(Cerita Pendek) JANGANKAN AMNESIA, NUNGGING CAMPUR UNDUR-UNDUR KUBURAN PUN, OK!
BERDIRI DEKAT toko swalayan Isetan di Singapura, aku benar-benar
hilang orientasi. Aku tak ingat lagi jalan ke pelabuhan untuk
menyeberang dan bertamasya di Pulau Sentosa atau bahkan pulang ke
Jakarta lewat Batam. Aku tak ingat lagi rute bus ke Bugis Street dan
kenangan apa yang ada di sana. Kecuali naik taksi dan bayar mahal, aku
tak ingat lagi bus nomor berapa yang bisa mengantarku ke Changi
International Airport. Apalagi, ketika meraba sakuku, tak ada dompet dan
uang sepeser pun di sana.
Apakah kerusakan syaraf (spasmofilia) baik di otak maupun
sebagian besar jaringan di tubuhku karena radiasi layar komputer sudah
sedemikian parah? Satu-satunya hal yang masih kuingat hanyalah harum
nasi goreng murahan dekat Center Point, tak jauh dari Grand Hotel. Di
situ, sutradara keturunan Arab yang punya studio alam di Pacet, dekat
Puncak, Ali Shahab, me-nraktir-ku ketika kami transit dalam tugas menghadiri Asia-Pacific Film Festival di Kuching, Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur, pada tahun 1990.
Dua perempuan usia 30-an mendekatiku. “Dicari ke mana-mana, nggak
ketemu, tahunya bengong di sini?” sapa yang agak kurusan. Wajahnya
menunjukkan kelegaan. Demikian juga perempuan yang satunya. Di
kantungnya, tersembul stetoskop. Dia dokter?
“Kalian siapa? Kenapa menegurku begitu?” Aku benar-benar tak ingat siapa kedua perempuan pendek yang relatif gemuk-gemuk itu.
Yang dokter segera meraba dahiku, lalu memelukku erat-erat dengan air
mata berlinangan. Tampak sekali dia berusaha menahan isak. Lalu, dia
mendadak melepaskan pelukan dan mengangsurkan aku ke perempuan yang agak
kurusan seperti mengoper bola saja. Menerimaku dengan tatapan
mata penuh kasih, tangannya mengetuk dahiku pelan. “Dijitak begini, kamu
bisa siuman?” katanya dengan sinar mata menghunjam penuh kasih.
Jitakan sayang itu membuatku ingat dia. Aku berkenalan dengan
Theresia Rini Astuti ketika aku mengajar Islamologi di salah satu
kumpulan jemaat gereja di Batam. Asal Pare, Kediri, Jawa Timur, Tere
bekerja sebagai pengendali mutu di perusahaan semikonduktor kerja sama
Indonesia-Amerika Serikat di pulau entreport yang kini menjadi ibukota Provinsi Riau Kepulauan itu.
Di pergelangan tangannya, ada bekas sayatan cutter, yang
kurebut darinya di halaman parkir salah satu hotel bintang tiga di
kawasan Nagoya, saat dia mau bunuh diri. Katanya, begitu sering dia
ditipu lelaki. Karena itu, dia rela bekerja di bagian penyinaran Rontgen
di pabriknya, yang mungkin sekali bisa membuatnya mandul. Sejak itu,
kami akrab, SMS-an sehari paling sedikit 10 kali di mana pun kami
berada. Kalau lagi ketemu, kami asyik berdebat soal perbandingan
antaragama, bidang yang sangat diminatinya!
Tentang perempuan yang satunya, aku baru ingat nama panggilan dan profesinya saja.
“Kamu Tere rupanya dan kamu dokter Tasya. Ada apa kalian berdua di
Singapura? Tere, bukankah kamu harus mengikuti kursus las pipa bawah
laut di pabrikmu di Batam? Dan kamu, Tasya, bukankah kamu sibuk mengurus
wabah flu burung yang merebak di Tangerang, terutama di wilayah
Puskesmas tempat kamu bertugas?”
Wajah keduanya kembali keruh. Sungguh, aku sama sekali tidak
mengerti. Angin yang bertiup agak kencang di sela hutan beton Singapura
yang masih cukup banyak berpohon menerpa dan memorat-maritkan rambutku
yang kian banyak dihiasi warna perak. Aku mencoba mengingat-ingat. Akan
tetapi, makin keras aku berpikir, rasanya kian tertutup khasanah
ingatanku. Apa gerangan yang terjadi denganku?
“Tasya, beliin aku nasi goreng...” pintaku seperti anak kecil
merengek minta permen ketika bau harum nasi goreng “mengalun” di tengah
terik sang surya.
Rengekan itu sedikit mengurangi kerutan sedih di wajah keduanya.
Mereka lantas mengapitku berjalan menyusuri jalan yang salah satu
sisinya penuh pertokoan. Sisinya yang lain hotel dan perkantoran. Hai,
aku ingat. Di lingkungan ini pula, anak Ita, teman sekantorku, namanya
Branden, yang baru empat tahun, hilang entah ke mana. Polisi baru
menemukannya enam jam kemudian. Branden lagi minum es krim di Hotel Ming
Court bersama wartawan The New Strait Times kenalan ibunya.
“Kenapa Papi senyum-senyum?” tanya dokter Tasya yang dari tadi sering serius memperhatikan raut mukaku.
Panggilan “Papi” itu membuatku ingat siapa dokter Tasya. Tigabelas
tahun lalu, selepas ujian SMA, dia dihamili pacarnya, yang lantas kabur.
Dia berusaha bunuh diri, aku mencegahnya. Singkat kata, aku
mengangkatnya sebagai anak. Demikian juga anaknya yang lahir tujuh bulan
kemudian, praktis menjadi cucuku. Sejak itu, dia membenci laki-laki.
Lalu, kuliah lima tahun kurang, dia lulus Fakultas Kedokteran dan
ditempatkan di salah satu Puskesmas di Tangerang, Provinsi Banten.
“Aku ingat kasus hilangnya Branden...”
Wajah dokter Tasya agak mencerah. Dia saling pandang dengan Tere,
baru menyahut, “Tante Ita, bersama Branden dan Tia, ikut Om Jay tinggal
bersama ibunya di Inggris, tapi sebulan kemudian Om Jay dapat tugas di
Malaysia.”
“O, begitu...” jawabku enteng. Aku lalu menyendok dan mengunyah nasi
goreng murahan itu, yang benar-benar harum bau bawang goreng.
“Pi, kenapa hanya bagian tertentu kenangan dalam otakmu bisa muncul.
Tak ingatkah Papi kenapa kami membawamu berobat ke sini?” tegur dokter
Tasya seperti hilang sabar dan meledak.
“Berobat? Aku kalian bawa ke Singapura untuk berobat?” tanyaku bingung. “Rasanya aku sehat-sehat saja.”
“Ya, Papi terkena amnesia akibat trauma karena hasrat Papi secara
seksual tak tersalur sejak Papi pensiun dini tiga tahun lalu! Ditambah
lagi dengan kekecewaan mendalam akibat tak satu pun dari puluhan
manuskrip Papi, baik karya ilmiah maupun novel, yang bisa terbit!
Kemudian, yang paling dahsyat: ... perceraian!” Dengan air mata
berlinangan dan isak yang tertahan-tahan, Tasya meneruskan
penjelasannya.
“Papi ingat ketika para tetangga melarikan Papi ke rumah sakit,
setelah malamnya Mami menolak Papi?! Papi ingat??!! Saat itu ‘burung’
Papi menegak lebih dari tiga jam dan baru bisa melemas setelah Papi
disuntik bius. Papi ingat???!!! Dan sejak itu, Papi lebih sering tinggal
di rumahku karena malu terhadap tetangga. Anehnya, ketika aku nekad
melanggar aturan dan norma untuk menolong Papi, Papi malahan menolakku
telak! Papi ingat????!!!!”
“Kamu anakku, Tasya!”
Begitulah, air sedingin angin hampir nol derajat yang pernah
kurasakan di Selat Juan de Fuca yang memisahkan Negara Bagian
Washington, Amerika Serikat, dari Kanada pada musim gugur seakan
mengguyur kepalaku. Pelan-pelan aku ingat semuanya. Sebagai ketua
penelitian dan pengembangan serikat buruh di kantorku, aku terjebak
perselisihan antarlini yang ujung-ujungnya adalah perebutan jabatan.
Saking runcingnya perseteruan itu dan karena aku lebih banyak mem-back-up
manajemen dengan data hasil penelitianku, ada karyawan yang secara
fisik menggangguku, bahkan mengancam akan membunuhku. Aku pun merasa
sangat letih dan mengajukan permohonan pensiun dini. Saat itu, aku
berjanji kepada “ibunya anak-anak” bahwa aku akan segera mendapatkan
pekerjaan baru.
Apa lacur, tak mudah mencari lowongan untuk orang seusiaku di tengah
gencarnya perusahaan ambruk dan larinya investor dari bumi pertiwi
Indonesia. Dengan uang pensiun yang sangat minim, istriku makin sibuk
menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan: perkara memalukan
itu pun terjadilah, berpuncak dengan pengajuan gugatan cerai oleh
“ibunya anak-anak”.
Aku pun shock, hilang ingatan! Ingat sampai di situ, aku
memeramkan kedua mataku. Sebutir air bening mengalir di pipiku yang kian
banyak dihiasi keriput kerentaan.
“Laptop-ku kamu bawa, Tasya?” tanyaku pada akhirnya.
Bukannya menjawab, kedua gadisku itu segera berebut memelukku dan
menghujani pipi dan keningku dengan ciuman. Mereka tak pedulikan lagi
pandangan orang yang ada di sekeliling kami. Pertanyaanku itu
membuktikan aku telah sembuh.
“Kamu tahu, kami ber-nadzar apa bila kamu sembuh?” tanya
Tere, ketika kami bertiga dalam perjalanan pulang ke Batam dengan kapal
penyeberangan selepas Isyak. “Kami berdua akan merawatmu sampai akhir
hidupmu, bukan sebagai anakmu, melainkan ... istrimu!”
Aku tak kuasa dan tak perlu menjawab. Sinar yang memancar dari
keriuhan malam negeri pulau yang dulu bernama Tumasik dan didirikan oleh
Parameswara, bangsawan Majapahit yang terusir akibat Perang Paregreg
(1404-1406) antara Bre Wirabumi dan Maharaja Majapahit Wikramawardhana
itu terasa begitu indah. Dan: ... kalau begini akhirnya,
jangankan
amnesia,
nungging
campur
undur-undur
kuburan pun aku mau! He he he...
Toa Payo, saat terbaring lemas after recovery, Jum’at 19 Agustus 2005.09:43.
(Cerita Pendek) JANGANKAN AMNESIA, NUNGGING CAMPUR UNDUR-UNDUR KUBURAN PUN, OK!
Written By Redaksi on Jumat, 20 Desember 2013 | 14.05
Label:
cerpen
Posting Komentar