Home » » Masihkah Kita Berbudi Bawalaksana?

Masihkah Kita Berbudi Bawalaksana?

Written By Unknown on Kamis, 03 Oktober 2013 | 11.04

Oleh MmeSeM

PADA zaman yanag katanya sudah direformasi sekarang ini, hampir setiap detik kita disuguhi berita manusia berbuat jahat. Ada pembunuhan, perkosaan, penipuan, dan yang paling menjijikkan: korupsi. Yang terakhir ini oleh pejabat tinggi lagi.

Tak ada lagi rasanya sifat ksatria dan … kejujuran. Sepertinya kita kena tulah reformasi. Begitu? Reformasi itu terdiri atas dua kata: re (kembali) dan formasi (bentuk). Repotnya, dalam kata reformasi (pembentukan kembali), terkandung juga pengertian: secara radikal. Hasilnya? Tak pelak lagi, ya radikalisme itu.

Mungkin ini karena tak pernah ada lagi pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Tak ada lagi dalang dalam arti ngudhal piwulang (Jåwå: membentangkan ajaran) untuk hidup yang baik dan menjunjung tinggi sifat ksatria.

Dulu, pada dasawarsa 1950–1960-an, saat di republik ini sedang digiatkan nation and character building (baca: pembangunan watak dan jatidiri bangsa), pada malam hari, kita masih bisa menikmati pertunjukan wayang.

Ada dua kalimat yang selalu diucapkan dalang. Yang pertama raja harus ber-budi båwåleksånå (untuk mudahnya, baca: menepati sumpah jabatannya). Yang kedua sesanti: sabdå pandhitå ratu tan kenå wola-wali (perkataan raja yang juga pendeta tak bisa dijilat lagi).

Sekarang? Esuk dhelé soré témpé, kata orang Jåwå: pagi masih kedelai, sore sudah menjadi tempe. Bicaranya tidak bisa dipegang, kata orang Betawi. Siapa yang begitu? Tak perlu ditunjukkan lagi, televisi saksinya.

(1) Dari Kamus sampai Dalang
SECARA SEDERHANA, båwåleksånå itu “satunya kata dengan perbuatan”. Tetapi, di dalamnya, terkandung pengertian: jujur, setia, dan adil. Ini kata Ir. Sujamto, orang Sukoharjo yang pernah menjadi wakil gubernur Jåwå Tengah pada era 1990-an.

Dalam kamus Bausastra Jawa-Indonesia, S. Prawiroatmodjo menyatakan båwålaksånå itu kata dari bahasa Kawi (Jåwå kunå) yang bermakna: “menepati apa katanya (ucapannya)”. W.J.S. Poerwadarminta, dalam kamus Kawi-Djarwa, juga menyatakan båwålaksånå itu netepi kang dadi oedjare (menepati perkataannya).

Råmå P.J. Zoetmulder, dalam Old Javanese-English Dictionary, malah memberi kita teka-teki: bhawalaksana itu kata Sanskerta yang berarti status and practice (or: particular marks of status) yang bermakna status dan pelaksanaan (atau tanda-tanda tertentu dari status).

Dalam buku Sangkan Paraning Dumadi, Sunarno Sisworahardjo mengartikan båwåleksånå itu biså madeg lan biså ngleksanani såkå ing kawitané pisan (dapat mandiri dan dapat melaksanakan sejak dari awal).

Bingung ya? Untuk memudahkan Anda, artikan saja båwåleksånå itu “tepat janji”.
Lantas, yang sesanti sabdå pandhitå ratu tak kena wola-wali itu berarti apa pula?

Ki Dalang Anom Suroto suka mengucapkannya lebih puitis, “Sabdå brahmånå råjå, brahmånå pandhitå, råjå ratu. Pangandikané brahmånå lan nåtå datan kenå wola-wali, pindhå wé kresnå tumètès ing påtrå setå, yekti datan kenå dèn icali.” (Sabda brahmana raja. Sabda ucapan, brahmana pendeta, raja datu. Ucapan brahmana dan raja tidak dapat dijilat lagi, ibarat tinta hitam menetes di kertas putih, pasti tidak dapat dihapus lagi).

(2) Apa yang Ada di Balik Konsep itu?
SEBENARNYA SECARA konseptual, pandhitå ratu itu merupakan kesatuan pengertian yang utuh, tidak boleh ditambahkan kata “dan” di antara keduanya. Kenapa? Konsep mengenai kepala negara ideal ini sebetulnya sangat kunå. Dalam Alkitab juga sudah ada.

Gagasan ini dipraktikkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. sewaktu membentuk negara Madinah di kota yang semula bernama Yatsrib pada tahun 623 M. Dibuatnya perjanjian dengan rakyat Madinah yang multiras. Pakta untuk hidup berdampingan secara damai ini lebih dikenal sebagai Piagam Madinah. Rasul s.a.w. memerintah sebagai kepala negara. Beliau nabi yang kepala negara, kepala negara yang nabi.

Oleh filsuf abad pertengahan Abu Nasar Muhammad al-Faråbi (h. 870–950 M), yang sayangnya di Indonesia lebih dikenal sebagai ahli musik, dikembangkan menjadi teori pembentukan madinat al-fadlilah (model city, negara utama). Ia mensyaratkan kepala negara ideal juga haruslah filsuf. Ini yang kemudian berkembang menjadi konsep pendeta raja (pandhitå ratu).

 Mungkinkah sekarang ini kita memilih presiden yang nabi? “Sekiranya… kepala negara yang demikian, yang seharusnya menjadi wakil yang suci, tidak ada,… harus diadakan pemilihan untuk mendapatkan beberapa orang yang ahli, yang masing-masing cakap dalam lapangannya. Dengan kerja sama antara mereka, dapatlah memperbaharui masyarakat dan mendatangkan pemerintahan yang baik,” tulis Al-Faråbi.

Apa maksudnya? “Tujuan kepala negara haruslah melatih rakyatnya mencapai kebahagiaan yang sejati dari hidup yang lain (akhirat),” tulisnya lagi. “Di dalam masyarakat, masing-masing pribadi harus menyadari kekurangannya, dengan (cara) membersihkan dan membangunnya kembali, barulah tercapai kesempurnaan.”

Itulah pendirian politik Al-Faråbi yang ditulisnya panjang-lebar dalam bukunya, Mabadi aråi ahli al-Madinah al-Fadlilah (Dasar-Dasar Ideologi Warga Negara Utama) yang usai dikarang di Mesir pada 337 H. Sikap itu didasarkan pada “konsepsi usaha bersama manusia mencapai kebahagiaan tertinggi, dengan pikiran dan tindakan pribadi yang suci, dan dengan kerja sama masyarakat, harmoni, dan semangat simpati.”

Sayang, mayoritas bangsa Indonesia sekarang, tampaknya tak ingat bahwa, pada Sang Saka Dwiwarna, bendera kita, tak hanya ada warna merah yang berani, melainkan juga ada warna putih yang bermakna suci.

Sanggar Jangka Langit, Sabtu 12 April 2008.09:19:44. (MMeSeM)
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit