos menda-tangkan untung Rp100.000 sebulan dan penjualan 600 lembar kertas daur ulang sebulan menghasilkan un-tung Rp200.000, kata Ny. Bambang.
Endang Werdiningsih, guru SMU Negeri 34 di Pondok Labu, Jakarta Sela-tan, menceritakan kegiatan ekstrakurikuler mengelola sampah di sekolahnya sejak tahun 1996. Secara bergilir, setiap minggu 25 murid mengolah sampah organik dan mendaur-ulang kertas bekas. Akibat dari kegiatan itu ialah SMU Negeri 34 harus memenuhi permin-taan penduduk sekitar akan pelatihan daur ulang kertas dan sampah.
Isi-mengisi
Dalam menanggapi
ragam paparan dari berbagai pengelola ling-kungan di tingkat masyara-kat itu, wakil dari USAID mengatakan ia ingin meli-hat survei tentang perilaku penduduk. “Kami tahu se-dikit tentang perilaku pen-duduk yang kena dampak pencemaran. Kami ada niat mengadakan survei perila-ku tingkat nasional. Penja-jakan sudah kami lakukan di Lampung, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Uta-ra,” kata Ian M. Dutton, ke-pala proyek pesisir di USA-ID, lembaga bantuan inter-nasional AS, di Jakarta.
Mengenai proyek usul-an itu sendiri, Stefano Fazi menyatakan, proyek itu hendaklah dapat mencon-toh kegiatan yang sudah berhasil. Fazi ialah spesialis program UNESCO Jakarta yang mengoordinasi usul proyek yang diajukan kepa-da donor dan menyertakan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan.
Fazi membayangkan proyek usulan itu akan ber-langsung minimal lima ta-hun, tetapi tidak dapat me-nyebutkan biayanya. Na-mun, ia menyatakan, pro-yek terpisah dapat saja di-laksanakan tanpa menung-gu persetujuan untuk kese-luruhan proyek yang diu-sulkan itu.
Tentang keberhasilan proyek, salah satu peserta dalam kunjungan lapangan menekankan perlunya komplementaritas. “Satu kata kunci ialah saling isi,” kata Dirk G. Troost, kepala Divisi CSI di kantor pusat UNESCO di Paris.
“Anda hanya dapat me-mberikan contoh kalau ada kemungkinan untuk saling isi dan saling memperkuat. Maka, orang akan dapat memperoleh keuntungan dari itu, tidak hanya untuk sekarang, tetapi untuk ge-nerasi yang akan datang,” katanya.
(Diolah dari data koleksi Lautku Newsletter CSI-UNESCO Jakarta oleh Slamet No One)
Adalah Divisi Lingkungan dan Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil (Environment and Development in Coastal Region and Small Islands = CSI) Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa (UNESCO) yang melakukan kampanye tersebut. Diterapkan di kawasan Ibu Kota dan sekitarnya, proyek ini bernama panjang Environmental Governance and Wise Management Practice for Tropical Coastal Mega-Cities Sustainable Human Development of The Jakarta Metropolitan Area 2000-2004. Dalam bahasa Indonesia, maknanya kira-kira: Praktik Pengelolaan Lingkungan dan Penanganan Sampah yang Bijak bagi Pembangunan Berkelanjutan yang Manusiawi Kota Besar Pantai Tropis di Wilayah Ibu Kota Jakarta 2000-2004. Penggagasnya tak lain dari petinggi UNESCO di Paris, Prancis, Dr. Yoslan Nur, yang asal ranah Minang.
Pada dasarnya, Doktor Yos minta kita mengoreksi sudut pandang. Akar masalah pencemaran di Pulau Seribu, misalnya, tidaklah terletak di kepulauan itu sendiri, melainkan terserak-serak mulai dari kawasan hulu ke-13 sungai yang mengalir di Jakarta dan sekitarnya sampai ke perilaku penduduk kawasan itu sendiri. Kawasan hulu itu berada di daerah Jawa Barat, termasuk Cibinong, tempat pabrik semen berada. Karena itu, dengan tujuan utama menciptakan “budaya laut bersih”, CSI-UNESCO berusaha menanamkan ke benak kita prinsip 4-R: Reduce, Re-use, Recycle, and Re-plant (Kurangi, Gunakan Kembali, Olah Lagi, dan Bikin Balik), tak hanya bagi warga Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), melainkan juga Jawa Barat dan Banten.
Secara kasat mata, menurut Nuning Wirjoatmodjo, senior program assistant UNESCO Jakarta, program ini bisa berupa: kompetisi melukis di atas kertas daur ulang dengan tema laut, menanam tanaman obat dengan kompos organik, dan mengubah barang bekas menjadi barang yang punya nilai tambah, dengan tujuan mengurangi beban laut. Pemenang lomba gambar itu tak hanya mendapatkan hadiah kenang-kenangan dari Direktur UNESCO Jakarta Prof. Stephen C. Hill pada tanggal 1 September 2000, melainkan juga diajak berdarmawisata ke Pulau Seribu pada tanggal 16 September 2000. Apa yang mereka lakukan di sana? Persis seperti berbagai program CSI-UNESCO sebelumnya, peserta diajak berkeliling membersihkan Pulau Bidadari. sekadar mendapatkan contoh yang benar dari cara pengamalan prinsip 4-R tersebut. (Baca: box SuratAnda pada halaman 5.)
Anda mungkin akan memprotes: Gagasan tak akan berguna tanpa pelaksanaan yang baik dan mengena. Tentu saja, CSI-UNESCO tak bisa jalan sendiri. Peran serta semua pihak dibutuhkan, termasuk Anda! Banyak mitra UNESCO dalam melaksanakan baik program maupun proyeknya, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM), terlepas dari bagaimana caranya menghidupi diri dan kegiatannya. Masih pada tahun itu, segerombolan manusia yang tergabung dalam kelompok kerja [aikon!] dengan manajer A.S. Handayani Ningsih mengajak anak berlomba menghias kotak sampah dengan lukisan bewarna-warni.
Jadi, Anda sekarang tahu dari mana asal tong, kaleng, atau kotak sampah bergambar indah yang tersebar di berbagai lokasi umum di Jakarta. Tentu saja tidak semuanya berasal dari proyek kerja sama CSI-UNESCO dan [ai-kon!]. Anda pasti masih ingat lomba lukis tong sampah di Taman Surapati beberapa tahun sebelumnya. Dengan kata lain, pinjam istilah Dana Suaka Alam Dunia (World Wide Fund for Nature = WWF), “Banyak cara untuk dapat berpartisipasi dalam proses pelestarian alam, terserah kepada kita untuk menentukannya.”
Anda boleh saja memprotes keras: Itu kan cerita basi bin sangat usang! Upaya itu tidak menghasilkan uang lagi! Anda benar sekali. Akan tetapi, prinsip hidup bersih dan cinta lingkungan yang dikampanyekannya masih afdol dan bernilai ekonomi, yang pada segi tertentu bernilai uang cukup tinggi. Mengolah koran bekas menjadi kertas daur ulang, misalnya, pada akhirnya akan menghasilkan berbagai kerajinan tangan, terutama kartu ucapan selamat dan undangan, yang dijual mahal di toko cendera mata. Membeli produk ini pun meningkatkan gengsi dan prestise Anda. Iyya, kan?
Dulu, sewaktu terlibat program CSI-UNESCO, penulis mendapatkan kesan seolah-olah pemerintah menutup mata. Akan tetapi, seusai rapat mematangkan gagasan untuk menerbitkan majalah Profesi ini, penulis disodori brosur Program Beasiswa Kursus (PBK) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2006. Lho, apa hubungannya?
Itulah kejutan baru: pemerintah Republik Indonesia sudah berkenan mengucurkan bea siswa yang pada akhirnya akan bisa dinikmati oleh remaja miskin di perkotaan, termasuk mereka yang ingin mendalami seluk-beluk pengolahan sampah. Dengan kata lain, pendidikan non-formal (PNF) kini sudah terjamah bea siswa. (Baca: box Motivasi: Bea Siswa Kursus, Mau? pada halaman 10--11) Memang, ini baru program, tetapi yakinlah, efek berganda akan tercipta. Upaya yang diawali oleh pemerintah ini akan segera disusul secara berurutan. Badan usaha milik negara (BUMN) yang besar-besar tak pelak lagi kelak akan turun tangan, apalagi mereka ini sudah diprogramkan untuk mengucurkan sebagian keuntungannya guna membina usaha kecil dan menengah (UKM = Small and Medium Enterprise = SME).
Apa artinya ini? Pada masanya kelak, PNF akan membuktikan dirinya sebagai ujung tombak upaya mengatasi pengangguran dan kemiskinan, terutama di kalangan warga perkotaan. Angka jumlah orang miskin di republik ini pada bulan Maret 2007, meski mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, masih cukup tinggi, 37,17 juta kepala atau 16,58% dari jumlah penduduk Indonesia. (Baca: box Indikator pada halaman 8--9)
Lingkup Sasaran
PENGALAMAN ADALAH guru yang terbaik. Divisi CSI-UNESCO tentu dengan cermat telah memilih sasaran kampanyenya, dengan pertimbangan strategis. Siapakah sebenarnya yang mereka pilih? Salah satu di antaranya boleh jadi akan membuat Anda iri. Anak nelayan dari Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, pernah terpilih untuk mengikuti pelatihan pemisahan sampah organik dan anorganik.
Desa nelayan yang satu ini memang istimewa. K.H. Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, presiden keempat RI, pernah ikut menanam kepala kerbau di sana sewaktu masih menjabat ketua umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU). Terlepas dari pro dan kontra soal adat itu, desa tersebut pernah pula dibina dan diangankan menjadi pusat wisata pembuatan kapal layar tradisional. Yang mengikhtiarkan ialah wartawati kaliber dunia dan pecinta lingkungan Sasmiyarsi Sasmoyo, ketua Paramitra Bahari, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkhususkan diri pada bidang pariwisata kelautan dan industri rumahan ramah lingkungan.
Waktu berkunjung ke sana bersama rombongan CSI-UNESCO, termasuk perempuan kuli tinta itu, penulis sempat membicarakan kemungkinan mengolah sejenis ikan tangkapan nelayan setempat yang masyarakat tidak mengonsumsinya menjadi panggang (ikan asap). Di sana, tersedia banyak pohon yang batang, dahan, dan rantingnya bisa dijadikan kayu bakar. “Kalau pohon yang ada habis?” tanya nelayan yang kami ajak bicara polos. “Tanam pohon mèh (Jawa: trembesi), potong rantingnya secara rutin saat sudah cukup besar. Pohonnya tetap hidup berumur panjang.” Nelayan itu mengangguk. Ia orang turunan Banten yang lahir di Jawa Tengah. Nama mèh tak asing baginya. Konon, nelayan di sana sudah melaksanakan gagasan membuat panggang itu. Benar atau tidak, penulis tidak tahu.
Sasaran lain dari program “kampanye kesadaran lingkungan hidup dan cinta laut” CSI-UNESCO ialah kampung ramah lingkungan Banjarsari, Cilandak Barat, dan Cipete Utara, Jakarta Selatan, serta wilayah Kapuk Muara dan Kamal Muara, Jakarta Utara. Kampung yang dipilih rata-rata memiliki semua atau sebagian kemudahan pengolahan sampah, pusat daur ulang kertas, atau kebun tanaman obat. Cipete Utara, yang saat itu dipimpin wanita lurah Tri Wahyuningdyah, misalnya, tidak hanya memiliki kebun tanaman obat, melainkan berhasil mengajak warganya untuk memanfaatkan sebanyak mungkin tanah pekarangannya untuk memelihara Tanaman Obat Keluarga (Toga), dan bahkan punya pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang diizinkan meresepkan Toga.
Cipete Utara memang pernah meraih prestasi nasional di bidang tersebut, yang tampaknya akan disusul oleh kampung Banjarsari sebagai kawasan ramah lingkungan. Membandingkan dua kawasan ini akan terasa nyata perbedaannya. Masyarakat Cipete Utara relatif heterogin dengan kesenjangan yang cukup jauh antara si kaya, menengah, dan yang miskin, sedangkan kawasan Banjarsari tampaknya lebih dihuni menengah-atas, relatif homogin, ditandai dengan taman baca atau perpustakaan RW yang cukup mewah, bertingkat dua.
Tentu saja bukan itu maksud program kampanye tersebut. Yang pasti, keduanya asri dan ramah lingkungan dalam ukurannya masing-masing. Itu saja yang harus dicatat baik-baik dan sedapat mungkin ditiru di banyak desa lain di seantero Nusantara ter-cinta.
Dalam kampanyenya itu, CSI-UNESCO juga punya subprogram, yakni Lomba Anak Muda Cinta Lingkungan. Kompetisi ini terdiri atas tiga bidang, yakni melukis di atas kertas daur ulang, menciptakan kreasi baru (dengan nilai tambah) dari barang bekas, tetapi masih dalam prinsip “pemakaian ulang, penghematan pemakaian barang, dan secara fungsional dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari”, serta menanam tumbuhan obat dengan menggunakan pupuk “kas-cing” (bekas cacing atau vermi-compost atau vermi culture) atau pupuk organik disertai deskipsi tanaman: nama latin, nama lokal, serta guna dan cara pemakaian (dengan menyebutkan sumbernya).
Salah satu pemenang lomba melukis ialah Theodorus Raditiyo (lahir 17 Februari 1989), siswa SD Yasporbi III Kompleks Perumahan BI Pasar Minggu. Lukisannya benar-benar mendekati tema “Laut, masa depan kita” yang ditentukan CSI-UNESCO, dengan pilihan objek salah satu dari: kehidupan nelayan, perahu, pemandangan alam, terumbu karang, ikan dan isi laut, aktivitas pantai, atau kegiatan pelabuhan. Hadiah lomba yang ditekankan pada orisinalitas ini ialah darmawisata ke Kepulauan Seribu dan tempat lain untuk pelajaran lingkungan hidup, yang tak lain ialah Banjarsari.
Di Pulau Bidadari, di bawah bimbingan pecinta lingkungan dari Yayasan Muara Indonesia (YMI), pemenang diajak menyusuri pesisir, mengelilingi pulau yang pada zaman Belanda merupakan salah satu benteng Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) itu, dengan membersihkannya dari sampah. Dalam kesempatan seperti itu, orang YMI sendiri, M. Yusri, mengingatkan peserta darmawisata bahwa daun yang luruh dari pohon merupakan bagian dari siklus alam.
Sisi Manusia
SISI MANUSIA makalah Yoslan Nur mengenai pengelolaan dan daur ulang limbah di tingkat masyarakat Teluk Jakarta diamati dengan kasat mata Jum’at 14 Juli 2000, ketika para wakil donor internasional berkunjung ke dua pusat daur ulang limbah organik di permukiman penduduk berpenghasilan rendah di Jakarta Utara.
Di pusat kegiatan daur ulang Kapuk Muara, mereka melihat Rizal Fauzi (12) sedang melem selembar kertas hasil daur ulang pada kotak pensil sisi-tiga berbentuk prisma. Di satu bangunan di halaman samping, para pengunjung menyaksikan cacing makan dengan asyik limbah organik rumah tangga untuk menghasilkan kompos. Penduduk memakai pupuk itu untuk tanaman halaman mereka, kata Mudakin Zaini (63) menjelaskan.
Di Pasar Inpres Pluit, yang berjarak sepuluh menit dengan kendaraan bermotor dari Kapuk Muara, kelompok pengunjung mengamati bagaimana limbah pasar organik diubah menjadi kompos dengan cara tumpuk. Siregar, kepala pasar, memperlihatkan kompos siap pakai dalam kantung seberat 1,6 kilogram yang dijual dengan harga Rp2.000. Jenis kompos lebih halus yang dibuat dengan cacing dijual seharga Rp3.000 per kantung.
Dalam pertemuan pagi hari sebelumnya, para wakil donor itu mendengarkan paparan dari anggota masyarakat biasa mengenai bagaimana mereka menanggulangi limbah organik setempat.
Nyonya Bambang Wahono, ibu rumah tangga di Banjarsari, Cilandak, Jakarta Selatan, menerangkan bagaimana warga setempat mengolah limbah rumah tangga menjadi kompos. Mereka tidak hanya memakai pupuk itu untuk tanaman obat tetapi juga menjualnya dan menghasilkan untung Rp100.000 sebulan, katanya.
Endang Werdiningsih, guru Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 34 di Pondok Labu, Jakarta Selatan, menceritakan bagaimana muridnya belajar tentang daur ulang kertas bekas dan bagaimana membuat kompos dengan cacing. Kini, sekolah lain dan kelompok masyarakat setempat minta sekolahnya mengadakan peragaan tentang daur ulang, katanya.
Jakarta Raya dan sekitarnya punya 20 juta jiwa penduduk dan menghasilkan 25.000 meter kubik limbah setiap hari, 4.000 meter kubik di antaranya berasal dari pasar tradisional. Fakta yang membuat orang tersentak ialah 70 persen sampah itu organik dan 1.400 meter kubik masuk Teluk Jakarta setiap hari.
Kegiatan daur ulang di Banjarsari dan SMU Nege-ri 34 merupakan upaya ke-cil tapi bermakna untuk mengurangi jumlah limbah yang mengalir dari kota ke laut. Banjarsari dan SMU Negeri 34 dalam jumlah lebih banyak dapat mengecilkan secara berarti tekanan sampah terhadap Teluk Jakarta. Hal yang diperlukan ialah pemuka masyarakat yang memiliki ketrampilan berkomunikasi dan semangat membara untuk menyebarkan kabar tentang praktik bijak dalam mengelola limbah organik.
Lindungi Pantai
DAERAH PANTAI harus dilindungi dari dampak negatif berbagai kegiatan yang dilakukan di darat, khususnya yang berupa limbah. Pentingnya hubungan kota dan laut serta perlindungan daerah pantai dari limbah yang berasal dari darat, kata Dr. Dirk G. Troost, kepala Divisi CSI-UNESCO, ketika berdiskusi dengan sejumlah LSM, pejabat pemerintah, guru, dan wartawan di Jakarta, Kamis 13 Juli 2000.
Sampah tidak bisa dianggap enteng, katanya. Ia mencontohkan tragedi runtuhnya “gunung sampah” di Manila yang menewaskan puluhan orang. “Tragedi sampah di Manila tersebut merupakan pelajaran penting. Di kota besar seperti Jakarta, partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam penanganan limbah,” kata Dr. Troost yang bertugas di kantor pusat UNESCO di Paris.
Diskusi dengan Dr. Troost yang berasal dari Belanda itu berlangsung di Desa Banjarsari, Cilandak. Kampung ini dipilih oleh UNESCO sebagai proyek percontohan “kampung ramah lingkungan” sejak tahun 1996. Banjarsari telah memenuhi kriteria ramah lingkungan, antara lain telah memiliki pengelolaan sampah, mampu membuat kompos dari limbah, memiliki perpustakaan, dan telah melaksanakan penghijauan, termasuk tanaman obat-obatan.
Dalam rangka program “Selamatkan Pulau Seribu”, UNESCO telah mengadakan kerja sama untuk mengolah dan mengurangi sampah di sejumlah pasar di Jakarta. Sistem pengolahan sampah yang diperkenalkan oleh UNESCO dan sejumlah LSM di pasar tersebut berhasil mengurangi volume limbah hingga 30-40 persen.
Menurut hasil penelitian UNESCO dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagian besar terumbu karang di Pulau Seribu telah rusak terutama akibat sampah yang mencemari perairan di daerah ini. Hadir dalam diskusi tersebut antara lain wakil dari LIPI, SMU Negeri 34, YMI, dan Yayasan Kirai.
Agenda Pemulihan
Sarwono Kusumaatma-
dja sewaktu menjadi menteri eksplorasi laut dan perikanan di Jakarta hari Jum’at 14 Juli 2000 menya-takan Indonesia telah me-masuki era baru dengan memasukkan pengelolaan pantai dan sumber daya laut dalam agenda utama pemulihan ekonomi dan reformasi politik.
“Kami punya komit-men untuk tidak mengu-langi kesalahan pemerin-tahan yang lalu. Pendekat-an dari atas ke bawah, ter-pusat, dan berdasarkan sektor semata telah menye-babkan kerusakan ling-kungan hidup, konflik sosi-al, serta berkurangnya pen-dapatan dan kesempatan bagi generasi mendatang,” katanya pada acara diskusi tentang Manajemen Zona Pantai Teluk Jakarta dan Pulau Seribu.
Teluk Jakarta menjadi teluk yang paling tercemar di Asia antara lain akibat limbah yang berasal dari rumah tangga dan industri serta reklamasi tanah, kata-nya dalam diskusi itu, yang diselenggarakan oleh UNESCO.
Menurut ia, pencemar-an tersebut bahkan meluas hingga ke Pulau Seribu dan pembenahan masalah ter-sebut merupakan tantang-an utama bagi pemerintah dan masyarakat. Pengelola-an wilayah pantai mesti di-integrasikan dengan mana-jemen perkotaan serta dae-rah aliran sungai, katanya.
Kepala Divisi CSI-UNESCO Dr. D. Troost mengatakan, komponen penting yang tercakup da-lam program pengelolaan wilayah pantai adalah sains, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan komunika-si. Ia juga menekankan pentingnya hubungan pe-ngelolaan pantai dan kota guna melindungi wilayah pantai dari dampak negatif berbagai kegiatan yang di-lakukan di darat, terutama yang menghasilkan limbah.
Walikota Jakarta Utara saat itu, Subagyo, dalam diskusi tersebut mengata-kan, dari 13 sungai yang mengalir hingga ke Teluk Jakarta, hanya delapan yang punya alat penyaring lim-bah.
Sementara itu, Direktur UNESCO Jakarta Prof. Stephen Hill dalam pidato sambutannya menjelaskan bahwa program UNESCO yang menyentuh langsung masyarakat bawah di wila-yah Teluk Jakarta dan Pu-lau Seribu merupakan re-fleksi perubahan di dalam UNESCO. Badan PBB yang berpusat di Paris ini dulu lebih berkutat pada masalah ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Na-mun, kini, program UNESCO menghubung-kan antara sains dan kese-jahteraan masyarakat. “UNESCO sedang melak-sanakan restrukturisasi dan desentralisasi,” katanya.
Setelah acara diskusi yang dihadiri wakil dari LSM, lembaga pemerintah, sekolah, media, dan kedu-taan asing itu, peserta me-ngadakan kunjungan ke proyek percontohan UNESCO antara daerah pelestarian bakau (ma-ngrove) di Muara Angke, pengelolaan limbah di pasar tradisional Pluit, serta pusat daur ulang di Kapuk Muara.
Pusat Daur Ulang
Muhammad Rizal Fau-
zi melem selembar kertas buram keabu-abuan pada balok sisi-tiga. Anak lelaki berbadan kecil itu sedang memasang lapis lu-ar tempat pensil. Balok ber-bentuk prisma itu sendiri dibuat dari dupleks, jenis kertas tebal yang dipakai membuat sampul keras un-tuk buku. “Ini kegiatan sa-ya selama libur,” kata Rizal (12), putra sopir mobil pri-badi.
Rizal dan dua rekannya yang sebaya bekerja tanpa bicara menyelesaikan tem-pat pensil berbentuk balok segi tiga dan tabung. Di sanggar kerja mereka di Kapuk Muara, Jakarta Uta-ra, satu kotak penuh lem-baran kertas buram kasar berada di sisi kanan Rizal. Kertas buram itu hasil daur ulang kertas bekas.
Berapa honornya? “Sa-ya tidak tahu,” jawab polos Rizal yang masuk SLTP Negeri 112 di Kecamatan Penjaringan mulai tanggal 17 Juli 2000. Menurut Nur-hasan (24), pelatih di Pusat Kegiatan Daur Ulang Ma-syarakat Kapuk Muara itu, Rizal dibayar Rp1.000 un-tuk setiap tempat pensil yang beharga Rp6.000.
Sejak pusat itu dibuka Juni 1999, lebih dari 50 o-rang telah dilatih untuk me-ngolah kertas daur ulang dan memakainya untuk membuat amplop, undang-an, dan kreasi lain seperti tempat pensil, Nurhasan menjelaskan. Pusat yang berada di mulut Sungai Muara Angke itu, sekira sa-tu kilometer dari pantai, ti-dak hanya mendaur ulang kertas bekas, tetapi juga mengolah sampah organik.
Mudakin Zaini (63), pe-nanggung jawab ternak ca-cing, memperlihatkan se-jumlah baki kayu ukuran la-ci meja di halaman samping sanggar. Dalam baki itu, ada segumpal sampah da-pur. Di celah gumpalan itu, terlihat cacing sedang ma-kan sisa dapur rumah tang-ga.
Dasar bak sudah ditu-tup serbuk hitam halus. Ini adalah kompos, pupuk or-ganik hasil pengolahan sampah sayur dan buah de-ngan bantuan cacing jenis lumbrikus. Warga memakai kompos ini untuk tanaman halaman rumah, kata Mu-dakir, ketua RT di Kelurah-an Kapuk Muara.
Sementara itu, Pasar In-pres Pluit juga mengada-kan kegiatan daur ulang sampah dalam skala lebih besar. Di pasar tradisional itu, volume sampah orga-nik berkurang 80 persen, kata M. Yusri, pengurus YMI yang menangani pro-yek daur ulang sampah di Kapuk Muara dan Pasar Pluit.
Kompos hasil penyi-raman dan pengeringan serta kompos hasil perom-bakan dengan cacing dijual di pasar. Kompos jenis per-tama dijual Rp2.000 sekan-tung 1,6 kilogram, sedang-kan kompos kascing (bekas cacing) yang lebih halus be-harga Rp3.000 satu kan-tung.
Sampah DKI
Setiap hari, pasar Inpres
di Jakarta menghasilkan sampah 4.000 meter kubik. Secara keseluruhan pendu-duk Jakarta membuang 25.000 meter kubik limbah setiap hari, 1.400 meter ku-bik di antaranya masuk ke Teluk Jakarta. Padahal, 70 persen sampah DKI meru-pakan limbah organik yang baik untuk dijadikan kom-pos.
Kegiatan daur ulang sampah di Kapuk Muara dan di Pasar Inpres Pluit merupakan upaya kecil da-lam menanggulangi polusi akibat sampah di Jakarta. Pengelolaan sampah yang baik di darat diharapkan dapat mengurangi limbah yang mengotori Teluk Ja-karta.
Karena Kapuk Muara dan Pluit merupakan pro-yek perintis, serombongan wakil donor internasional mengunjungi dua tempat tersebut 14 Juli lalu. Kun-jungan mereka dalam kait-an proyek usulan UNES-CO yang lebih besar untuk menghasilkan model pe-ngelolaan lingkungan hi-dup di Jakarta, khususnya di sekitar Teluk Jakarta dan Pulau Seribu.
Sebelum berangkat ke lapangan, para donor me-nerima paparan upaya ma-syarakat dalam menanggu-langi sampah. Ny. Bam-bang Wahono, ibu rumah tangga di Banjarsari, Cilan-dak, menjelaskan bagaima-na warga di kampungnya sejak yahun 1996 mendaur-ulang sampah dapur.
Kompos yang dipero-leh dengan bantuan cacing itu lalu dipakai untuk me-nghasilkan tanaman obat. Penjualan kompos menda-tangkan untung Rp100.000 sebulan dan penjualan 600 lembar kertas daur ulang sebulan menghasilkan un-tung Rp200.000, kata Ny. Bambang.
Endang Werdiningsih, guru SMU Negeri 34 di Pondok Labu, Jakarta Sela-tan, menceritakan kegiatan ekstrakurikuler mengelola sampah di sekolahnya sejak tahun 1996. Secara bergilir, setiap minggu 25 murid mengolah sampah organik dan mendaur-ulang kertas bekas. Akibat dari kegiatan itu ialah SMU Negeri 34 harus memenuhi permin-taan penduduk sekitar akan pelatihan daur ulang kertas dan sampah.
Isi-mengisi
Dalam menanggapi
ragam paparan dari berbagai pengelola ling-kungan di tingkat masyara-kat itu, wakil dari USAID mengatakan ia ingin meli-hat survei tentang perilaku penduduk. “Kami tahu se-dikit tentang perilaku pen-duduk yang kena dampak pencemaran. Kami ada niat mengadakan survei perila-ku tingkat nasional. Penja-jakan sudah kami lakukan di Lampung, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Uta-ra,” kata Ian M. Dutton, ke-pala proyek pesisir di USA-ID, lembaga bantuan inter-nasional AS, di Jakarta.
Mengenai proyek usul-an itu sendiri, Stefano Fazi menyatakan, proyek itu hendaklah dapat mencon-toh kegiatan yang sudah berhasil. Fazi ialah spesialis program UNESCO Jakarta yang mengoordinasi usul proyek yang diajukan kepa-da donor dan menyertakan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan.
Fazi membayangkan proyek usulan itu akan ber-langsung minimal lima ta-hun, tetapi tidak dapat me-nyebutkan biayanya. Na-mun, ia menyatakan, pro-yek terpisah dapat saja di-laksanakan tanpa menung-gu persetujuan untuk kese-luruhan proyek yang diu-sulkan itu.
Tentang keberhasilan proyek, salah satu peserta dalam kunjungan lapangan menekankan perlunya komplementaritas. “Satu kata kunci ialah saling isi,” kata Dirk G. Troost, kepala Divisi CSI di kantor pusat UNESCO di Paris.
“Anda hanya dapat me-mberikan contoh kalau ada kemungkinan untuk saling isi dan saling memperkuat. Maka, orang akan dapat memperoleh keuntungan dari itu, tidak hanya untuk sekarang, tetapi untuk ge-nerasi yang akan datang,” katanya.
(Diolah dari data koleksi Lautku Newsletter CSI-UNESCO Jakarta oleh Slamet No One)
+ komentar + 1 komentar
Bet365 Casino & Promos 2021 - JTM Hub
Full list of Bet365 Casino & Promos · Up 1등 사이트 to £100 in Bet Credits for new 출장안마 customers at bet365. Min deposit https://jancasino.com/review/merit-casino/ £5. Bet Credits available worrione for use upon settlement of bets to value งานออนไลน์ of
Posting Komentar