KEMUNGKINAN JAKARTA MENJADI
episentrum atau pusat gempa memang kecil. Walau bagaimanapun, Daerah
Khusus Ibu Kota (DKI) ini tergolong rawan gempa. Soalnya, kampung besar
yang nama kunonya Betawi ini dikepung sepuluh daerah potensi gempa:
Subduksi Sumatera, Subduksi Jawa, Sesar Sunda, Sesar Semangko, Sesar
Sukabumi, Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Pati, Sesar Bumi Ayu, dan
Sesar Yogya atau Opak.[1] Entah apa pula yang akan terjadi bila Gunung
Anak Krakatau di Selat Sunda berulah.
Antisipasi apa yang sudah dilakukan? Apakah rumah Anda --penduduk Jakarta-- tergolong bangunan tahan gempa? Apakah gedung bertingkat tempat Anda berkantor di seantero DKI sudah aman? Apakah Tim Penasihat Arsitektur Kota Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (TPAK Dinas P2B) DKI Jakarta sudah melakukan tugasnya memberikan jaminan bahwasanya gedung bertingkat delapan ke atas sudah direncanakan dan dibangun tahan gempa? Apakah Tim Revisi Peta Gempa Nasional (RPGN) sudah merampungkan tugasnya melakukan mikrozonasi gempa untuk Kota Jakarta sebagai panduan mitigasi dan antisipasi gempa?
Katakanlah benar bahwa Jakarta tidak mungkin menjadi episentrum gempa bumi. Pada dasarnya dampak kerusakan gempa terhadap bangunan dan lingkungan bergantung pada jarak titik episentrum dan besaran skala gempa. Marilah kita lihat contoh nyata dampak gempa Tasikmalaya dan Padang pada bangunan fisik di DKI Jakarta:
a. Gempa Tasikmalaya, yang berkekuatan 7,3 Skala Richter, kedalaman 30 kilometer, dan jarak episentrum 142 km tenggara[2] (menurut http://www.bmg.go.id) telah mengakibatkan terjadinya kerusakan pada konstruksi bangunan di DKI Jakarta. Kerusakan bangunan tersebut telah didata. Hasilnya: kerusakan masih masuk kategori kerusakan minor, tidak sampai terjadi kerusakan struktur yang fatal;
b. Gempa Padang, yang berkekuatan 7,6 Skala Richter, kedalaman 71 km, dan jarak episentrum 57 km barat daya (www.bmg.go.id), tidak terasa di DKI Jakarta, sehingga tidak terjadi dampak terhadap fisik bangunan, baik kerusakan minor maupun major.[3]
Kita, tentu saja, tidak boleh menafikan apa yang telah diupayakan oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI sesuai dengan bidangnya:
a. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memiliki ketentuan dan persyaratan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yakni mensyaratkan rancangan bangunan yang harus mengikuti ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa tahun 2002 dan juga Peraturan Beton Indonesia (PBI) tahun 1971;
b. Pasca gempa Tasikmalaya, Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (DPPB) Provinsi DKI Jakarta, bersama dengan Tim Penasihat Konstruksi Bangunan (TPKB), dan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DPKPB) Provinsi DKI Jakarta telah melakukan dua kali sosialisasi terhadap lebih kurang 600 pemilik/pengelola bangunan tinggi di DKI Jakarta dengan cara memberikan penyuluhan tentang gempa, apa yang harus dilakukan selama dan sesudah gempa, serta menyusun dan memberikan formulir pemeriksaan konstruksi bangunan tahan gempa untuk digunakan para pemilik/pengelola sebagai pemeriksaan awal untuk dilaporkan ke DPPB, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPPB dan konsultan yang ditunjuk terhadap kelaikan bangunan;
c. DPPB Provinsi DKI Jakarta telah menyiapkan brosur serta pendidikan dan pelatihan bangunan tahan gempa dan upaya penyelamatan diri dari gempa.[4]
Masalahnya ialah telah berkembang kabar perihal adanya Patahan atau Sesar Ciputat di wilayah DKI ini, yang membentang dari Ciputat hingga Kota. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), salah satu bukti keberadaan sesar itu ialah adanya sumber mata air panas di sekitar gedung Arsip Nasional. Sesar itu patahan tua. Sesar serupa juga terdapat di Surabaya, Jawa Timur, dan Lembang, Jawa Barat.[5]
Namun, pada tahun 2006, sesar itu masih berstatus tidak aktif. Satu-satunya yang bisa mengaktifkan patahan tersebut ialah gempa berkekuatan di atas 7 Skala Richter. Untungnya, tidak pernah ada gempa sebesar itu di Jakarta, setidak-tidaknya dalam 200 tahun terakhir.[6]
Sebelumnya, para ahli gempa memperingatkan potensi terjadinya gempa besar di Jakarta. Ibu kota Indonesia dalam sejarahnya pernah diguncang gempa dahsyat pada tahun 1699, 1780, 1883, dan 1903. Intensitas gempa yang kian meningkat di zona patahan aktif di sepanjang pantai barat Sumatera belakangan ini memunculkan kekhawatiran, potensi gempa bisa menuju Ibu Kota sewaktu-waktu.[7]
(0) 13 Wilayah Rawan Gempa
SECARA TEORETIS Indonesia tergolong negara rawan gempa bumi dan tsunami. Sedikit-dikitnya ada 13 wilayah yang paling rawan diayun gempa teknonik, bahkan tsunami, karena berada pada pertemuan lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.[8]
Ke-13 wilayah itu secara geologis berada pada lempeng yang membentuk zona gempa bumi. Dinamika lempeng tersebut yang membentuk zona tersebut. Wilayah itu ialah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua.
Lho, mana Jakarta? DKI tak terdaftar. Sementara itu, Kalimantan tergolong wilayah aman dari gempa bumi.
Gempa bumi terjadi berawal dari gerakan lempeng benua yang mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi, sehingga menyebabkan penumpukan energi di zona tumbukan (subduksi) dan zona patahan yang menimbulkan tekanan, tarikan, dan geseran.
Pada saat elastisitas lempeng terlampaui, terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba. Proses ini menimbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa bumi.
Bencana gempa tidak dapat dicegah dan diprediksi. Kita hanya bisa menghindari jatuhnya korban jiwa dengan melakukan mitigasi. Mitigasi gempa bisa dilakukan dengan membuat bangunan tahan gempa, tidak mendirikan bangunan di atas atau bawah tebing.
Karena itu, penting bagi pemerintah untuk membuat Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang mempertimbangkan aspek kebencanaan, menyelenggarakan pendidikan dini tentang gempa, bencana, dan bahayanya serta menyiapkan jalur evakuasi.
Saat terjadi gempa, masyarakat yang berada di tempat umum yang ramai seperti di mal, bioskop, atau hotel seyogyanya tidak pernah membuat kepanikan, namun dengan tenang memilih cara menyelamatkan diri yang benar.
(1) Tujuan Mikrozonasi: Pengalaman Sleman
APAKAH MIKROZONASI itu? Dalam hal ini, ada baiknya kita melihat pengalaman Kabupaten Sleman --dan juga Kabupaten Klaten.[9]
Gempa tektonik 27 Mei 2006 mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan permukiman di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Sleman mencatat 20.792 rumah rubuh akibat peristiwa tersebut dan korban 264 orang meninggal, 672 orang luka berat, 560 orang luka sedang, dan 2.539 yang lain luka ringan.
Magnitude gempa tersebut tidak begitu besar, tetapi mengakibatkan korban manusia dan kerusakan bangunan yang sangat besar. Korban luka dan meninggal umumnya disebabkan runtuhnya bangunan. Di wilayah Kabupaten Sleman yang jaraknya kurang dari 50 km dari sumber gempa mengalami kerusakan yang cukup hebat, 20.792 rumah rubuh dan rusak berat, 24.765 rumah rusak sedang, dan 47.753 rumah rusak ringan.
Kerusakan paling parah terjadi di Kecamatan Berbah dan Kecamatan Prambanan. Di Kecamatan Berbah, tercatat 6.212 rumah rubuh dan rusak berat, 2.761 rumah rusak sedang, dan 3.274 rumah rusak ringan, sedangkan di Kecamatan Prambanan tercatat 5.111 rumah rubuh dan rusak berat, dan 4.443 rumah rusak ringan.
Di dalam mitigasi bencana geologi, prediksi bukan satu-satunya cara untuk menurunkan risiko. Korban akibat gempa bukan disebabkan oleh gempa itu sendiri, disebut bahaya primer, tetapi umumnya oleh dampak getaran gempa terhadap struktur bangunan hingga runtuh menelan korban manusia, sebagai bahaya sekunder, serta akibat lanjut dari rusaknya infrastruktur.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kerusakan bangunan atau rumah akibat gempa bumi, yaitu: (1) Kekuatan atau magnitude gempa, (2) Jarak bangunan terhadap sumber gempa, (3) Kualitas bangunan, dan (4) Amplifikasi tanah.
Faktor tersebut memberikan akibat bahwa semakin dekat dengan sumber gempa akan semakin semakin terasa getarannya, sehingga tingkat kerusakan bangunan di daerah tersebut akan semakin tinggi walaupun kualitas bangunannya sama dengan daerah lain. Namun, pada kasus gempa Yogya, jarak bangunan yang jauh dari sumber gempa mengalami kerusakan yang berat juga, sehingga ilmuwan punya simpulan bahwa amplifikasi tanah perlu diteliti.
Dengan demikian, hanya ada dua hal yang bisa diupayakan untuk mengurangi jumlah korban akibat gempa bumi, yaitu meningkatkan kualitas bangunan dan menghindari pembuat bangunan di daerah yang beramplifikasi tinggi.
Pemetaan mikrozonasi ialah langkah awal untuk mengurangi risiko bencana alam, khususnya gempa bumi. Agar bisa menjadi upaya nyata pengurangan risiko bencana, diperlukan langkah lanjut berupa kebijakan pemerintah daerah untuk mengatur tata ruang. Daerah yang amplifikasi tanahnya sangat tinggi tidak cocok untuk permukiman, bila terpaksa harus dengan konstruksi yang khusus.[10]
Pemetaan mikrozonasi ialah instrumen untuk mengetahui daerah atau kawasan yang tanahnya bersifat memperbesar (amplifikasi) atau memperlemah (deamplifikasi) getaran gempa bumi. Dan tujuan dari survei ini ialah memetakan daerah yang rawan terhadap gempa bumi. Dengan demikian, diharapkan bisa mengurangi jumlah korban gempa bumi pada masa datang dan bisa menjadi acuan untuk mengatur tata ruang.
Gempa Bantul 27 Mei 2006 tidak menyebabkan kerusakan yang berarti pada bangunan rumah tua di Parangtritis. Jarak rumah ini terhadap sumber gempa sekira empat kilometer. Tetapi, gedung BPKP yang berjarak 10 km di Jalan Parangtritis Yogyakarta rusak berat dan tidak layak huni. Gedung Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten yang berjarak sekira 50 km dari sumber gempa 27 Mei 2006 juga rusak berat.
(2) Jakarta Seberapa Rawan Bencana?
PADAHAL, MENURUT Sistem Reduksi Risiko Multi-Bencana (SiRRMa) Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta dan sekitarnya masih merupakan daerah yang sangat rawan bencana di muka bumi ini, baik dilihat potensi bencana sosial maupun dari potensi bencana alam lain, khususnya bencana kebumian. Kalau dibiarkan berlangsung seperti apa adanya sekarang, Jakarta akan menyerupai Calcutta, Bangkok, dan Mexico City: Calcutta dari segi bencana sosial menuju kegalauan; Bangkok dari segi penurunan permukaan bumi; Mexico City dari segi bencana gempa dan penurunan muka bumi. Khusus untuk Jakarta, faktor turun-naik muka laut, variasi iklim, dan siklus tektonik sangat dominan untuk jangka panjang.
Dari segi kegempaan, semua gempa yang terasa di DKI hingga kini berasal dari daerah sumber yang terletak di luar wilayahnya. Dari penyebaran sesar di Selat Sunda dan sekitarnya dan dari data isoseis ada gempa masa lampau, sudah dapat dibuat peta isoseis sederhana. Untuk gambaran umum, khususnya untuk DKI, peta tersebut belum cukup. Skalanya masih terlalu kecil. Untuk kebijakan yang diikuti dengan building codes, DKI butuh peta isoseis, peta akselerasi maksimum dengan skala 1:10.000. Yang paling dibutuhkan DKI ialah zonasi mikro pada skala 1:10.000.
Dalam peta itu, perlu disadari bahwa DKI berdiri di atas tumpukan sedimen kuarter dari berbagai macam jenis, berbagai ketebalan, dengan berbagai penyebaran lateral. Pada tempat tertentu, sedimen tersebut mencapai ketebalan hingga 600 meter atau lebih. Itu berarti ada akselerasi kecepatan rambat gelombang seismik. Lagi pula, dari beberapa penampang geologi permukaan, terlihat penyebaran lapisan pasir. Gejala tersebut dapat menyebabkan proses liquefaction. Ini sangat berbahaya bagi gedung bertingkat di DKI.
Untuk membuat building codes dan kebijakan dalam mitigasi bencana gempa, zonasi mikro sangat mendesak. Ini harus dilakukan sekarang. Sambil menunggu informasi ilmiah yang benar-benar solid melandasi kebijakan, contingency planning sudah harus dapat disusun, yang secara berangsur diperbaiki.
Selain dari bencana gempa, DKI juga dibayangi oleh bencana jangka panjang:
1. Naiknya muka air laut yang akan menimbulkan kerugian dan kerusakan pada prasarana di wilayah pesisir.
2. Munculnya land-subsidence karena: penurunan alami; beratnya gedung besar di atas sedimen yang belum terkonsolidasikan; dan pemompaan air tanah tak terkontrol. Gejala kerusakan tersebut akan sudah dapat terlihat secara jelas 20-30 tahun lagi. Mungkin bukan saja gedung, bahkan bagian dari DKI secara perlahan-lahan mengalami penurunan. Ini akan sangat fatal.
Untuk mitigasi bencana land-subsidence dan naiknya muka laut, diperlukan studi intensif yang harus melahirkan rekomendasi praktis untuk pengamanan prasarana. Konklusinya: pemerintah, dalam hal ini DKI, perlu mensponsori dua kegiatan: melengkapi informasi ilmiah untuk menyusun kebijakan mitigasi bencana bumi dan studi mengenai dinamika cekungan secara mendetail dengan pendekatan baru guna mengantisipasikan daerah yang akan mengalami penurunan, dan daerah yang harus diperkuat/dilindungi terhadap naiknya muka laut. (MMeSeM)
Catatan Kaki:
[1] Wiastuti, “Antisipasi Gempa, DKI Siapkan Peta Mikrozonasi Gempa,” dalam http://today.co.id/, Rabu 18 Mei 2011.20:54, dengan mengutip Ketua Tim Revisi Peta Gempa Nasional (RPGN), Masyhur Irsyam.
[2] Saya koreksi dari data asli barat daya.
[3] Anonim, “Dampak Gempa yang Terjadi di DKI Jakarta,” dalam http://www.jakarta.go.id/, tanggal posting-nya aneh: 1 Januari 1970, bersumberkan Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Provinsi DKI Jakarta.
[4] Ibid.
[5] Jakarta Siaga Bencana, “Ada Kaitan Sesar Ciputat & Gempa Dahsyat DKI? Patahan atau sesar di Jakarta membentang dari Ciputat hingga wilayah Kota,” dalam http://facebook.com/, Saturday, November 6, 2010.11:01, dengan mengutip laporan Elin Yunita Kristanti dan Ismoko Widjaya pada http://metro.vivanews.com/, Jumat 16 Juli 2010.11:11, yang bersumberkan Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Erick Ridzky.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Salman Mandira, “13 Wilayah di Indonesia Rawan Gempa,” dalam http://okezone.com/, Selasa, 25 Oktober 2011.11:02:15, dengan mengutip paparan pakar geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Lono Satrio, dalam diskusi tentang kebencanaan dengan wartawan di Hotel The Pade, Banda Aceh, Sabtu 15 Oktober 2011.
[9] Guntur, “Pemetaan Mikrozonasi Daerah Rawan Gempa Kabupaten Sleman: Kerja Sama Pemerintah Kabupaten Sleman, BPPTK, dan NZ Aid,” dalam http://p3ba.slemankab.go.id/, Selasa 10-Februari-2009.
[10] Peningkatan mutu bangunan ini saya lihat ketika saya berkunjung ke Bengkulu, terutama dari campuran adukan beton dan besi tulangnya.
Antisipasi apa yang sudah dilakukan? Apakah rumah Anda --penduduk Jakarta-- tergolong bangunan tahan gempa? Apakah gedung bertingkat tempat Anda berkantor di seantero DKI sudah aman? Apakah Tim Penasihat Arsitektur Kota Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (TPAK Dinas P2B) DKI Jakarta sudah melakukan tugasnya memberikan jaminan bahwasanya gedung bertingkat delapan ke atas sudah direncanakan dan dibangun tahan gempa? Apakah Tim Revisi Peta Gempa Nasional (RPGN) sudah merampungkan tugasnya melakukan mikrozonasi gempa untuk Kota Jakarta sebagai panduan mitigasi dan antisipasi gempa?
Katakanlah benar bahwa Jakarta tidak mungkin menjadi episentrum gempa bumi. Pada dasarnya dampak kerusakan gempa terhadap bangunan dan lingkungan bergantung pada jarak titik episentrum dan besaran skala gempa. Marilah kita lihat contoh nyata dampak gempa Tasikmalaya dan Padang pada bangunan fisik di DKI Jakarta:
a. Gempa Tasikmalaya, yang berkekuatan 7,3 Skala Richter, kedalaman 30 kilometer, dan jarak episentrum 142 km tenggara[2] (menurut http://www.bmg.go.id) telah mengakibatkan terjadinya kerusakan pada konstruksi bangunan di DKI Jakarta. Kerusakan bangunan tersebut telah didata. Hasilnya: kerusakan masih masuk kategori kerusakan minor, tidak sampai terjadi kerusakan struktur yang fatal;
b. Gempa Padang, yang berkekuatan 7,6 Skala Richter, kedalaman 71 km, dan jarak episentrum 57 km barat daya (www.bmg.go.id), tidak terasa di DKI Jakarta, sehingga tidak terjadi dampak terhadap fisik bangunan, baik kerusakan minor maupun major.[3]
Kita, tentu saja, tidak boleh menafikan apa yang telah diupayakan oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI sesuai dengan bidangnya:
a. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memiliki ketentuan dan persyaratan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yakni mensyaratkan rancangan bangunan yang harus mengikuti ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempa tahun 2002 dan juga Peraturan Beton Indonesia (PBI) tahun 1971;
b. Pasca gempa Tasikmalaya, Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (DPPB) Provinsi DKI Jakarta, bersama dengan Tim Penasihat Konstruksi Bangunan (TPKB), dan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DPKPB) Provinsi DKI Jakarta telah melakukan dua kali sosialisasi terhadap lebih kurang 600 pemilik/pengelola bangunan tinggi di DKI Jakarta dengan cara memberikan penyuluhan tentang gempa, apa yang harus dilakukan selama dan sesudah gempa, serta menyusun dan memberikan formulir pemeriksaan konstruksi bangunan tahan gempa untuk digunakan para pemilik/pengelola sebagai pemeriksaan awal untuk dilaporkan ke DPPB, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPPB dan konsultan yang ditunjuk terhadap kelaikan bangunan;
c. DPPB Provinsi DKI Jakarta telah menyiapkan brosur serta pendidikan dan pelatihan bangunan tahan gempa dan upaya penyelamatan diri dari gempa.[4]
Masalahnya ialah telah berkembang kabar perihal adanya Patahan atau Sesar Ciputat di wilayah DKI ini, yang membentang dari Ciputat hingga Kota. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), salah satu bukti keberadaan sesar itu ialah adanya sumber mata air panas di sekitar gedung Arsip Nasional. Sesar itu patahan tua. Sesar serupa juga terdapat di Surabaya, Jawa Timur, dan Lembang, Jawa Barat.[5]
Namun, pada tahun 2006, sesar itu masih berstatus tidak aktif. Satu-satunya yang bisa mengaktifkan patahan tersebut ialah gempa berkekuatan di atas 7 Skala Richter. Untungnya, tidak pernah ada gempa sebesar itu di Jakarta, setidak-tidaknya dalam 200 tahun terakhir.[6]
Sebelumnya, para ahli gempa memperingatkan potensi terjadinya gempa besar di Jakarta. Ibu kota Indonesia dalam sejarahnya pernah diguncang gempa dahsyat pada tahun 1699, 1780, 1883, dan 1903. Intensitas gempa yang kian meningkat di zona patahan aktif di sepanjang pantai barat Sumatera belakangan ini memunculkan kekhawatiran, potensi gempa bisa menuju Ibu Kota sewaktu-waktu.[7]
(0) 13 Wilayah Rawan Gempa
SECARA TEORETIS Indonesia tergolong negara rawan gempa bumi dan tsunami. Sedikit-dikitnya ada 13 wilayah yang paling rawan diayun gempa teknonik, bahkan tsunami, karena berada pada pertemuan lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.[8]
Ke-13 wilayah itu secara geologis berada pada lempeng yang membentuk zona gempa bumi. Dinamika lempeng tersebut yang membentuk zona tersebut. Wilayah itu ialah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua.
Lho, mana Jakarta? DKI tak terdaftar. Sementara itu, Kalimantan tergolong wilayah aman dari gempa bumi.
Gempa bumi terjadi berawal dari gerakan lempeng benua yang mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi, sehingga menyebabkan penumpukan energi di zona tumbukan (subduksi) dan zona patahan yang menimbulkan tekanan, tarikan, dan geseran.
Pada saat elastisitas lempeng terlampaui, terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba. Proses ini menimbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa bumi.
Bencana gempa tidak dapat dicegah dan diprediksi. Kita hanya bisa menghindari jatuhnya korban jiwa dengan melakukan mitigasi. Mitigasi gempa bisa dilakukan dengan membuat bangunan tahan gempa, tidak mendirikan bangunan di atas atau bawah tebing.
Karena itu, penting bagi pemerintah untuk membuat Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang mempertimbangkan aspek kebencanaan, menyelenggarakan pendidikan dini tentang gempa, bencana, dan bahayanya serta menyiapkan jalur evakuasi.
Saat terjadi gempa, masyarakat yang berada di tempat umum yang ramai seperti di mal, bioskop, atau hotel seyogyanya tidak pernah membuat kepanikan, namun dengan tenang memilih cara menyelamatkan diri yang benar.
(1) Tujuan Mikrozonasi: Pengalaman Sleman
APAKAH MIKROZONASI itu? Dalam hal ini, ada baiknya kita melihat pengalaman Kabupaten Sleman --dan juga Kabupaten Klaten.[9]
Gempa tektonik 27 Mei 2006 mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan permukiman di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Sleman mencatat 20.792 rumah rubuh akibat peristiwa tersebut dan korban 264 orang meninggal, 672 orang luka berat, 560 orang luka sedang, dan 2.539 yang lain luka ringan.
Magnitude gempa tersebut tidak begitu besar, tetapi mengakibatkan korban manusia dan kerusakan bangunan yang sangat besar. Korban luka dan meninggal umumnya disebabkan runtuhnya bangunan. Di wilayah Kabupaten Sleman yang jaraknya kurang dari 50 km dari sumber gempa mengalami kerusakan yang cukup hebat, 20.792 rumah rubuh dan rusak berat, 24.765 rumah rusak sedang, dan 47.753 rumah rusak ringan.
Kerusakan paling parah terjadi di Kecamatan Berbah dan Kecamatan Prambanan. Di Kecamatan Berbah, tercatat 6.212 rumah rubuh dan rusak berat, 2.761 rumah rusak sedang, dan 3.274 rumah rusak ringan, sedangkan di Kecamatan Prambanan tercatat 5.111 rumah rubuh dan rusak berat, dan 4.443 rumah rusak ringan.
Di dalam mitigasi bencana geologi, prediksi bukan satu-satunya cara untuk menurunkan risiko. Korban akibat gempa bukan disebabkan oleh gempa itu sendiri, disebut bahaya primer, tetapi umumnya oleh dampak getaran gempa terhadap struktur bangunan hingga runtuh menelan korban manusia, sebagai bahaya sekunder, serta akibat lanjut dari rusaknya infrastruktur.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingkat kerusakan bangunan atau rumah akibat gempa bumi, yaitu: (1) Kekuatan atau magnitude gempa, (2) Jarak bangunan terhadap sumber gempa, (3) Kualitas bangunan, dan (4) Amplifikasi tanah.
Faktor tersebut memberikan akibat bahwa semakin dekat dengan sumber gempa akan semakin semakin terasa getarannya, sehingga tingkat kerusakan bangunan di daerah tersebut akan semakin tinggi walaupun kualitas bangunannya sama dengan daerah lain. Namun, pada kasus gempa Yogya, jarak bangunan yang jauh dari sumber gempa mengalami kerusakan yang berat juga, sehingga ilmuwan punya simpulan bahwa amplifikasi tanah perlu diteliti.
Dengan demikian, hanya ada dua hal yang bisa diupayakan untuk mengurangi jumlah korban akibat gempa bumi, yaitu meningkatkan kualitas bangunan dan menghindari pembuat bangunan di daerah yang beramplifikasi tinggi.
Pemetaan mikrozonasi ialah langkah awal untuk mengurangi risiko bencana alam, khususnya gempa bumi. Agar bisa menjadi upaya nyata pengurangan risiko bencana, diperlukan langkah lanjut berupa kebijakan pemerintah daerah untuk mengatur tata ruang. Daerah yang amplifikasi tanahnya sangat tinggi tidak cocok untuk permukiman, bila terpaksa harus dengan konstruksi yang khusus.[10]
Pemetaan mikrozonasi ialah instrumen untuk mengetahui daerah atau kawasan yang tanahnya bersifat memperbesar (amplifikasi) atau memperlemah (deamplifikasi) getaran gempa bumi. Dan tujuan dari survei ini ialah memetakan daerah yang rawan terhadap gempa bumi. Dengan demikian, diharapkan bisa mengurangi jumlah korban gempa bumi pada masa datang dan bisa menjadi acuan untuk mengatur tata ruang.
Gempa Bantul 27 Mei 2006 tidak menyebabkan kerusakan yang berarti pada bangunan rumah tua di Parangtritis. Jarak rumah ini terhadap sumber gempa sekira empat kilometer. Tetapi, gedung BPKP yang berjarak 10 km di Jalan Parangtritis Yogyakarta rusak berat dan tidak layak huni. Gedung Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten yang berjarak sekira 50 km dari sumber gempa 27 Mei 2006 juga rusak berat.
(2) Jakarta Seberapa Rawan Bencana?
PADAHAL, MENURUT Sistem Reduksi Risiko Multi-Bencana (SiRRMa) Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta dan sekitarnya masih merupakan daerah yang sangat rawan bencana di muka bumi ini, baik dilihat potensi bencana sosial maupun dari potensi bencana alam lain, khususnya bencana kebumian. Kalau dibiarkan berlangsung seperti apa adanya sekarang, Jakarta akan menyerupai Calcutta, Bangkok, dan Mexico City: Calcutta dari segi bencana sosial menuju kegalauan; Bangkok dari segi penurunan permukaan bumi; Mexico City dari segi bencana gempa dan penurunan muka bumi. Khusus untuk Jakarta, faktor turun-naik muka laut, variasi iklim, dan siklus tektonik sangat dominan untuk jangka panjang.
Dari segi kegempaan, semua gempa yang terasa di DKI hingga kini berasal dari daerah sumber yang terletak di luar wilayahnya. Dari penyebaran sesar di Selat Sunda dan sekitarnya dan dari data isoseis ada gempa masa lampau, sudah dapat dibuat peta isoseis sederhana. Untuk gambaran umum, khususnya untuk DKI, peta tersebut belum cukup. Skalanya masih terlalu kecil. Untuk kebijakan yang diikuti dengan building codes, DKI butuh peta isoseis, peta akselerasi maksimum dengan skala 1:10.000. Yang paling dibutuhkan DKI ialah zonasi mikro pada skala 1:10.000.
Dalam peta itu, perlu disadari bahwa DKI berdiri di atas tumpukan sedimen kuarter dari berbagai macam jenis, berbagai ketebalan, dengan berbagai penyebaran lateral. Pada tempat tertentu, sedimen tersebut mencapai ketebalan hingga 600 meter atau lebih. Itu berarti ada akselerasi kecepatan rambat gelombang seismik. Lagi pula, dari beberapa penampang geologi permukaan, terlihat penyebaran lapisan pasir. Gejala tersebut dapat menyebabkan proses liquefaction. Ini sangat berbahaya bagi gedung bertingkat di DKI.
Untuk membuat building codes dan kebijakan dalam mitigasi bencana gempa, zonasi mikro sangat mendesak. Ini harus dilakukan sekarang. Sambil menunggu informasi ilmiah yang benar-benar solid melandasi kebijakan, contingency planning sudah harus dapat disusun, yang secara berangsur diperbaiki.
Selain dari bencana gempa, DKI juga dibayangi oleh bencana jangka panjang:
1. Naiknya muka air laut yang akan menimbulkan kerugian dan kerusakan pada prasarana di wilayah pesisir.
2. Munculnya land-subsidence karena: penurunan alami; beratnya gedung besar di atas sedimen yang belum terkonsolidasikan; dan pemompaan air tanah tak terkontrol. Gejala kerusakan tersebut akan sudah dapat terlihat secara jelas 20-30 tahun lagi. Mungkin bukan saja gedung, bahkan bagian dari DKI secara perlahan-lahan mengalami penurunan. Ini akan sangat fatal.
Untuk mitigasi bencana land-subsidence dan naiknya muka laut, diperlukan studi intensif yang harus melahirkan rekomendasi praktis untuk pengamanan prasarana. Konklusinya: pemerintah, dalam hal ini DKI, perlu mensponsori dua kegiatan: melengkapi informasi ilmiah untuk menyusun kebijakan mitigasi bencana bumi dan studi mengenai dinamika cekungan secara mendetail dengan pendekatan baru guna mengantisipasikan daerah yang akan mengalami penurunan, dan daerah yang harus diperkuat/dilindungi terhadap naiknya muka laut. (MMeSeM)
Catatan Kaki:
[1] Wiastuti, “Antisipasi Gempa, DKI Siapkan Peta Mikrozonasi Gempa,” dalam http://today.co.id/, Rabu 18 Mei 2011.20:54, dengan mengutip Ketua Tim Revisi Peta Gempa Nasional (RPGN), Masyhur Irsyam.
[2] Saya koreksi dari data asli barat daya.
[3] Anonim, “Dampak Gempa yang Terjadi di DKI Jakarta,” dalam http://www.jakarta.go.id/, tanggal posting-nya aneh: 1 Januari 1970, bersumberkan Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Provinsi DKI Jakarta.
[4] Ibid.
[5] Jakarta Siaga Bencana, “Ada Kaitan Sesar Ciputat & Gempa Dahsyat DKI? Patahan atau sesar di Jakarta membentang dari Ciputat hingga wilayah Kota,” dalam http://facebook.com/, Saturday, November 6, 2010.11:01, dengan mengutip laporan Elin Yunita Kristanti dan Ismoko Widjaya pada http://metro.vivanews.com/, Jumat 16 Juli 2010.11:11, yang bersumberkan Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Erick Ridzky.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Salman Mandira, “13 Wilayah di Indonesia Rawan Gempa,” dalam http://okezone.com/, Selasa, 25 Oktober 2011.11:02:15, dengan mengutip paparan pakar geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Lono Satrio, dalam diskusi tentang kebencanaan dengan wartawan di Hotel The Pade, Banda Aceh, Sabtu 15 Oktober 2011.
[9] Guntur, “Pemetaan Mikrozonasi Daerah Rawan Gempa Kabupaten Sleman: Kerja Sama Pemerintah Kabupaten Sleman, BPPTK, dan NZ Aid,” dalam http://p3ba.slemankab.go.id/, Selasa 10-Februari-2009.
[10] Peningkatan mutu bangunan ini saya lihat ketika saya berkunjung ke Bengkulu, terutama dari campuran adukan beton dan besi tulangnya.
Posting Komentar