Home » » ISLAM DAN KEBUDAYAAN JÅWÅ: SEJARAH AKULTURASI DAN SEJARAH NILAI

ISLAM DAN KEBUDAYAAN JÅWÅ: SEJARAH AKULTURASI DAN SEJARAH NILAI

Written By Unknown on Minggu, 06 Oktober 2013 | 08.25

PENGANTAR DISKUSI (Bagian Pertama: Prelude)

ADA ENAM HAL yang dibicarakan di sini: Islam, Jåwå, budaya, sejarah, akulturasi, dan nilai. Yang pertama-tama harus didudukkan ialah budaya. Apa itu kebudayaan? Ada dua definisi yang mestinya tak terpisahkan:

a. “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat,” serta
b. “keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.”*1)

Dengan demikian, dari enam definisi nilai, saya hanya akan memakai dua takrif saja:

a. “sifat (hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan,” dan
b. “sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.” *2)

Lantas, apa itu akulturasi? Paling tidak ada tiga pengertian akulturasi:

a. “percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan memengaruhi,”
b. “proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu,” dan
c. “proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa, dsitandai oleh peminjaman atau bilingualisme.”*3)

Berikutnya ialah Islam, apakah itu? Saya akan mengambil definisi yang paling umum dalam ensiklopedia:

* “Islam berasal dari kata Arab salam yang berarti: ‘pasrah’, ‘damai’, ‘selamat’. Ajaran agama Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad shållÅllåhu ‘alayhi wa al-salam (s.a.w. = semoga Ållåh memberkahinya dan menganugerahkan kedamaian kepadanya) antara tahun 610 sampai dengan 632 M. Islam merupakan ajaran wahyu yang terakhir sebelum kehidupan dunia ini berakhir. Nama ajaran ini dinyatakan dalam ayat Al-Qurän (5:3) yang diwahyukan pada haji wada’ (perpisahan). ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama-Ku untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku merestui Islam ini sebagai agama bagimu.’ Selain digunakan sebagai nama agama, kata islam juga digunakan dalam pengertian teknis bersama dua istilah lain, yakni islam, iman, dan ihsan, ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam istilah ini, islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang mencakup segala macam perbuatan bajik, lima rukun islam, dan ketundukan pada syari’at.”*4)

Yang terakhir yang paling rumit: apa itu Jåwå? Ada dua pengertian menurut kamus:

a. “suku bangsa yang berasal atau mendiami sebagian besar Pulau Jåwå,” dan
b. “bahasa yang dituturkan oleh suku Jåwå.”*5)

Takrif ini terlalu umum? Tentang ini, Niels Mulder (1935-....), doktor ilmu sosial Universitas Amsterdam dengan disertasi Kebatinan dan Kehidupan Sehari-hari di Jawa Dewasa Ini, menulis dengan lebih jitu: “... Menjadi orang Jåwå adalah menjadi berbudaya. Itu artinya mengetahui... cara beradab dan sepenuhnya sadar akan posisi sosial. Seorang Jåwå yang ‘diakui’ adalah sosok yang tahu tatanan.
Oleh karena itu, seorang anak dianggap durung Jåwå, belum menjadi orang Jåwå, berbudaya. Anak adalah pribadi yang belum mengerti cara dan tempatnya dalam tatanan. Bagi orang Jåwå, budaya bukanlah... pengertian antropologi yang kabur. Budaya mengandung makna menjadi beradab, dengan kata lain, bijaksana, menyadari diri, tempat, dan tata cara; menyadari diri dan orang lain. Agar berbudaya berarti harus ‘lulus’ dari durung Jåwå menuju wis Jåwå (sudah menjadi orang Jåwå). Harus tahu dan menunjukkan tata cara yang patut, berbicara dengan kata yang tepat, menjaga eksistensi yang teratur, dan menghormati hierarki sosial. ... Sejauh… anak masih dianggap durung Jåwå, ... mereka boleh melakukan apa saja sesuka hati. Mereka dirawat dan dibesarkan dengan kesabaran, dan dilindungi dari pengalaman yang menakutkan. Toleransi dan kesabaran, pada gilirannya, melindungi... orang di sekeliling mereka dari kemarahan karena temperamen dan tingkah laku… anak yang belum beradab. Sedikit demi sedikit… anak menjadi ‘manusia’, menjadi orang Jåwå. Dalam proses itu, mereka harus belajar membedakan antara diri mereka d...an kepentingan keluarga dan komunitas yang lebih luas. Pada akhirnya, individu dan masyarakat terlindung satu sama lain oleh internalisasi semua aturan dan ketentuan yang dianggap bisa menjamin bentuk sosial yang tepat itu, tanpa pandang kebijaksanaan personal.”*6)

Paling tidak ada sepuluh “nilai lama” yang sudah dimiliki orang Jåwå:

1. wayang,
2. gamelan,
3. metrik (cara dan alat penimbang),
4. batik,
5. logam (dan cara mengolahnya),
6. sistem uang,
7. ilmu pelayaran (men kent betrekkelijk veel scheepvaartkunde),
8. astronomi (ilmu perbintangan),
9. penanaman padi basah, dan
10. sistem pemerintahan yang teratur (een zeer geordende staat van bestuur).*7)

Sayang, keterangan ini tanpa tahun. Karena itu, mari kita masuk alam sejarah yang dengan tegas membuktikan bahwa pada awalnya bagi Pulau Jåwå orang Jåwå itu juga orang asing. Anda tidak percaya?

Catatan kaki:
*1) Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (KBBI-4), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama, 2008, halaman 215 kolom 1.
*2) Tim Redaksi, op.cit., 2008, halaman 963 kolom 1.
*3) Tim Redaksi, op.cit., 2008, halaman 33 kolom 1.
*4) Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, cetakan pertama, Desember 1996, halaman 172. Cyril Glasse itu sarjana “muslim Barat yang saleh” dari University of Columbia New York (UCNY).
*5) Tim Redaksi, Tim Redaksi, op.cit., 2008, halaman 571 kolom 2.
*6) Selengkapnya lihat Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, LKiS, Yogyakarta, cetakan pertama, Januari 2001, halaman 63. Buku ini diterjemahkan oleh Noor Cholis dan disunting oleh M. Imam Aziz dari judul asli Mysticism in Java: Ideologi in Indonesia, The Pepin Pres BV, Amsterdam, Belanda.
*7) B.K.R.T. Hertog Djojonegoro, “Keris sebagai Objek Penjelidikan Ilmu Kebudajaan”, dalam majalah Al-Djami’ah, No. 1 - Djanuari 1966, Tahun Kelima, halaman 34 dari 30--50, dengan mengutip tulisan Prof. J. Brandes dalam terbitan berkala Tijdschrift Batavias Genootschap (TBG), jilid 32, 1889. Hertog Djojonegoro saat itu ketua Jurusan Ilmu Budaya/Ilmu Masyarakat pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Majalah Al-Djami’ah diterbitkan oleh PT Al-Falah yang dipimpin oleh Karkono Partokusumo.
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit