Gadis itu duduk termangu di bangku taman, kusut masai. Di pangkuannya, tertidur pulas bayi mungil berwajah damai. Tiba-tiba dara itu menangis pelan terisak-isak. Lelaki setengah baya mendekatinya. Ia bertanya dengan nada sangat ramah, “Ada kesulitan, Non? Bolehkah Bapak tahu? Siapa tahu Bapak dapat sekadar membantu...”
Dara itu berhenti menangis. Dia tengadah, kaget. Dipandangnya laki-laki itu. Matanya bersinar curiga. Laki-laki itu membujuknya lagi. Akhirnya terpaparlah kisahnya. Remaja itu menikah dengan pasangan-mudanya sebagai “pengantin kaget” (married by accident) pada usia 15 tahun. Tiga bulan kawin, lahir anak pertama. Mulai pulalah mendera masalah demi masalah yang semula tak terbayangkan. Hal kecil saja yang tidak mengena langsung mengubah keharmonisan menjadi neraka. Usai ulang tahun kedua pernikahan, bubar pula memorandum of understanding yang ditandatangani pasangan itu. Perkawinan itu pecah. Tak ada lagi kata sepakat. Repotnya, bagi janda muda itu, pulang ke rumah orang-tua: pintu tertutup. Begitu ceritanya.
Kisah itu terlalu sederhana untuk dibeberbentangkan, bukan? Namun, mau tak mau harus diakui bahwa “dongeng modern” itu kelewat memakan perasaan untuk dihayati. Banyak pertanyaan dan masalah yang timbul justru dari paparan cerita yang sederhana itu. Kita tak perlu tahu apa yang selanjutnya terjadi pada perempuan muda itu. Yang pasti dia lalu ikut lelaki setengah baya tersebut, yang menjanjikan jalan penyelesaian baginya. Dan kita memang tidak akan pernah tahu! Itu karena kisah tersebut merupakan gambaran umum akibat dari berbagai variasi “transaksi buru-buru” dari bursa cinta monyet.
Seandainya gadis itu mau dengan sungguh-sungguh bertanya kepada hatinya sendiri, sebelum dia membangun jalan menuju pernikahan (baca: pacaran!): sudah pantaskah aku menikah?... Seandainya dia mau mengusahakan materi yang harus diketahuinya --sekalipun hanya syarat minimal--, dia pasti akan berhasil melanggengkan perkawinannya.
Siapapun pasti menghendaki pernikahannya yang pertama sekaligus merupakan perkawinannya yang terakhir --satu-satunya pertalian dua insan yang menciptakan kebahagiaan sejati. Hanya persiapan yang matang yang akan mengantar kita menuju pernikahan semacam itu.
Kematangan yang bagaimana yang dibutuhkan itu? Kalau kita ingin menyederhanakan masalah, kita hanya membutuhkan tiga kematangan saja:
- Kematangan biologis,
- Kematangan psikologis, dan
- Kematangan ekonomis.
Namun, kita harus ingat bahwa dalam pertimbangan menuju pernikahan yang bahagia, kita tidak boleh terlalu patuh pada dalil: Persiapan yang memakan waktu lama dan detail barulah akan mengantar kita ke kebahagiaan sejati. Kita tidak boleh terlalu kukuh dengan dalil ini. Terlalu berbahaya untuk memedomaninya, bisa-bisa kita justru akan tergusur ke dalam keadaan tragis akibat kedaluwarsaan.
Oleh karena itu, khusus untuk syarat kematangan ekonomis, asal sudah dirasa cukup bolehlah. Artinya: kita tidak perlu sesudah punya gedung megah untuk rumah kita, plus kendaraan mulus, peralatan rumah tangga yang serba elektris dan elektronis, serta yang terutama persediaan uang penyangga, entah itu tersimpan rapi di bank, entah itu berupa penanaman modal, yang memadai. Ini tidak perlu. Yang penting ada penghasilan tetap untuk menunjang berdirinya keutuhan rumah tangga.
Sengaja tidak dibicarakan siapa yang harus menghasilkan uang. Pada zaman ini sudah basi hanya mengandalkan pria sebagai motor penggerak utama rumah tangga. Tetapi ini tidak berarti eksploitasi wanita untuk maksud komersial lho! Ya, ini hanya sekadar mempraktikkan asas demokrasi (baca: sama rata sama suka sama duka!) saja. Katakanlah: ini untuk menyatakan bahwa pria dan wanita punya tanggung jawab yang seimbang dalam menjaga keutuhan rumah tangga.
Kita tinggalkan masalah kematangan ekonomis yang mudah-mudah gawat itu. Kita alihkan pembicaraan yang “sentil-sentil dikit” ini, yang semoga mengena, ke masalah kedua: kematangan biologis.
Saat membicarakan kematangan biologis atau kedewasaan jasmani, kita yang tidak ahli di bidang kedokteran tentu tak boleh malu bertanya kepada pakarnya. Nah, Dr. Hannah Stone dan Abraham Stone dalam buku mereka, A Marriage Manual, menyatakan bahwa sebaiknya jangan punya anak pertama sebelum usia 20-21 tahun dan jangan lebih lama dari umur 30 tahun. Gadis yang mulai mendapat haid tidak berarti jasmaninya telah siap mengandung dan melahirkan.
Dengan demikian, anggapan umum bahwa semakin muda usia kian siap dan baik untuk melahirkan anak sama sekali tidak bisa dibenarkan. Ini hanya merupakan warisan tradisi yang telah menjadi salah kaprah saja.
Prof. Edward Pohlman dari The University of California (UC) bahkan menyatakan kelahiran pertama semasa remaja lebih banyak mengandung risiko ketimbang pada usia 20-an tahun. Anggapan bahwa melahirkan pada usia muda tidak akan banyak mendapatkan kesulitan medis tidak dapat dibenarkan. Soalnya hubungan antara usia yang paling baik untuk menjadi ibu dan komplikasi tidak bersifat langsung.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, kita bisa paham bahwa kita memerlukan kematangan biologis untuk siap menjadi ibu yang baik guna melahirkan anak pada kali yang pertama. Banyak hal yang tak dapat dimengerti pada usia belasan, namun secara refleks akan terpahami jika usia sudah mencapai 20-an. Pada usia belasan, kita masih terkungkung dan tercenung pada dunia kanak-kanak. Kita masih dalam perjalanan menuju matang, baik jasmani maupun kejiwaan.
Setiap orang pasti paham bahwa tak baik memperkenalkan sesuatu yang baru dengan terlalu mendadak. Kita memerlukan waktu untuk siap-siap paham. Bahkan, Dr. Pohlman menyatakan bahwa kita masih memerlukan waktu dua tahun sesudah akad nikah barulah kita siap melahirkan anak pertama. Ini erat berhubungan dengan pertimbangan kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis. Emh, memang terlalu éman (Jawa: sayang) kalau masa bulan madu relatif terputus pendek oleh keharusan yang sangat mengikat, yakni mengasuh anak, bukan?
Nah, sudah kadhung (Jawa: terlanjur) nyrèmpèt masalah psikologis, kita bicara sekalian syarat kematangan psikologis. Entah dari mana asal-usulnya, tapi yang jelas masih dapat diakui bahwa pada kira-kira usia tertentu seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, akan mengalami masa sulit untuk menentukan sikap sebaik-baiknya. Pakar Jerman menyebut masa sulit ini “periode hujan dan angin ribut”. Pada masa ini, alam sekitar seolah-olah begitu menjengkelkan. Hati ini serasa tak puas dan tak bisa dipuaskan. Segalanya serba tak berkenan dan tidak mengenakkan. Sepanjang pengalaman saya, ini terjadi pada usia 23, 25, atau 27 tahun. Bagi kita yang terlalu cepat matang, bisa-bisa kita sudah mengalaminya pada usia 21 tahun. Namun yang paling umum terjadi pada usia 25 tahun.
Terlepas dari masa sulit ini, secara tiba-tiba kita akan sampai ke dalam keadaan “seperti telah mengenali diri ini siapa dan bagaimana”. Nah, secara psikologis kita sudah matang dan sudah siap untuk naik ke ranjang pernikahan. Wow, agaknya saya telah melupakan “seporsi manis cinta” untuk dibicarakan sebagai bekal utama dan pertama menuju perkawinan.
Ya, mau tak mau kita memang harus sudah mencapai kematangan cinta untuk menuju pernikahan itu. Kematangan cinta, apa itu? Akad kawin sebenarnya bukan semata-mata janji penggabungan dua insan berbeda jenis yang sudah I love you and you love me, tetapi, seperti sudah saya katakan di depan, juga merupakan memorandum of understanding atau bukti pengertian atas siapa kamu dan siapa aku. Bahkan, nota kesepakatan ini juga mengandung pemahaman medan: siapa keluarga dia siapa keluarga aku, apa sih rumah tangga itu, dan entah apa lagi.
Ini bulan berarti persiapan yang jlimet (Jawa: seksama), tapi sekadar paham bahwa rumah tangga itu bukan sekadar “janji, kumpul, mesra, dan ..., dan: ... sudah!” Banyak hal kecil yang semula tak terbayangkan pada masa pacaran akan menjadi semacam hal yang harus dipahami untuk membina keharmonisan cinta tingkat rumah tangga. Well, orang Jawa selalu mengatakan “Buka mata dan telingamu lebar-lebar sebelum nikah dan tutup rapat sesudah kawin!”
Apa yang telah dibicarakan, tentu saja, barulah pemandangan umum saja. Untuk lebih paham secara detail dan menyeluruh, Saudari, para gadis remaja, harus menguakkannya sendiri, karena mau tak mau Saudari harus menghadapi semua masalah itu dan sama sekali tidak bisa menghindar (kecuali kalau sudah bersumpah tak akan menikah!).
Okey, walau bagaimanapun, dengan seporsi manis kematangan cinta yang bervitsin understanding, plus bumbu: kematangan biologis, psikologis, dan ekonomis, sudah pantaslah kiranya Saudari menikah!
(*/SNO)
[1] Sejak masa remaja, saya sering “terpaksa” mendampingi dan lalu menggantikan Ayah sebagai anggota (st, juru penerang) Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) di Kantor Departemen Agama Kabupaten Blora, tempat Ayah bertugas sebagai bendaharawan. Keterpaksaan ini secara “ilmiah” membuat saya mau tak mau harus mengembangkan teori psikologi menghadapi massa, khususnya belia, yang saya namai Remaja dan Kekosongan Jiwa.
Posting Komentar