Imam Al-Ghazali: Musik Itu Sarana Peroleh Gairah Akan Tuhan
DALAM bukunya, Musik dan Gairah, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Music and Ecstasy, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Thusi Al Ghazali (1058-1111) menyatakan, “Gairah diperoleh manusia dengan perantaraan mendengar musik.”
Al
Ghazali menyatakan musik dan nyanyian itu penting untuk mendapatkan
gairah Tuhan. Nyanyian baginya lebih penting ketimbang hanya sekadar
membaca Al-Qur’an. Dengan nyanyi dan musik, lebih cepat diperoleh ilham
kegairahan dan nikmat Tuhan.
Sebagai penyair jenius, ia sangat
menyukai musik yang memberinya inspirasi dalam menulis. “Orang yang tuli
tidak mampu menikmati suara merdu dan notasi musik. Keberadaannya sama
dengan tidak ada. Sekalipun hadir, ia dianggap telah mati selagi hidup,”
katanya dalam bukunya, Al Hikmat fi Makhluqat Allah (Kearifan Makhluk Tuhan), halaman 27.
Menentang Ulama Ortodoks
Yang
sangat menggusarkan Al-Ghazali ialah persoalan yang sering dimunculkan
oleh ulama ortodoks Islam yang membicarakan boleh-tidaknya mendengar
musik dan lagu. Memang, pada masanya dulu, tari perut dengan alunan
musik gambus pernah menghiasi rumah megah orang kaya atau terpandang
sehingga mereka lupa akan kewajiban.
Kecenderungan penyalahgunaan
musik seperti ini tentu saja tergambarkan dalam roman detektif kuno era
persaingan antara Mesir dan Rum, Sayyid Nuruddin wal Jariyatuhu Maryama Az-Zunarah (Pangeran Nurdin dengan Budak Beliannya, Maria Pembordir).
Imam
yang dijuluki Hujjatul Islam itu sendiri membatasi diri dari yang
dianggap dibolehkan. Ia mengatakan mendengar musik dan lagu itu tidak
menjadi masalah, karena mendatangkan hiburan, asalkan tidak membawanya
ke perbuatan dosa.
Untuk kesehatan jiwa dan pandangan ke depan, ia
menegaskan pendapatnya bahwa tidak mungkin dilarang mendengarkan musik
sekadar untuk kesenangan, sebab tak seorang pun menganggap kicauan
bul-bul atau burung lain diharamkan. Lagi pula, tidak ada perbedaan
antara kerongkongan yang satu dengan yang lain, antara yang hidup dan
yang mati. Jadi, kita mesti menganalogikan suara bul-bul dengan suara
lain, khususnya suara manusia dan instrumen musik.
Ia mengutip kebiasaan Nabi Dawud (David) alayhi salam,
yang berdasarkan legenda Orpheus, meratapi diri sendiri dengan membaca
Mazmur (Psalms) dengan suara merdu, menjadikan orang, jin, binatang
liar, dan burung biasa berkumpul di sekeliling Dawud mnendengarkan
suaranya.
Menurut Al-Ghazali, unta yang secara alami terlihat
bodoh sangat tertarik pada lantunan nyanyian unta yang menyebabkan beban
berat yang ditanggung terasa ringan. Mendengar musik mampu memberikan
tambahan tenaga yang membuat perjalanan jauh seakan-akan pendek dan
menghasilkan hiburan yang menyejukkan.
Ketika sang pawang
melantunkan nyanyian pemanggil, sang unta pun menggeliatkan lehernya,
lalu melangkah cepat, sampai-sampai beban dan pelana di punggungnya
terguncang. Bisa jadi, saking gembiranya terangsang suara musik, unta
tersebut mati kecepatan langkah dan keberatan beban.
Nyanyian Unta sang Budak
Al-Ghazali pernah pula menceritakan kisah Abu Bakar Muhammad
Daud Al-Dinawari yang lebih dikenal sebagai Ar-Raqqi. Dalam perjalanan
di padang pasir, Ar-Raqqi berjumpa dengan kafilah Arab. Ia diterima
dengan ramah dan diajak masuk ke tendanya.
Di situ, ia melihat
seorang budak hitam, sejumlah unta mati di dekatnya, dan satu lagi unta
yang lemah, kurus, dan hampir mati. Budak itu memohon, “Sebagai tamu
kami, Anda berhak menyampaikan permintaan tentang saya kepada tuan saya,
sebab ia menghormati tamunya dan tidak mungkin menolak permintaan Anda
yang akan menjadi tanda ikatan.”
Saat makanan dihidangkan, Abu Bakar menolak. “Aku tidak akan makan sampai aku tahu siapa budak ini.”
“Budak
ini telah membuatku jatuh miskin dan menghancurkan semua milikku,”
jawab tuan rumah. “Ia punya suara merdu, indah. Saya hidup dari
menyewakan unta. Dengan kemerduan lantunan suara itu, ia bisa membuat
unta yang sarat beban mampu menempuh perjalanan yang semestinya tiga
hari menjadi hanya satu malam saja. Tapi, ketika beban diturunkan, semua
unta mati, kecuali yang satu ini. Tetapoi, Anda adalah tamuku dan dermi
Anda, saya akan berikan apa pun yang Anda minta.”
Abu Bakar pun
menyatakan ingin mendengar suara budak itu. Pada pagi hari, ia
menyanyikan lagu ketika unta sedang minum di sumur di dekatnya. Unta itu
pun marah dan menggigit talinya. Abu Bakar menelungkupkan wajahnya
karena ia pernah mendengarkan suara yang menakjubkan itu.
Begitulah,
musik berpengaruh terhadap makhluk yang bodoh seperti unta sekali pun.
Orang yang tidak tergerak oleh musik bagaikan orang yang memiliki
kekurangan, paling tidak ia kurang cita rasa, lebih tidak peka ketimbang
unta.
Musik juga mampu memberikan penyegaran hati dan mencegah
godaan dan kegelisahan. Musik juga menguatkan kehidupan spiritual.
Paling tidak itulah yang dialami Al-Ghazali. Untuk pemahaman lebih jauh,
Anda dapat membaca buku Margaret Smith, M.A., Ph.D., Al-Ghazali The Mystic (Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali), Penerbit Riora Cipta, Jakarta, cetakan pertama, 2000.
Walau
bagaimanapun, tingkat tertinggi dari mendengarkan musik, kata
Al-Ghazali, ialah mendengarkan nyanyian jiwa dan Tuhan sendiri,
menghubungkan diri dengan Tuhan, membangkitkan rindu dan cinta
kepada-Nya, sehingga seolah-olah Tuhan menampakkan Diri, dan sang sufi
pun dalam keadaan ecstasy (mabuk).
Bandingkan pernyataan ini dengan apa yang dinyatakan penulis modern R. Heber-Newton dalam bukunya, The Mysticism of Music (Mistikisme Musik), halaman empat, yang menganggap musik sebagai indikasi Tuhan beserta kita.
Menghapus dan memadamkan musik, katanya, sama halnya dengan memadamkan cahaya Tuhan (nurullah) yang ada pada diri kita. Musik, menurut Heber-Newton, dapat mengantarkan kita kepada Tuhan. (*/M-1)
Home »
krida dan seni tradisi
» Imam Al-Ghazali: Musik Itu Sarana Peroleh Gairah Akan Tuhan
Imam Al-Ghazali: Musik Itu Sarana Peroleh Gairah Akan Tuhan
Written By Unknown on Rabu, 30 Oktober 2013 | 22.19
Label:
krida dan seni tradisi
Posting Komentar