Home » » “205 HARI BERSAMA SANG DEWA” (Bagian Pertama: Prakata)

“205 HARI BERSAMA SANG DEWA” (Bagian Pertama: Prakata)

Written By Redaksi on Rabu, 25 Desember 2013 | 15.30

Oleh: Martinus Bong
Saya lupa peran apa ini namanya. Kadet mengambil posisi pada tali di tiang layar. (Foto: Konsul Jenderal Republik Indonesia, KJRI, Guangzhou, Cina.)
“205 HARI BERSAMA SANG DEWA” (Bagian Pertama: Prakata)

BEGITU BANYAK MITOS yang muncul di benakku, sewaktu aku mulai menulis memoir ini. Ada yang tentang tong yang menggelinding dari puncak bukit, dan akhirnya berhenti di dasar lembah, terpantek dalam jepitan dua batu besar.

Ada yang mengenai ikan kecil yang berlarian di sela ranting kering yang menjulur ke air dan suara tembakan yang membuyarkan kegembiraannya menari riang.

Ada pula tentang bentangan waktu yang belum kulewati hingga ke ujungnya. Dan ada juga tentang air yang lembut tetapi mampu memecah batu hitam.

Orang sipil di kapal perang --kapal latih layar jangkung--, betapa menyenangkan tampaknya tugas itu.

Barangkali hanya nasib baik yang dapat mengantar seorang bocah kecil penjaja koran --berkaus oblong lusuh dan celana kolor hitam sepanjang jalan raya dan rel kereta api Semarang-Cepu-Bojonegoro—berkeliling dua per tiga dunia, menjadi salah satu duta bangsa.

Inilah yang aku sebut mitos tong itu, yang terjepit tugas kewajiban dan cinta keluarga. Betapa tidak, saat itu aku belum lama menikah dan anak lelakiku, yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedua di ranjang rumah sakit karena muntah-berak, sedang manja-manjanya kepadaku.

Ikan kecil itulah anakku, yang kini dihinggapi trauma takut ditinggal pergi lama lagi oleh ayahnya. (Aku tak tahu entah kapan aku --dengan bimbingan  Allah Azza wa Jalla-- baru bisa memperbaiki jiwanya yang retak itu.)

Segalanya memang memerlukan waktu –yang sebagian besar tampaknya berlalu sia-sia sewaktu aku terombang-ambing di atas kapal jangkung itu. Tetapi, sebenarnya tidak demikian halnya.

Kesepian dan kejenuhan mampu memaksaku rajin belajar tentang apa saja yang bisa dipelajari, meski yang membentang di hadapanku ketika itu hanya laut yang tenang bersahabat atau sedang bergolak keras menguncang-guncang kapal bagai beras ditampi.

Justru bentangan laut itu yang sering membuatku tertegun-tegun, bertegur sapa dengan diriku sendiri, tentang jati diri dan hakikat hidup, seraya mengamati senar pancing yang pada hakikatnya sia-sia dipasang di belakang kapal yang berpacu kencang.

Kesepian itulah yang kumaksud dengan mitos air --pedang tajam yang mampu memecah beton dan menyisakan besi tulangnya bila disemprotkan dengan kecepatan tertentu.

Kesepian itulah yang sebenarnya banyak memberikan arti bagi hasrat dan dahaga pencarianku yang entah sampai kapan baru akan terpuaskan.

(Diketik dengan komputer NEC di Wisma Antara pada tanggal 1 Desember 1986.)
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit