Home » » Siapa Samin Surasentika itu?

Siapa Samin Surasentika itu?

Written By Unknown on Kamis, 03 Oktober 2013 | 11.12

JAUH BERBEDA dari yang disebutkan Dr. C.L.M. Penders bahwa Samin Suråsentikå itu petani buta huruf, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, sewaktu masih menjabat dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya, menyebutnya “Samin Surå(se)ntikå… intelektual desa yang tinggal di Desa Klopodhuwur, Blora, …”[1]

Tidak hanya itu, bagi Profesor Suripan, Samin itu juga sesepuh (pemimpin yang dihormati), guru kebatinan, dan pemimpin pergerakan melawan pemerintah Belanda kolonial. Ia juga raja Tanah Jåwå yang adalah Ratu Adil Heru Cåkrå dengan gelar Prabu Panembahan Suryångalam. Patih dan senapatinya, Suryångalågå, adalah kamituwå Desa Bapangan, Kabupatèn Blora. Kata warga Samin di Tapelan, Samin menjadi raja bukan atas kemauannya sendiri, tetapi atas permintaan rakyatnya, terutama dari Desa Tapelan, Ploso Kedhirèn, dan Tanjungsari.[2]

Profesor yang populer sebagai ahli seni kentrung ini mendasarkan keterangannya tidak hanya pada tuturan masyarakat Samin di Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupatèn Bojonegoro, Jåwå Timur, tempat Samin menyebarkan ajarannya pada kesempatan awal, melainkan juga rekaman hasil penelusuran oleh mereka yang disebutnya para peneliti Gègèr (Pergerakan) Samin. Selain Victor T. King dan The Siauw Giap, mereka ini termasuk Harry J. Benda, Lance Castles, A. Pieter E. Korver, Onghokham, dan R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo.[3]

Menurut Suripan, Samin Suråsentikå lahir di Desa Ploso Kedhirèn, Kecamatan Randublatung, Kabupatèn Blora, Jåwå Tengah, pada tahun 1859, dengan nama Radèn Kohar. Ia lima bersaudara, seperti Pandhåwå dalam pewayangan, tepatnya dalam kisah Måhåbharåtå, semuanya laki-laki.[4]

Bagi pemerintah Hindia Belanda, ayahnya, Radèn Suråwijåyå –orang Tapelan menyebutnya Samin Sepuh–, adalah bråmåcorah (residivis), penjahat kambuhan yang keluar-masuk bui atau penjara, tetapi bagi wong cilik (orang kecil) yang miskin di daerah pedesaan di wilayah Bojonegoro, ia itu pencuri budiman, semacam Robin Hood di hutan Sherwood di Inggris.[5]

Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin, identitas yang bernafas kerakyatan. Kemudian, setelah menularkan ajarannya –dalam istilah Profesor Suripan “menjadi guru kebatinan”– namanya ditambah menjadi Samin Surå(se)ntikå, tetapi anak-didiknya lebih suka memanggilnya Kiai Samin Suråsentikå atau Ki Samin saja.[6]

Ia punya pertalian darah dengan Kiai Keti di Rajègwesi (kini: Bojonegoro), dan juga Pangéran Kusumaningayu, yang dalam tradisi Jåwå Timur disebut Kanjeng Pangéran Aryå (K.P.A.) Kusumåwinahyu, nama lain Radèn Mas Adipati (R.M.A.) Bråtådiningrat yang memerintah Kadipatèn Sumåråtå, kini menjadi daerah kecil di Kabupatèn Tulungagung, Jåwå Timur, pada tahun 1802-1826.[7]

Profesor Suripan mendasarkan keterangannya tentang silsilah Ki Samin pada buku pertama dari lima kitab pusaka peninggalannya, yang secara kumulatif disebut Serat atau Layang Jamus Kalimåsådå.[8] Pakar yang lahir di Blora 5 Februari 1940 ini memang beruntung, berbeda dari peneliti lain mengenai Saminisme, ia tidak hanya berhasil mengumpulkan tradisi lisan dari anak-keturunan penganut kepercayaan ini di Tapelan serta desa lain di Blora dan Bojonegoro, belakangan juga Rembang, melainkan juga tradisi tulis di kalangan mereka.

Memang, menurut warga Samin yang diwawancarainya di Tapelan, pada waktu Ki Samin disélong[9] (istilah lokal untuk “ditangkap, ditahan, dan dibuang ke luar Jåwå”), semua bukunya dirampas dan dibakar oleh Belanda. “Untung, beberapa murid tepercaya Ki Samin masih menyimpan salinan buku tersebut, meski anak-cucunya kini tak dapat membacanya,” kata warga Samin itu.

Buku pertama dari lima kitab yang oleh penganut Saminisme dianggap keramat itu ialah Serat Punjer Kawitan atau “buku perihal silsilah keluarga yang pokok atau utama”. Isinya pertalian keluarga adipati di Jåwå Timur serta raja dan wali terkenal di Tanah Jåwå. Dari segi kronologis, silsihan keluarga Ki Samin ini dapat dikatakan merupakan “penjungkirbalikan” genealogi yang terdapat dalam Babad Tanah Djawi.

Pada tahun 1975, Profesor Suripan menemukan manuskrip (naskah tulisan tangan berhuruf Jåwå ukuran folio) Layang Punjer Kawitan itu dimiliki oleh Samsuri (70 tahun), penganut Saminisme di Desa Tapelan. Menurut Samsuri, tidak semua penganut ajaran tersebut dapat membaca Serat Punjer Kawitan, sebab banyak di antara mereka buta aksara Jåwå. Bagi mereka ini, Ki Samin mengajar melalui sesorah (ceramah), baik di rumah maupun di tanah lapang, hanya tentang pokok atau inti sari ajarannya saja. Karena itu, ajaran tersebut sampai ke penganut dalam keadaan tidak lengkap dan membingungkan. Hal itu tecermin pada tradisi lisan orang Samin di Desa Tapelan.[10]

Masih menurut Samsuri, murid Ki Samin yang dapat membaca dan menulis aksara Jåwå sajalah yang diperkenankan membaca dan menyalin buku karya Samin Suråsentikå. Dengan jalan itulah, ajaran Samin dapat dipelajari dengan baik oleh para muridnya. Buku salinan ini kemudian tersebar di berbagai daerah Samin.[11]

Sebagai petani, Ki Samin sendiri bukanlah orang miskin. Ia memiliki sawah tiga bau, ladang satu bau, dan sapi enam ekor.[12] Dari senarai bacaannya yang luas dan kemampuannya menyusun ajarannya dalam bentuk tembang måcåpat, dalam pandangan Suripan, Kiai Samin Suråsentikå tidak hanya merupakan intelektual yang tangguh, melainkan juga berhasil menjadikan diri salah satu pujangga Jåwå pasisiran yang hidup setelah Radèn Mas Ngabèhi (R.M.Ng.) Rånggåwarsitå (h. 1802-1873).[13]

Suripan bahkan menyebut Ki Samin penerus tradisi Rånggåwarsitå sebagai apa yang disebutnya “pemberontak zamannya”. Bedanya: pujangga penutup Keraton Suråkartå itu memberontak melalui karyanya, sedangkan Ki Samin memanifestasi diri sebagai tokoh pergerakan. Bagi Suripan, silsilah yang ada dalam Serat Punjer Kawitan membuktikan bahwa Ki Samin itu pangéran atau bangsawan yang menyamar di kalangan rakyat kecil guna menghimpun kekuatan untuk melawan Belanda penjajah dengan “cara yang berbeda”.[14]



(0) Saudara Seperguruan dan Seperjuangan Nåyå Gimbal?

Ada data aneh pada naskah ketik yang tidak diketahui siapa penulis dan kapan pula menulisnya. Manuskrip koleksi Profesor Suripan yang banyak mengandung salah ketik ini menyatakan Suråsentikå itu teman seperguruan dan seperjuangan Nåyå Sentikå dalam Perang Dipånegårå (1825-1830) di Yogyåkartå.

“Pepakem nyariosaken wiwitanipun ing Dhukuh Sumber Wangi kataneman tiyang tetigå ingkang nåmå Nåyå Santikå, tuwin ingkang garwå Dyah Ayu Sumarti, tuwin kadang tunggil Båpå Guru tuwin tunggal perjuangan ingkang nama Surå Sentikå. Sedåyå kålå wau bekas prajuritipun Kanjeng Pangéran Dipånegårå.”[15]

(Buku induk menceritakan awal di Dukuh Sumber Wangi ditempatkan tiga orang yang bernama Nåyå Sentikå, bersama istrinya, Dyah Ayu Sumarti, bersama saudara seperguruan dan seperjuangannya yang bernama Surå Sentikå. Semuanya itu bekas prajurit Pangéran Dipånegårå.)

“… Nåyå Sentikå taksih émut nalikå kålå rumiyin dados prajuritipun… Dipånegårå milai tanggal 20 Juli 1825 ngantos tanggal 28 Maret 1830. Nåyå… pisah… milai tanggal 10 Desember 1831. Nåyå Sentikå sakkåncå… sami ngupadi panggesangan lan sami ngungsi dumugi Dhukuh Sumber Wangi… dados jiwå… ngantos dumugi tahun 1855.”[16]

(… Nåyå Sentikå masih ingat saat dulu menjadi prajurit… Dipånegårå mulai tanggal 20 Juli 1825 sampai tanggal 28 Maret 1830. Nåyå… pisah… mulai tanggal 10 Desember 1831. Nåyå Sentikå bersama para sahabatnya… bersama-sama mencari penghidupan dan bersama-sama mengungsi ke Dukuh Sumber Wangi… menjadi penduduk… sampai tahun 1855.)

Lebih anehnya lagi, saat meringkas manuskrip itu, Profesor Suripan menulis, “Setelah Pangéran Dipånegårå ditangkap Belanda, ia bersama istri dan… teman seperjuangannya, termasuk Surå Sentikå (yang kemudian terkenal sebagai Samin Surå(se)ntikå, pemimpin Gerakan Samin), sejak tanggal 10 Desember 1831 mengungsi untuk menyusun kekuatan baru demi melanjutkan perjuangan mengusir penjajah Belanda. Kemudian, Nåyå Sentikå…”[17]

Apa yang aneh dari potongan data tersebut? Kiai Samin Suråsentikå baru lahir pada tahun 1859 di Desa Ploso Kedhirèn, bagaimana mungkin ia ikut Perang Dipånegårå dan mengungsi bersama Nåyå Sentikå, yang asal Rembang, di Sumber Wangi?

Yang agak mungkin ialah Surå Sentikå yang dimaksud itu ayah Ki Samin, apalagi para pengikut Saminisme menyebutnya Samin Sepuh. Tetapi, data Profesor Suripan menyebut nama Sang Ayah itu Radèn Surå Wijåyå dan punya hubungan darah dengan para adipati di Jåwå Timur, khususnya di Rajègwesi (kini: Bojonegoro) dan Sumåråtå, Tulungagung.

Apa yang tercatat dalam sejarah resmi? Apa hubungannya dengan Nåyå Sentikå dan Surå Sentikå?

“Dengan (di)pimpin… (oleh) Radèn Tumenggung Aryå (R.T.A.) Såsrådilågå, pada tanggal 28 November 1827, rakyat Rembang mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Rajègwesi. … pasukan rakyat yang memihak Dipånegårå pada tanggal 5 Desember 1827 berhasil menduduki Pad(h)angan dan selanjutnya bergerak ke kota Ngawi. Tetapi, sayang, Såsrådilågå yang merupakan tokoh (yang) berperan… dalam mengobarkan perlawanan di daerah Rembang juga menyerah (pada) tanggal 3 Oktober 1828.”[18]

Siapakah R.T.A. Såsrådilågå ini?

“Pemimpin perlawanan rakyat di daerah Rembang ini… putra bekas bekas Bupati Rajègwesi. Bupati ini meninggal dunia dan dimakamkan di Rajègwesi. R.T.A. Såsrådilågå dilahirkan dan dibesarkan di Rajègwesi. … saudara perempuan(nya)… kawin dengan penghulu-kepala daerah Rembang. Pada waktu Perang Dipånegårå pecah, Såsrådilågå menjadi tumenggung dan menjabat… perwira… pasukan Kraton Yogyåkartå. Jadi, mengingat hubungan kekeluargaannya dengan… pembesar yang besar pengaruhnya di daerah Rajègwesi dan Rembang, ditambah lagi dengan hubungannya yang erat dengan Pangéran Dipånegårå, pemimpin dan pahlawan yang dicintai, maka tidak begitu (meng)heran(kan) kita jikalau Såsrådilågå… punya… pengaruh yang besar dan segera mendapat(kan) pengikut yang tidak sedikit jumlahnya,” tulis Sagimun M.D.[19]

Karesidènan Rembang, yang membawahkan Regensi Blora, pada zaman Perang Dipånegårå memang merupakan daerah perlawanan rakyat yang sangat mengancam Belanda. “Rakyat di daerah Rembang terkenal sebagai… orang yang berdarah panas dan amat sukar diperintah oleh Belanda,” tulisnya lagi.[20] Kota lain yang dapat direbut pada tanggal 5 Desember 1827 ialah Bowernå (kini: Baurenå atau Burnå), 31 Desember 1827: Bancar, Kragan, Séd(h)an, dan Lasem, serta Tambakbåyå, sedangkan Blora, Rembang, dan Tuban sempat dikepung.[21]

Dengan tulisan pada dua buku ini, Profesor Suripan yakin Pepakem Nåyå Sentikå memiliki kebenaran sejarah. Ia pun menduga R.T.A. Såsrådilågå itu pemimpin kelompok perlawanan rakyat yang beranggotakan Nåyå Sentikå dan Surå Sentikå.[22] Dengan kata lain, tradisi lisan dan tulis pun terkait dengan fakta sejarah, meskipun telah dibumbui dengan yang bersifat fiksi alias dongeng. Betapapun, ketiga unsur itu sulit dipisahkan secara tajam.

Menurut Sagimun, rakyat yang berjuang pada saat itu memiliki kelengahan dan kelemahan. “… pasukan rakyat setelah mendapat(kan) kemenangan… selalu tidak mau meneruskan… gempurannya dan terus-menerus menerjang musuh yang tentunya makin merosot semangatnya. Setelah mencapai kemenangan… pasukan rakyat sering beristirahat atau bersenang-senang dulu.”[23]

(Ki Slamet No One)

[1] Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Penerbit Citra Almamater, Semarang, cetakan pertama, 1996, halaman 7.

[2] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 13.

[3]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 13, dengan mengutip

    Victor T. King, Some Observations on the Samin Movement of North-Central Java, dalam BKI, deel 129, 4e aflevering, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1973.
    The Siauw Giap, The Samin Movement in Java: Complementary Remarks, dalam Revue du 1968 Sud-Est Asiatique et de l’Extreme Orient, No. 2, 1967.
    Harry J. Benda dan Lance Castles, The Samin Movement, dalam BKI, deel 125, 2e aflevering, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1969.
    A. Pieter E. Korver, The Samin Movement and Millenarisme, dalam BKI, deel 132, 2e+3e aflevering, Martinus Nijhoff, 1976.
    Onghokham, Pulung Affair: Pemberontakan Pajak di Desa Patik, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No. 1, Th. VII, Januari 1977, Jakarta.
    R.P.A. Suryanto Sastroatmodjo, Gerakan Saminisme: Siapakah Mereka?, dalam Optimis, No. 43, Agustus 1983, Jakarta.



[4] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 13 dan 16, dengan mengutip Ki Samin Suråsentikå, Layang Punjer Kawitan, manuskrip salinan tulisan tangan aksara Jåwå, milik Samsuri, Tapelan, Bojonegoro, tanpa tahun.

[5] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 13. Lihat juga Cyprianus Anto (C.A.) Saptowalyono, Samin: Kultur Berlatar Perlawanan Penjajah, dengan nama file: 1514448.htm, dalam rubrik Tanah Air, Kompas Cyber Media (KCM), Jumat 4 Maret 2005.

[6]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 13-14.

[7]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 14 dan 16.

[8]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 19 dan 16-17.

[9]  Istilah Jåwå disélong (harfiah: diasingkan) tersusun dari awalan “di” yang ditambahkan pada kata dasar “sélong”. Kata ini sangat boleh jadi berasal dari kata “Céylon” (kini: Sri Lanka). Kenapa begitu? Pada zaman kolonial, pemerintah Hindia Belanda suka membuang tokoh pribumi yang memberontak dan tertangkap ke pulau tersebut yang saat itu juga berada di bawah kekuasaannya. Pemimpin lokal yang diasingkan ke sana antara lain Syèh Yusuf Makassar (h. 1037-1111 H/1626-1699 M) serta Sunan Amangkurat III (k. 1703-1709) dan Sunan Amangkurat V (k. 1757-1795).

[10]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 17.

[11]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 17.

[12]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 14.

[13] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 17.

[14]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 17.

[15] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 47, dengan mengutip Anonim, Pambukå Purwaning Caritå Rakyat Nåyå Sentikå Gelar Nåyå Gimbal, manuskrip ketik, Blora, tanpa tahun. Ejaan disesuaikan dan kalimat diperbaiki –Ki SNO.

[16] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 47-48, dengan mengutip Anonim, op.cit., tanpa tahun.

[17] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 49, dengan mengutip Anonim, op.cit., tanpa tahun.

[18] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 53, dengan mengutip Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, IV, Balai Pustaka, Jakarta, 1984.

[19] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 53, dengan mengutip Sagimun M.D., Pahlawan Diponegoro Berjuang, Gunung Agung, Jakarta, 1965, halaman 172-173.

[20]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 53, dengan mengutip Sagimun M.D., op.cit., 1965, halaman 172.

[21]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 53, dengan mengutip Sagimun M.D., op.cit., 1965, halaman 175.

[22] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 55.

[23] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 54, dengan mengutip Sagimun M.D., op.cit., 1965, halaman 175. ]
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit