CERITA TRADISIONAL SEJARAH Jåwå, baik dalam cerita tutur maupun naskah, menyatakan Masjid Agung Demak, didirikan bersama-sama dalam semalam,[1] oleh Wali Sångå, termasuk tuan rumah, Adipati Bintårå Radèn Patah gelar Sunan Kota.[2]
“Mungkin sekali raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam mereka,” tulis pasangan ahli sejarah Nusantara asal Belanda, H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, yang sayangnya diikuti dengan kalimat, “Tidak begitu penting untuk diketahui apakah masjid tertua di Demak itu didirikan oleh raja pertama atau raja lain.”[3]
Namun, keduanya mengakui bahwa “Masjid Demak pada abad-abad berikutnya menjadi penting sekali dalam dunia Jåwå, dan itu pada prinsipnya merupakan jasa dinasti Demak.”[4]
Atap-tengahnya ditopang, seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Orang Jåwå menyebutnya såkå guru.[5] Salah satu di antaranya tidak terbuat dari batang kayu utuh, melainkan dari beberapa potongan balok yang diikat menjadi satu. Tiang utama ini lazim disebut såkå tatal, yang kini sudah dibungkus.[6]
“... pembuatan såkå tatal sering dihubungkan dengan Sunan Kalijågå,” tulis Dr. H. Uka Tjandrasasmita, yang juga menyebut Sang Wali sebagai pemimpin pembangunannya.[7]
“Dikisahkan dalam legenda itu bahwa tiang tersebut sumbangan Sunan Kalijågå. Rupanya tiang itu disusun dari ... potongan balok yang tersisa dari pekerjaan ... wali lain,” tulis de Graaf dan Pigeaud, “Pada malam pembuatan bangunan itu, ia datang terlambat, oleh karena ... (itu, ia) tidak dapat menghasilkan ... pekerjaan yang utuh.”[8]
Sampai di sini, sudah ada tiga pertanyaan yang mengganjal: Benarkah masjid itu dibangun dalam satu malam? Kenapa Sunan Kali terlambat? Benarkah såkå tatal itu bukan hasil pekerjaan yang utuh?
(1) Kapan Dibangun?
PENERJEMAH BUKU riwayat Wali Sångå, Kiai Dachlan Abd. Qohar, anggota Konstituante (parlemen R.I.) hasil Pemilihan Umum pertama di republik ini pada tahun 1955, menulis bahwa masjid tersebut dibangun dalam sepuluh hari pada tanggal 1-10 Dzulhijjah, pada tahun 1465 Masehi.[9] Dengan analogi ia menyebut kejatuhan Maharaja Måjåpahit Kertåbhumi gelar Bråwijåyå V pada tahun 1400 Ç menjadi 1468 M, Masjid Agung Demak, menurut versi Kiai Dachlan, sebenarnya dibangun pada tahun 1475 M atau 1397 Ç.[10]
Penulis dan wartawan Solichin Salam bahkan menyatakan bahwa ada banyak versi tentang kapan pembangunan Masjid Agung Demak dilakukan, antara lain pada:
a. hari Kamis Kliwon malam Jum’at Legi 1 Dulkangidah 1428 A.J. (kira-kira 1506 M), dengan catatan “Hanja kita kurang mengerti, dasar apakah jang dipakai untuk menentukan, bahwa mesdjid Demak itu didirikan pada tahun Djåwå 1428.”
b. tahun 1388 Çåkå, berdasarkan cåndråsengkålå: någå salirå wani, yakni gambar petir di pintu tengah, dan
c. tahun 1401 Çåkå, berdasarkan gambar kura-kura (kepala = 1, kaki = 4, badan = 0, dan ekor = 1) yang ada di dalam pengimaman.[11]
Kura-kura atau lukisan konkret lain sebagai tanda tahun lazim disebut sengkalan memet. Peminat yang mengenal daerah itu dengan baik, S. Wardi, juga menyatakan itu tahun 1401 J (1479 M), sedangkan yang pada pintu gerbang utama melambangkan tahun 1428 J (1506 M).[12]
Akan tetapi, cåndråsengkålå (harfiah: gambaran sang waktu) någå salirå wani? Tiga kata untuk empat angka? Ini aneh bin ajaib.
R. Atmodarminto (1894-1978) yang juga penulis, wartawan, dan anggota Konstituante menyatakan “gambar kura-kura di mihrab Masjid Agung Demak, selain sebagai sengkålå, juga sebagai bulus peringatan ’Iki masjid, såpå melebu sing alus’ (Ini masjid, siapa pun memasukinya, hendaklah berlaku sopan).”[13]
Menurut Ketua Boedi Oetåmå (BO) Cabang Yogyåkartå ini, “Masjid Agung Bintårå didirikan pada tahun 1477 Masehi dan diberi catatan cåndråsengkålå: lawang trus gunaning janmi yang menandai tahun 1399 Çåkå.” Tahun Çåkå 1399 itu 1477 Masehi.
Tentang kapan Masjid Agung Demak dibangun, Catatan Tahunan Melayu (CTM: Melayu Annals) yang “menghebohkan masyarakat” pada akhir dasawarsa 1960-an menyodorkan angka tahun 1481 M,[14] yang bertepatan dengan 1403 Ç.
CTM ialah kronik Cina-Jåwå, yang bagian-pertamanya berasal dari Kelenteng Sam Po Kong, Gedong Batu, Semarang, sedangkan bagian-keduanya ditemukan di Vihara Talang, Cirebon.
Saat dosen Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof. Dr. Slamet Muljana menjadikan CTM bahan kajian bukunya, Runtuhnja Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara, yang dirilis oleh Penerbit Bhratara, Jakarta, pada tahun 1968,[15] ternyata kajian itu menjadi kontroversial dan menghebohkan masyarakat, sehingga Kejaksaan Agung R.I. saat itu memutuskan untuk melarang peredaran buku tersebut.[16]
Apa arti angka-angka itu: 1397 Ç, 1399 Ç, 1403 Ç, dan 1428 A.J.? Dugaan yang bisa ditarik ialah Masjid Agung Bintårå dibangun secara bertahap, mengikuti peningkatan jumlah umat Islam dari waktu ke waktu pada saat itu, hingga menjadi seperti bentuknya yang sekarang.
“Tahun-tahun kejadian itu tampaknya dapat dipercaya; tahun-tahun itu bertepatan dengan waktu muncul dan berkembangnya kekuasaan kerajaan Demak. Mungkin dapat diterima bahwa pada permulaan abad ke-16 telah didirikan suatu bangunan, yang diperindah dan diperbesar, yang mengelilingi mihrab lama yang sudah berumur 30 tahun. Tahun 1506 cocok dengan tahun 1507, ... ketika raja Demak (Trenggånå) hadir pada peresmian masjid setelah diperbarui,” tulis de Graaf dan Pigeaud.[17]
(2) Teknologi Kapal atau Daya Cipta Kun Fayakun?
LEGENDA MENYATAKAN Sunan Kalijågå berziarah ke (tirakat dateng ing) Pamantingan. Karena itu, ia terlambat datang untuk ikut membangun Masjid Agung Demak. Ia baru sampai jauh lepas tengah hari. Padahal, ia mendapatkan bagian membangun satu tiang. Wali lain sudah siap menegakkan tiangnya. Ia pun tergesa-gesa membentuk balok dari potongan kayu dengan cara menyusun dan mengikatnya menjadi tiang.[18]
Tergesa-gesa? Bagaimana mungkin? Orang yang tidak mengerti bahkan percaya Sunan Kalijågå membuatnya dengan kekuatan batin atau karåmah-nya: kun fayakun, jadi maka jadilah.
“Dalam kitab Tembang Babad Demak, diceritakan pula bahwa såkå guru yang ditambahkan Sunan Kalijågå (såkå guru Masjid Demak sebelah timur laut) dibuat dari tatal (potongan kayu kecil-kecil). Pembuatannya dengan memanfaatkan ... potongan dan sisa ... tepi kayu yang agak besar digabungkan menjadi satu kesatuan secara selaras, direkat dengan jabung, menyan, blendok atau damar, dipasak dan diikat sampai kokoh. Kira-kira dua tahun barulah ikatannya dilepas dan dihaluskan menjadi såkå guru. Akan tetapi, dalam kitab Tembang Babad Demak, disebutkan, (tiang itu) dibuat sekaligus jadi hanya dalam semalam,” tulis Atmodarminto panjang lebar tentang teknologi pembuatan serta legendanya.
Catatan Tahunan Melayu, yang menyebut Sunan Kalijågå itu Gan Si Cang dan adik “sesama ibu lain bapak” Radèn Patah, yakni Radèn Kusèn, itu Kin San, punya alasan lain. Kin San saat itu memimpin galangan kapal, sedangkan Gan Si Cang menjadi kepala komunitas Cina non-Islam di Semarang.
1481: Atas permintaan ... tukang galangan kapal, Gan Si Cang memohon kepada Kin San supaya masyarakat Tionghoa non-Islam di Semarang bisa dengan sukarela turut kerja bakti menyelesaikan Masjid Besar Demak, permohonan itu dikabulkan oleh Jin Bun.
Dugaan: Bangunan kayu Masjid Besar Demak dibuat oleh ... tukang kayu Tionghoa yang sudah sepuluh abad turun-temurun membuat kapal jung. Tiang besar såkå tatal memang benar dibangun menurut konstruksi master kapal di Cina zaman Dinasti Ming. Dikabarkan tiang besar itu dibuat dari ... kepingan kayu yang disusun dengan ketelitian yang tinggi. Tiang itu sangat fleksibel dan sangat tahan segala angin topan dan terpaan air laut.[19]
(3) Menentukan Kiblat
DALAM LEGENDA tentang Masjid Demak, Sunan Kalijågå menduduki peran yang penting. Ia berjasa membetulkan kiblat masjid mengarah ke Ka’bah di Makkah.[20] Ini sebenarnya sesuatu yang pasti dan mudah dilakukan, asal orang tahu bahwa pada hari tertentu setiap tahun matahari tepat berada di atas Ka’bah.
Akan tetapi, Tembang Babad Demak menuliskan kejadian yang sangat menggelikan berikut ini dalam tembang Asmåråndånå:
Takir lemungsir pritgantil/ wus pinasang kinancingan/ datan antårå usuké/ lawan rèng wus pinakonan/ maståkå gyå pinasang/ wus ngadeg sengkalanipun/ lawang trus gunaning janmi//[21]
(Kerangka bagian tengah atap sudah terpasang dan dipantek, tak lama kemudian kaso dan reng sudah dipaku, puncak atap segera dipasang, berdirilah sudah, pada tahun bergambaran wktu: pintu terbuka agar berguna bagi manusia.)
Nulyå sagung pårå wali/ amawas leresing kéblat/ nanging pradondi rembugé/ ånå kang ngoyong mangétan/ sawiji datan rembag/ mesjid ingoyog mangidul/ daredah rembag ing wuntat//[22]
(Lalu semua wali yang hadir melihat lurusnya kiblat, namun tidak sepaham, ada yang miring ke timur, tiada kata sepakat, masjid digeser ke selatan, perdebatan pun kian sengit.)
Kisahnya berlanjut dengan bait tembang Pangkur:
Sigrå Sunan Kalijågå/ ngadeg nyandhak mastakané kang mesjid/ bregagah majeng mangidul/ asta tengen manyandhak/ mastakané Mesjid Demak sampun gathuk/ kalawan mastaka Ka’bah/ keblatipun wus sinami//[23]
(Segera Sunan Kalijågå berdiri memegang puncak atap masjid, mengangkang menghadap ke selatan, tangan kanan memegang itu puncak Masjid Demak sudah bertemu dengan puncak Ka’bah, kiblatnya sudah sama.)
Tiga bait itu saja sudah cukup, bait yang lain di sela-selanya lebih mencerminkan kebodohan sang penyusun Tembang Babad Demak yang tampaknya tidak mengerti ilmu falak dan cara menentukan arah dengan benar, padahal pada zaman itu sudah ada rubu’ (busur seperempat lingkaran).
(4) Baju Wasiat Åntåkusumå
LEGENDA YANG lain ialah kisah baju atau kutang alias rompi Åntåkusumå yang dalam alam pewayangan dipakai oleh Radèn Gatutkåcå, anak panenggak (yang kedua) Pandhåwå Limå, Aryå Bimå.
“Sunan Kalijågå jugalah yang memperoleh baju wasiat ‘Åntåkusumå’, yang jatuh dari langit di masjid itu di tengah para wali yang sedang bermusyawarah. Cerita mengenai peristiwa itu berbeda-beda,” tulis de Graaf dan Pigeaud.[24]
Dengan menyebutnya Baju Kotang Åntråkusumå, R. Atmodarminto mendongeng sebagai berikut: Begitu selesai dibangun, masjid itu digunakan untuk salat berjamaah. Selesai dzikir, Sunan Bonang melihat ada bungkusan tergantung di atas pangimaman, yang lalu dicongkel dengan gagang sikat. Isinya surat dan baju kutang dari kulit kambing kiriman Nabi al-Musthåfa (Muhammad s.a.w.). Para wali bergantian mencobanya. Tak ada yang pas, kalau tidak terlalu besar, pasti terlalu kecil. Hanya saat dikenakan oleh Sunan Kalijågå, baju itu tampak pas dan bersinar. Wali lain melihatnya takjub. Kesan mereka berbeda-beda. Ada yang melihatnya bewarna hitam, ada pula yang memandangnya merah, putih, atau kuning. Oleh Sunan Bonang, baju itu diberi nama Kiai Gundhil.[25]
Baju Åntåkusumå itu merupakan salah satu pusaka para raja Jåwå. Pada tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Sénåpati, konon dapat mengalahkan Pangéran Madiun berkat baju itu yang konon membuatnya kebal. Pada tahun 1703, Kiai Gundhil termasuk barang pusaka yang diserahkan kepada Amangkurat III sebagai sunan baru di Kartåsurå.[26]
Di Keraton Yogyåkartå, Åntråkusumå ialah nama baju kebesaran yang dipakai oleh Sultan Hamengku Buwånå VII yang dikenakan setiap upacara Garebek Maulud pada tahun Dal. Baju ini dibuat dari potongan sutera, beludru, cinde, pelangi måncåwarnå, digunting segitiga dan lalu disambung-sambung. Seluruh jahitan ditutup dengan sulaman benang emas.[27]
(5) Legenda Api Surga
DONGENG KEEMPAT tentang Masjid Agung Demak, menurut de Graaf dan Pigeaud, berhubungan dengan api surga. Legenda ini beragam versi. Akan tetapi, dalam semua versi, Ki Gedhé Seséla menangkap petir di ladang. Ia membawa kilat itu ke Masjid Demak atau menyerahkannya kepada Sultån Demak. Petir yang telah terkurung itu kemudian meloloskan diri. Relief di atas gerbang utara bangunan sekarang, di sisi kubur, mengingatkan akan hal itu. Gerbang tersebut disebut Lawang Bledhèg (harfiah: Pintu Petir) dahulu adalah gerbang utama.[28]
Seséla itu nama tempat dengan gejala vulkanis di timur Demak.[29] Mukjizat penangkapan kilat itu oleh cerita tradisi dihubungkan dengan keputusan politik penting. Ki Gedhé Seséla yang legendaris itu sangat dimuliakan sebagai moyang keluarga raja Mataram. Penghormatan kepadanya merupakan tradisi bagi wangsa Mataram.
“Hingga abad ke-20, dua kali setahun, Susuhunan Suråkartå menyuruh orang mengambil api dari lampu di atas makamnya untuk menyalakan lampu di muka ruang-sucinya (kobongan, patanèn) sendiri, di bagian keraton yang paling dalam. Kalau api Seséla ini tiba di Suråkartå dengan arak-arakan yang khidmat, banyak pula pangéran memanfaatkan kesempatan itu untuk menyalakan lampu mereka,” tulis de Graaf dan Pigeaud.[30]
Menurut keduanya, ada kemungkinan menghubungkan atau paling tidak membandingkan cerita api surga ini dengan pandangan Hindu-Jåwå dari zaman pra-Islam mengenai apa yang dikatakan oleh Dr. B.J.O. Schrieke: “asas kekuasaan Syiwa yang berkilauan” dan F.D.K. Bosch: “lingga Syiwa yang memancarkan sinar.”
(6) Imam Periode Awal
CERITA TRADISI sejarah Banten Hikajat Hasanoeddin memuat kisah imam Masjid Demak pada perempat terakhir abad ke-15 dan dalam perempat pertama abad ke-16. Berikut ini daftar kelima imam pertama tersebut.
- Pangéran Bonang, putra Pangéran Råhmat, adalah imam pertama Masjid Demak. Ia dipanggil oleh Sultån pertama Demak, Radèn Patah. Ia menjabat sesudah tahun 1490 sampai sebelum 1506/1512 (?), kemudian meletakkan jabatan. Ia mula-mula pergi ke Karang Kemuning, Bonang, lalu Tuban, tempat ia meninggal. Ia diberi nama Pangéran Makdum Ibråhim dan dijuluki Pangéran Wadat Anyåkråwati, yang konon hidup membujang atau sedikit-dikitnya tidak meninggalkan anak.[31]
- Makdum Sampang ialah imam kedua Masjid Demak. Ia menjabat dari tahun 1506/1512 sampai 1515 (?) atas panggilan Radèn Patah. Ia suami cucu Nyai Gedhé Pancuran. Ayahnya berasal dari Måjåpahit. Selama beberapa waktu, ia tinggal di rumah ipar perempuannya, Nyai Pembarep, juga cucu Nyai Gedhé Pancuran, dan janda Kalipah Husain, ulama dari Sabrang. Konon, mereka tinggal di Undung, dekat Kudus sekarang. Dari situ, Makdum Sampang pindah berturut-turut ke Suråbåyå, Tuban, dan Demak, juga selalu menjabat imam. Ia meninggalkan Tuban, yang adipatinya masih setia kepada raja Måjåpahit. Karena itu, ia mau memenuhi panggilan Radèn Patah untuk menjadi imam Masjid Demak. Wafat dalam usia lanjut, ia dimakamkan di barat masjid itu.[32] Nyai Gedhé Pancuran, nama julukan berdasarkan tempat tinggalnya, adalah putri Pangéran Råhmat dari Ngampèl Dentå. Dia kawin dengan Pangéran Karang Kemuning, ulama dari Atas Angin di barat, mungkin ia berasal dari Melayu, India, atau Arab, yang bernama asli Ibråhim. Karang Kemuning itu tempat kedudukan Aryå Timur, raja Jepårå. Pangéran Atas Angin itu konon anak Pangéran Bonang. Ia pergi ke Suråbåyå dan wafat, dimakamkan dekat mertuanya, Pangéran Råhmat. Janda dan keluarganya pergi ke Tuban, kediaman Pangéran Bonang. Dia menetap di Pancuran. Dia meninggal di Suråbåyå dan dimakamkan dekat ayah dan suaminya.[33]
- Imam ketiga Masjid Demak ialah Ki Gedhèng Pembayun ing Langgar. Menggantikan ayahnya, Makdum Sampang, Pembayun menjabat dari tahun 1515 sampai kira-kira sebelum tahun 1521 (?). Kemudian, bersama ibunya, ia pindah ke Jepårå untuk menjadi imam di sana. Ibu dan anak ini meninggal di sana dan dimakamkan di gunung keramat Dånå Råjå.[34]
- Pangulu Råhmatullåh dari Undung, dekat Kudus, dipanggil oleh Adipati Sabrang Lor --yang disebut Paté Unus oleh sumber Portugal-- dari Jepårå untuk menjadi imam keempat Masjid Demak sebelum tahun 1521 (?) sampai kira-kira tahun 1524 (?). Ia sepupu pendahulunya dari pihak ibu. Ia anak Nyai Pembarep, ipar Makdum Sampang. Ia gugur “dalam pertempuran” dan dimakamkan dekat Masjid Demak, di samping pamannya itu.[35]
- Pangéran Kudus atau Sunan Kudus dipanggil dan dilantik oleh Syaikh Nurullåh yang kelak digelari Sunan Gunung Jati pada kira-kira tahun 1524 (?) menjadi imam kelima Masjid Demak.[36] Wali yang kemudian tinggal di Kudus ini, menurut hikayat tersebut, adalah keturunan kelima Sunan Ampèl, tetapi buku silsilah raja Mataram, Sadjarah Dalem, menyebutnya empat.[37] Sunan Kudus juga dianggap sebagai salah satu nenek moyang para raja Mataram dari garis ibu. Putri keturunannya diperistri oleh Susuhunan Paku Buwånå III di Suråkartå (k. 1749-1788).[38] Perkawinan ini dipandang sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan keturunan raja Mataram dengan para wali.[39] Tokoh yang juga disebut Pandhitå Råbbani ini, konon, putra imam keempat. Ia memperistri putri Kiai Gedhé Kali Podang, anak Bupati Terung yang sudah ditaklukkan dan masuk Islam, dan putri Adipati Kanduruwan, yang mungkin masih kerabat Sultan Demak. Karena itu, ia punya hubungan darah dengan kalangan bangsawan pada zamannya.[40]
“Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Hikayat Hasanuddin ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan ... imam yang pertama itu amat tergantung kepada ... raja Demak, pelindung mereka. Kemudian (mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jemaah di sekitar masjid makin bertambah besar), mereka bersikap agak lebih bebas dan ... punya hubungan dengan pemimpin ruhani kota-kota lain. Yang disebut paling akhir pada daftar kelima imam itu, menurut cerita tradisi Jåwå, memegang ... peran penting dalam merebut kota kerajaan Måjåpahit yang masih kafir,” demikian de Graaf dan Pigeaud.[41]
Mengenai hal ini, keduanya memberikan catatan kaki yang logis dan berguna bagi kita agar bernalar dalam memahami cerita tutur Jåwå. “Pangéran Kudus dalam sejarah Jåwå Tengah pada pertengahan pertama abad ke-16 berperan cukup penting ... Ia juga termasuk Wali Sångå, seperti sanak keluarganya yang lebih tua, yaitu Sunan Ngampèl Dentå dan Sunan Bonang, yang dihormati oleh orang beriman zaman lama di Jåwå Tengah. Musyawarat orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, agaknya tidak sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampèl Dentå dan Sunan Kudus, terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16)” begitu catat keduanya.[42]
(7) Pusaka Mutlak
HINGGA ABAD ke-19, Masjid Agung Demak merupakan pusat kehidupan bagi muslim kuno di Jåwå Tengah. Mengunjunginya dapat disamakan dengan naik haji. Legenda dan cerita tradisi tentangnya itu penting, karena mengungkapkan betapa penting Masjid Demak, yang telah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jåwå Tengah, dalam alam pikiran muslim Jåwå pada abad ke-17-19.
Bahkan, ketika dinasti Demak jatuh pada paro kedua abad ke-16, kesetiaan yang berurat berakar kepada para wali menyebabkan Masjid Demak tetap merupakan pusat kehidupan beragama di Jåwå Tengah. Rasa hormat ini ditunjukkan dalam legenda dan dongeng yang dapat dianggap sastra keagamaan.
“Tinggal Masjid Demak dan makam Sunan Kalijågå sajalah ugeré pusåkå (pusaka mutlak) ing Tanah Jåwå,” kata Susuhunan Paku Buwånå I di Kartåsurå pada tahun 1708. Ia mengakui semua pusaka kerajaan dibawa oleh Sunan Mangkurat III, yang dibuang ke Sri Lanka oleh Kompeni di Batavia. Pada tahun 1710, ia memerintahkan perbaikan masjid itu. Atapnya diganti dengan sirap baru.[43]
Pada tahun 1688, Sunan Amangkurat II menawarkan diri mengucapkan sumpah setia kepada perjanjian yang ditandatanganinya dengan Kompeni di Masjid Demak, menurut sumber Belanda.[44]
(Gus Moen)
[1] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, PT Pustaka Utama Grafiti dan Perwakilan Koninlijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Jakarta, cetakan keempat, edisi revisi, 2001, halaman 33. Buku de Graaf dan Pigeaud ini diterjemahkan dari judul asli De Erste Moslemse Vorstendommen op Java, Studiën Over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de n 16 de Eeuw, seri Verhandelingen van het Koninlijk Instituut (VKI) No. 69, tahun 1974.
[2] K.H. Dachlan Abd. Qohar, Wali Sanga, dalam Ustadz Ibrohim Ghozi, Kenang-kenangan Haul Agung Sunan Ampel Ke-539, Panitia Haul Agung Sunan Ampel, Surabaya, 1989, halaman 38.
[3] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 36.
[4] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 36.
[5] R. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik Episode Keislaman dan Kebangsaan, Millenium Publisher, Jakarta, cetakan pertama, Juni 2000, halaman 59. Buku ini cetak ulang dari yang pertama terbit di Yogyakarta pada tahun 1955.
[6] Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Penerbit Menara, Kudus, cetakan kedua, 1963, halaman 27. Cetakan pertama buku ini tahun 1960.
[7] Dr. H. Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Penerbit Menara, Kudus, cetakan pertama, Maret 2000, halaman 35.
[8] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 33.
[9] Dachlan A.Q. dalam Ibrohim Ghozi, op.cit., 1989, halaman 39.
[10] Ibid.
[11] Solichin Salam, op.cit., 1963, halaman 24-26.
[12] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 36, dengan mengutip S. Wardi, Kumpulan Tjeritera Lama dari Kota Walé, Penerbit Wahju, Demak, 1950, halaman 30.
[13] Atmodarminto, op.cit., Juni 2000, halaman 197.
[14] Mohammad Guntur Shah, S.Ag., dan Martin Moentadhim S.M. (editor), Sit-Lam: Sejarah Cina-Islam di Indonesia, manuskrip, Sanggar Jangka Langit, Bekasi, Januari 2004, halaman 198, dengan mengutip Mangaradja Onggang (M.O.) Parlindungan (ed.), Peranan Orang Tionghoa/Islam/Hanafi di dalam Perkembangan Islam di Pulau Djawa, dalam M.O. Parlindungan, Pongkinangolngolon Sinambela gelar Tuanku Rao. Terror agama Islam madzhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833, Tandjung Pengharapan, Djakarta, 1964.
[15] M. Guntur Shah dan M. Moentadhim S.M. (ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 31 catatan kaki 13.
[16] Drs. Warsito S., Kebatinan dan Islam, dalam Drs. Warsito S., Prof. Dr. H. M. Rasjidi, dan Drs. H. Hasbullah Bakry, S.H., Di Sekitar Kebatinan, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan pertama, 1973, halaman 45.
[17] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 36-37.
[18] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 275-276, dengan mengutip J.J. Meinsma, Babad Tanah Djawi, in proza. Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der Javaansche jaartelling, KITLV, ‘s-Gravenhage, 1874, halaman 48.
[19] M. Guntur Shah, S.Ag., dan M. Moentadhim S.M. (ed.), op.cit., Januari 2004, halaman 198, dengan mengutip M.O. Parlindungan (ed.), op.cit., dalam M.O. Parlindungan, op.cit., 1964.
[20] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 35.
[21] Atmodarminto, op.cit., Juni 2000, halaman 59.
[22] Atmodarminto, op.cit., Juni 2000, halaman 60.
[23] Atmodarminto, op.cit., Juni 2000, halaman 60.
[24] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 33-34.
[25] Atmodarminto, op.cit., Juni 2000, halaman 63-64.
[26] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 34, dengan mengutip surat berbahasa Belanda dalam Dagh Register, 12 November 1703, Arsip Nasional, Jakarta, tidak diterbitkan.
[27] Atmodarminto, op.cit., Juni 2000, halaman 64.
[28] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 34, dengan mengutip S. Wardi, op.cit., 1950, halaman 30.
[29] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 34, dengan mengutip Franz Junghuhn, Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und innere Bauart, II dari 3, Leipzig, 1852-1854, halaman 272-280.
[30] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 34, dengan mengutip Catatan Tambahan Dr. B.J.O. Schrieke pada F.D.K. Bosch, Het Lingga-Heiligdom van Dinaja, dalam TBG, LXV, halaman 227-286.
[31] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 54, dengan mengutip Jan Edel, op.cit., 1938.
[32] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 55, dengan mengutip Jan Edel, op.cit., 1938.
[33] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 55-56, dengan mengutip Jan Edel, op.cit., 1938.
[34] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 55-56, 279 catatan akhir 14, dengan mengutip Jan Edel, op.cit., 1938, serta dengan catatan bahwa keduanya mengaku tergoda untuk menyimpulkan bahwa kepindahan itu terjadi sebelum Adipati Sabrang Lor yang juga menjadi sultan Demak meninggal pada tahun 1521.
[35] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 55-56, dengan mengutip
- Jan Edel, op.cit., 1938.
- Tomé Pires, Suma Oriental, edited and translated by Armando Cortesao, 2 jilid, London, 1944.
[36] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 56, dengan mengutip Jan Edel, Hikayat Hasanuddin, Meppel, 1938.
[37] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 56, dengan mengutip
- Jan Edel, op.cit., 1938, dan
- Ki Padmåsoesastrå, Sadjarah Dalem pangiwå lan panengen, wiwit såkå Kanjeng Nabi Adam toemekå Karaton Soeråkartå lan Ngayogyåkartå Adiningrat, soepåjå …, Semarang-Soerabaia, 1902.
[38] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 109 dengan mengutip Ki Padmåsoesastrå, op.cit., 1902.
[39] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 295 catatan akhir 4, dengan keterangan: Dalam Pigeaud, Literature, jilid I, halaman 150-…, 171, dimuat catatan mengenai keturunan menurut garis kanan (panengen, yang Islam, yang suci) dan yang menurut garis kiri (pangiwå, yang kafir, yang heroik) bagi para raja Mataram.
[40] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 109.
[41] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 57.
[42] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 279 catatan akhir 16.
[43] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 35, dengan mengutip J.J. Meinsma, op.cit., 1874, halaman 566.
[44] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, op.cit., 2001, halaman 35, dengan mengutip H.J. de Graaf, De moord op Kapitein Francois Tack, 8 Februari 1686, Amsterdam, 1935, halaman 42 catatan kaki 4.
Posting Komentar