PENGANTAR DISKUSI (Bagian Pertama: Prelude)
ADA ENAM HAL yang dibicarakan di sini: Islam, Jåwå, budaya, sejarah,
akulturasi, dan nilai. Yang pertama-tama harus didudukkan ialah budaya. Apa itu
kebudayaan? Ada dua definisi yang mestinya tak terpisahkan:
a. “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat,” serta
b. “keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman
tingkah lakunya.”*1)
Dengan demikian, dari enam definisi nilai, saya hanya akan memakai dua
takrif saja:
a. “sifat (hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan,” dan
b. “sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.” *2)
Lantas, apa itu akulturasi? Paling tidak ada tiga pengertian
akulturasi:
a. “percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan
memengaruhi,”
b. “proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat,
sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing
itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu,” dan
c. “proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara
anggota dua masyarakat bahasa, dsitandai oleh peminjaman atau
bilingualisme.”*3)
Berikutnya ialah Islam, apakah itu? Saya akan mengambil definisi yang
paling umum dalam ensiklopedia:
* “Islam berasal dari kata Arab salam yang berarti: ‘pasrah’, ‘damai’,
‘selamat’. Ajaran agama Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad shållÅllåhu
‘alayhi wa al-salam (s.a.w. = semoga Ållåh memberkahinya dan menganugerahkan
kedamaian kepadanya) antara tahun 610 sampai dengan 632 M. Islam merupakan
ajaran wahyu yang terakhir sebelum kehidupan dunia ini berakhir. Nama ajaran
ini dinyatakan dalam ayat Al-Qurän (5:3) yang diwahyukan pada haji wada’
(perpisahan). ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama-Ku untukmu dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku merestui Islam ini sebagai agama
bagimu.’ Selain digunakan sebagai nama agama, kata islam juga digunakan dalam
pengertian teknis bersama dua istilah lain, yakni islam, iman, dan ihsan,
ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam istilah ini, islam
mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang mencakup segala macam
perbuatan bajik, lima rukun islam, dan ketundukan pada syari’at.”*4)
Yang terakhir yang paling rumit: apa itu Jåwå? Ada dua pengertian
menurut kamus:
a. “suku bangsa yang berasal atau mendiami sebagian besar Pulau Jåwå,”
dan
b. “bahasa yang dituturkan oleh suku Jåwå.”*5)
Takrif ini terlalu umum? Tentang ini, Niels Mulder (1935-....), doktor
ilmu sosial Universitas Amsterdam dengan disertasi Kebatinan dan Kehidupan
Sehari-hari di Jawa Dewasa Ini, menulis dengan lebih jitu: “... Menjadi orang
Jåwå adalah menjadi berbudaya. Itu artinya mengetahui... cara beradab dan
sepenuhnya sadar akan posisi sosial. Seorang Jåwå yang ‘diakui’ adalah sosok
yang tahu tatanan.
Oleh karena itu, seorang anak dianggap durung Jåwå, belum menjadi orang
Jåwå, berbudaya. Anak adalah pribadi yang belum mengerti cara dan tempatnya
dalam tatanan. Bagi orang Jåwå, budaya bukanlah... pengertian antropologi yang
kabur. Budaya mengandung makna menjadi beradab, dengan kata lain, bijaksana,
menyadari diri, tempat, dan tata cara; menyadari diri dan orang lain. Agar
berbudaya berarti harus ‘lulus’ dari durung Jåwå menuju wis Jåwå (sudah menjadi
orang Jåwå). Harus tahu dan menunjukkan tata cara yang patut, berbicara dengan
kata yang tepat, menjaga eksistensi yang teratur, dan menghormati hierarki
sosial. ... Sejauh… anak masih dianggap durung Jåwå, ... mereka boleh melakukan
apa saja sesuka hati. Mereka dirawat dan dibesarkan dengan kesabaran, dan
dilindungi dari pengalaman yang menakutkan. Toleransi dan kesabaran, pada
gilirannya, melindungi... orang di sekeliling mereka dari kemarahan karena
temperamen dan tingkah laku… anak yang belum beradab. Sedikit demi sedikit…
anak menjadi ‘manusia’, menjadi orang Jåwå. Dalam proses itu, mereka harus
belajar membedakan antara diri mereka d...an kepentingan keluarga dan komunitas
yang lebih luas. Pada akhirnya, individu dan masyarakat terlindung satu sama
lain oleh internalisasi semua aturan dan ketentuan yang dianggap bisa menjamin
bentuk sosial yang tepat itu, tanpa pandang kebijaksanaan personal.”*6)
Paling tidak ada sepuluh “nilai lama” yang sudah dimiliki orang Jåwå:
1. wayang,
2. gamelan,
3. metrik (cara dan alat penimbang),
4. batik,
5. logam (dan cara mengolahnya),
6. sistem uang,
7. ilmu pelayaran (men kent betrekkelijk veel scheepvaartkunde),
8. astronomi (ilmu perbintangan),
9. penanaman padi basah, dan
10. sistem pemerintahan yang teratur (een zeer geordende staat van
bestuur).*7)
Sayang, keterangan ini tanpa tahun. Karena itu, mari kita masuk alam
sejarah yang dengan tegas membuktikan bahwa pada awalnya bagi Pulau Jåwå orang
Jåwå itu juga orang asing. Anda tidak percaya?
Catatan kaki:
*1) Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat (KBBI-4), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama, 2008,
halaman 215 kolom 1.
*2) Tim Redaksi, op.cit., 2008, halaman 963 kolom 1.
*3) Tim Redaksi, op.cit., 2008, halaman 33 kolom 1.
*4) Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, cetakan pertama, Desember 1996, halaman 172. Cyril Glasse itu sarjana
“muslim Barat yang saleh” dari University of Columbia New York (UCNY).
*5) Tim Redaksi, Tim Redaksi, op.cit., 2008, halaman 571 kolom 2.
*6) Selengkapnya lihat Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di
Indonesia, LKiS, Yogyakarta, cetakan pertama, Januari 2001, halaman 63. Buku
ini diterjemahkan oleh Noor Cholis dan disunting oleh M. Imam Aziz dari judul
asli Mysticism in Java: Ideologi in Indonesia, The Pepin Pres BV, Amsterdam,
Belanda.
*7) B.K.R.T. Hertog Djojonegoro, “Keris sebagai Objek Penjelidikan Ilmu
Kebudajaan”, dalam majalah Al-Djami’ah, No. 1 - Djanuari 1966, Tahun Kelima,
halaman 34 dari 30--50, dengan mengutip tulisan Prof. J. Brandes dalam terbitan
berkala Tijdschrift Batavias Genootschap (TBG), jilid 32, 1889. Hertog
Djojonegoro saat itu ketua Jurusan Ilmu Budaya/Ilmu Masyarakat pada Fakultas
Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Majalah
Al-Djami’ah diterbitkan oleh PT Al-Falah yang dipimpin oleh Karkono
Partokusumo.
Posting Komentar