Home » » (Cerita Pendek) JANGANKAN AMNESIA, NUNGGING CAMPUR UNDUR-UNDUR KUBURAN PUN, OK!

(Cerita Pendek) JANGANKAN AMNESIA, NUNGGING CAMPUR UNDUR-UNDUR KUBURAN PUN, OK!

Written By Redaksi on Jumat, 20 Desember 2013 | 14.05

(Cerita Pendek) JANGANKAN AMNESIA, NUNGGING CAMPUR UNDUR-UNDUR KUBURAN PUN, OK!

BERDIRI DEKAT toko swalayan Isetan di Singapura, aku benar-benar hilang orientasi. Aku tak ingat lagi jalan ke pelabuhan untuk menyeberang dan bertamasya di Pulau Sentosa atau bahkan pulang ke Jakarta lewat Batam. Aku tak ingat lagi rute bus ke Bugis Street dan kenangan apa yang ada di sana. Kecuali naik taksi dan bayar mahal, aku tak ingat lagi bus nomor berapa yang bisa mengantarku ke Changi International Airport. Apalagi, ketika meraba sakuku, tak ada dompet dan uang sepeser pun di sana.

Apakah kerusakan syaraf (spasmofilia) baik di otak maupun sebagian besar jaringan di tubuhku karena radiasi layar komputer sudah sedemikian parah? Satu-satunya hal yang masih kuingat hanyalah harum nasi goreng murahan dekat Center Point, tak jauh dari Grand Hotel. Di situ, sutradara keturunan Arab yang punya studio alam di Pacet, dekat Puncak, Ali Shahab, me-nraktir-ku ketika kami transit dalam tugas menghadiri Asia-Pacific Film Festival di Kuching, Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur, pada tahun 1990.

Dua perempuan usia 30-an mendekatiku. “Dicari ke mana-mana, nggak ketemu, tahunya bengong di sini?” sapa yang agak kurusan. Wajahnya menunjukkan kelegaan. Demikian juga perempuan yang satunya. Di kantungnya, tersembul stetoskop. Dia dokter?

“Kalian siapa? Kenapa menegurku begitu?” Aku benar-benar tak ingat siapa kedua perempuan pendek yang relatif gemuk-gemuk itu.

Yang dokter segera meraba dahiku, lalu memelukku erat-erat dengan air mata berlinangan. Tampak sekali dia berusaha menahan isak. Lalu, dia mendadak melepaskan pelukan dan mengangsurkan aku ke perempuan yang agak kurusan seperti mengoper bola saja. Menerimaku dengan tatapan mata penuh kasih, tangannya mengetuk dahiku pelan. “Dijitak begini, kamu bisa siuman?” katanya dengan sinar mata menghunjam penuh kasih.

Jitakan sayang itu membuatku ingat dia. Aku berkenalan dengan Theresia Rini Astuti ketika aku mengajar Islamologi di salah satu kumpulan jemaat gereja di Batam. Asal Pare, Kediri, Jawa Timur, Tere bekerja sebagai pengendali mutu di perusahaan semikonduktor kerja sama Indonesia-Amerika Serikat di pulau entreport yang kini menjadi ibukota Provinsi Riau Kepulauan itu.

Di pergelangan tangannya, ada bekas sayatan cutter, yang kurebut darinya di halaman parkir salah satu hotel bintang tiga di kawasan Nagoya, saat dia mau bunuh diri. Katanya, begitu sering dia ditipu lelaki. Karena itu, dia rela bekerja di bagian penyinaran Rontgen di pabriknya, yang mungkin sekali bisa membuatnya mandul. Sejak itu, kami akrab, SMS-an sehari paling sedikit 10 kali di mana pun kami berada. Kalau lagi ketemu, kami asyik berdebat soal perbandingan antaragama, bidang yang sangat diminatinya!

Tentang perempuan yang satunya, aku baru ingat nama panggilan dan profesinya saja.

“Kamu Tere rupanya dan kamu dokter Tasya. Ada apa kalian berdua di Singapura? Tere, bukankah kamu harus mengikuti kursus las pipa bawah laut di pabrikmu di Batam? Dan kamu, Tasya, bukankah kamu sibuk mengurus wabah flu burung yang merebak di Tangerang, terutama di wilayah Puskesmas tempat kamu bertugas?”

Wajah keduanya kembali keruh. Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti. Angin yang bertiup agak kencang di sela hutan beton Singapura yang masih cukup banyak berpohon menerpa dan memorat-maritkan rambutku yang kian banyak dihiasi warna perak. Aku mencoba mengingat-ingat. Akan tetapi, makin keras aku berpikir, rasanya kian tertutup khasanah ingatanku. Apa gerangan yang terjadi denganku?

“Tasya, beliin aku nasi goreng...” pintaku seperti anak kecil merengek minta permen ketika bau harum nasi goreng “mengalun” di tengah terik sang surya.

Rengekan itu sedikit mengurangi kerutan sedih di wajah keduanya. Mereka lantas mengapitku berjalan menyusuri jalan yang salah satu sisinya penuh pertokoan. Sisinya yang lain hotel dan perkantoran. Hai, aku ingat. Di lingkungan ini pula, anak Ita, teman sekantorku, namanya Branden, yang baru empat tahun, hilang entah ke mana. Polisi baru menemukannya enam jam kemudian. Branden lagi minum es krim di Hotel Ming Court bersama wartawan The New Strait Times kenalan ibunya.

“Kenapa Papi senyum-senyum?” tanya dokter Tasya yang dari tadi sering serius memperhatikan raut mukaku.

Panggilan “Papi” itu membuatku ingat siapa dokter Tasya. Tigabelas tahun lalu, selepas ujian SMA, dia dihamili pacarnya, yang lantas kabur. Dia berusaha bunuh diri, aku mencegahnya. Singkat kata, aku mengangkatnya sebagai anak. Demikian juga anaknya yang lahir tujuh bulan kemudian, praktis menjadi cucuku. Sejak itu, dia membenci laki-laki. Lalu, kuliah lima tahun kurang, dia lulus Fakultas Kedokteran dan ditempatkan di salah satu Puskesmas di Tangerang, Provinsi Banten.

“Aku ingat kasus hilangnya Branden...”

Wajah dokter Tasya agak mencerah. Dia saling pandang dengan Tere, baru menyahut, “Tante Ita, bersama Branden dan Tia, ikut Om Jay tinggal bersama ibunya di Inggris, tapi sebulan kemudian Om Jay dapat tugas di Malaysia.”

“O, begitu...” jawabku enteng. Aku lalu menyendok dan mengunyah nasi goreng murahan itu, yang benar-benar harum bau bawang goreng.

“Pi, kenapa hanya bagian tertentu kenangan dalam otakmu bisa muncul. Tak ingatkah Papi kenapa kami membawamu berobat ke sini?” tegur dokter Tasya seperti hilang sabar dan meledak.

“Berobat? Aku kalian bawa ke Singapura untuk berobat?” tanyaku bingung. “Rasanya aku sehat-sehat saja.”

“Ya, Papi terkena amnesia akibat trauma karena hasrat Papi secara seksual tak tersalur sejak Papi pensiun dini tiga tahun lalu! Ditambah lagi dengan kekecewaan mendalam akibat tak satu pun dari puluhan manuskrip Papi, baik karya ilmiah maupun novel, yang bisa terbit! Kemudian, yang paling dahsyat: ... perceraian!” Dengan air mata berlinangan dan isak yang tertahan-tahan, Tasya meneruskan penjelasannya.

“Papi ingat ketika para tetangga melarikan Papi ke rumah sakit, setelah malamnya Mami menolak Papi?! Papi ingat??!! Saat itu ‘burung’ Papi menegak lebih dari tiga jam dan baru bisa melemas setelah Papi disuntik bius. Papi ingat???!!! Dan sejak itu, Papi lebih sering tinggal di rumahku karena malu terhadap tetangga. Anehnya, ketika aku nekad melanggar aturan dan norma untuk menolong Papi, Papi malahan menolakku telak! Papi ingat????!!!!”

“Kamu anakku, Tasya!”

Begitulah, air sedingin angin hampir nol derajat yang pernah kurasakan di Selat Juan de Fuca yang memisahkan Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, dari Kanada pada musim gugur seakan mengguyur kepalaku. Pelan-pelan aku ingat semuanya. Sebagai ketua penelitian dan pengembangan serikat buruh di kantorku, aku terjebak perselisihan antarlini yang ujung-ujungnya adalah perebutan jabatan.

Saking runcingnya perseteruan itu dan karena aku lebih banyak mem-back-up manajemen dengan data hasil penelitianku, ada karyawan yang secara fisik menggangguku, bahkan mengancam akan membunuhku. Aku pun merasa sangat letih dan mengajukan permohonan pensiun dini. Saat itu, aku berjanji kepada “ibunya anak-anak” bahwa aku akan segera mendapatkan pekerjaan baru.

Apa lacur, tak mudah mencari lowongan untuk orang seusiaku di tengah gencarnya perusahaan ambruk dan larinya investor dari bumi pertiwi Indonesia. Dengan uang pensiun yang sangat minim, istriku makin sibuk menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan: perkara memalukan itu pun terjadilah, berpuncak dengan pengajuan gugatan cerai oleh “ibunya anak-anak”.

Aku pun shock, hilang ingatan! Ingat sampai di situ, aku memeramkan kedua mataku. Sebutir air bening mengalir di pipiku yang kian banyak dihiasi keriput kerentaan.

Laptop-ku kamu bawa, Tasya?” tanyaku pada akhirnya.

Bukannya menjawab, kedua gadisku itu segera berebut memelukku dan menghujani pipi dan keningku dengan ciuman. Mereka tak pedulikan lagi pandangan orang yang ada di sekeliling kami. Pertanyaanku itu membuktikan aku telah sembuh.

“Kamu tahu, kami ber-nadzar apa bila kamu sembuh?” tanya Tere, ketika kami bertiga dalam perjalanan pulang ke Batam dengan kapal penyeberangan selepas Isyak. “Kami berdua akan merawatmu sampai akhir hidupmu, bukan sebagai anakmu, melainkan ... istrimu!”

Aku tak kuasa dan tak perlu menjawab. Sinar yang memancar dari keriuhan malam negeri pulau yang dulu bernama Tumasik dan didirikan oleh Parameswara, bangsawan Majapahit yang terusir akibat Perang Paregreg (1404-1406) antara Bre Wirabumi dan Maharaja Majapahit Wikramawardhana itu terasa begitu indah. Dan: ... kalau begini akhirnya,
jangankan
amnesia,
nungging
campur
undur-undur
kuburan pun aku mau! He he he...

Toa Payo, saat terbaring lemas after recovery, Jum’at 19 Agustus 2005.09:43.
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit