(Cerita Pendek) KENAPA HARUS BERAKHIR BEGITU?
Catatan Pengantar: Ini naskah dan judul asli dari cerita pendek
"Selepas Subuh" sebelum disunting oleh AWSp (almarhumah) dan dimuat
dalam Tabloid Jelita pada tahun 2005.
RUMAH DI DEPAN bekas bong --pemakaman Cina-- di Desa
Cendono, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, itu
sederhana tapi asri. Asap rokok yang mengepul dari ruang tamunya
demikian tebal. Tentu saja begitu, hla wong semua orang, baik
tuan rumah maupun tamu, laki-laki maupun perempuan, seakan-akan berlomba
mengalahkan rekor mengisap rokok paling banyak dalam satu jam.
Lihatlah perempuan yang berseragam aparat pemerintah itu, dia malahan
mengisap cerutu buatan Negeri Belanda. Dari luar, Anastasia Astuti,
dokter umum, tampak ceria, apalagi dengan benges, eh, lipstick merah muda berhiaskan bintik-bintik kecil perak di bibirnya yang sedikit tebal.
“Tasya, gimana? Sudah hafal? Masa hanya beberapa kata saja susah
merekamnya di benakmu?” tanya pria setengah baya yang menggunakan sarung
dan berbaju batik, juga ber-prada perak di sana-sini, serta
berpeci putih. (Apakah ini tanda ia telah naik haji, aku tidak yakin!)
Jarinya memegang tasbih yang setiap maniknya bertuliskan asma Allah.
Jarinya berhenti berpindah dari manik ke manik sewaktu ia bicara. Ya,
mana mungkin bicara sambil wirid, bibir kan cuma sepasang?
“Agak susah, mBah, bahasa Arab, sih. Apa tidak ada do’a yang berbahasa Indonesia saja? Tapi, puasanya lancar. Saya kian asyik, sekalian diet. Berat badan saya turun agak drastis sejak melakoninya sebulan lalu.”
“Bisa saja aku kasih yang bahasa Indonesia, tapi kalau nggak manjur,
jangan salahkan aku,” jawab sang paranormal sekota asal, Sidoarjo,
dengan penyanyi “kuna” Arie Koesmiran yang sekarang sudah jadi istri
milyarwan pembuat rokok dari Kota Kretek Kudus itu.
Sudah menjadi rahasia umum sekarang bahwa kalangan eksekutif lari ke
dukun, bila menghadapi kesulitan psikologis dalam rumah tangga, walaupun
mereka lulusan perguruan tinggi yang paling rasional, bahkan
penyelesaian doktoralnya di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat.
Padahal, dari segi karier, Dokter Tasya boleh dibilang sukses. Di
kantor pemerintah, dia sudah menjabat kepala bagian hampir setahun.
Klinik pribadinya di rumah tinggalnya juga tak sepi dari pasien.
Suaminya, yang juga dokter, bahkan kepala rumah sakit.
Pasangan dokter tidak bahagia dan sang istri lari ke dukun? Ya,
begitulah gejala umum di Indonesia pasca krisis moneter yang melanda
dengan dampak yang memorakporandakan siapa saja sejak Juli 1997. Kakak
ipar dukun kampung itu, yang praktik di bilangan Ciledug, yang masih
relatif dekat dengan Istana Kepresidenan di Jakarta, malahan berpasien
direktur jenderal, urusan energi minyak lagi. Dunia sudah terjungkir
balik?
“Bardo masih tinggal di rumah tempat ia praktik pribadi?” tanya sang dukun tentang sang suami.
“Kata orang, ia lebih banyak tidur di rumah Etik, pacarnya,” jawab
perempuan itu. Alis Dokter Tasya berkerut. Bila bedak tebal di wajah itu
dicuci, tak pelak lagi akan terbaca gurat kesedihan seorang ibu beranak
tiga yang pisah ranjang dari suaminya yang secara terang-terangan
menyeleweng. Anak kecil juga tahu, sahut tukang rokok di depan rumah
sakit yang dipimpin sang bapak bila ditanya soal tersebut.
“Dari dulu aku sudah bilang, kalian terlalu sibuk. Buat apa sih harta dikejar di luar nalar, dengan mengorbankan ketentraman rumah tangga? Apa sih yang kurang dari yang sudah kalian miliki? Anak tiga, manis-manis. Yang sulung pun sekarang sudah pantas menikah...”
“Bardo saja yang kurang mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Tuhan.”
Si dukun mendesah. Lama mereka tak bicara, agak susah membicarakan
siapa yang salah dan siapa yang memulai dalam perkara ini. Sebagai
laki-laki, ia tahu persis betapa hal kecil dalam kehidupan sehari-hari
bisa menjadi biang masalah. Bahkan, perbedaan lidah --yang satu suka
santan, yang lain suka sayur bening-- saja bisa meretakkan pernikahan
belasan tahun yang dulu dilandasi ikrar: “Sumpah mampus, aku cinta
banget kepadamu!”
“Bagaimana dengan tujuhbelas jurus Kama Sutra yang kamu pelajari dari
temanmu yang berkebangsaan India itu? Siapa namanya? Nilakanta Sastri?”
“Kopinya sudah terlanjur dingin,” jawab Dokter Tasya dengan ibarat.
Empat lelaki lain di ruang tamu yang berhiaskan banyak benda kuna itu tak berani ikut bicara. Dua cantrik --murid learning by doing--
paranormal itu jelas harus mengamalkan ilmu “diam itu emas”. Sopir
Dokter Tasya juga lebih banyak menyimpan dulu bahan pembicaraan itu dan
baru menceritakannya di rumah kepada bininya, awal rantai perjalanan
panjang perkara pribadi itu menjadi rahasia umum. Seorang lagi,
keponakan istri sang dukun, penulis cerita pendek ini, tangkas
merekamnya dalam ingatan untuk diolah menjadi karya tulis yang sedang
Anda baca ini. He he he... cari uang dengan membeberkan penderitaan
orang, payah!
“Gimana dengan ketiga anakmu? Apakah sudah tidak bisa lagi dipakai sebagai sarana untuk mendekatkan kembali?”
“Hubungan Bardo dengan mereka sudah layaknya ikatan bisnis antara
bank dengan nasabahnya, apalagi sekarang anak-anak sudah lebih sering
mengunjungi bapaknya hanya untuk sekadar menguras kantung ayahnya.”
Dukun itu seakan-akan kehabisan pertanyaan. Dokter Tasya mengisap
cerutunya dalam-dalam. Sebagai tamu di rumah paman, aku justru masih
punya segudang pertanyaan dan juga ... pernyataan, dari yang paling
sederhana: “Santai saja, Anda kan sebentar lagi menopause!” sampai yang kelewat kurang ajar: “Kalau Anda ingin terpuaskan, bayar saja saya sebagai gigolo yang ditanggung bisa membuat Anda merem-melek terbang ke surga dunia yang paling nikmat!”
Setengah jam waktu berlalu, aku tak tahan untuk tidak menguap,
apalagi tanteku, istri sang dukun, dari tadi tanpa sungkan-sungkan
menyisiri rambutku yang panjang dan sudah mulai memutih di sana-sini,
lalu mengikatnya dengan tali hitam bermanik perak. Bagi tante, aku
memang anaknya yang sulung, yang mengembalikan suaminya, yang saat itu
sebagai sopir sudah enam tahun tidak pulang.
Hei, jadi: dukun itu menjadi penasihat perkawinan yang berantakan
berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri? Tidak tepat begitu, yang
pantas menjadi penasihat pernikahan itu aku, ia mah biang perkaranya juga.
“Kamu ingin menyumbangkan saran?” tanya pak dukun mengagetkanku.
Gelagapan aku dibuatnya. Akhirnya aku cuma bisa mengisap rokok menthol
Dunhill kesayanganku, yang kian susah dicari di kota kecil macam Cepu,
dalam-dalam. “Kamu memikirkan sesuatu yang nakal ya?” tanyanya pula.
Pandangan Dokter Tasya terasa menghunjam, tapi aku mengalami
kesulitan menafsirkannya, kecuali bahwa ada nada-nada putus asa di sana.
“Mencari kesibukan lain mungkin akan membantu, Paman,” kataku pada
akhirnya. “Ikut organisasi, misalnya...” Namun, aku tidak bisa
melanjutkannya. Aku ingat tetangga sebelah rumahku, janda berumur enam
puluh tahun yang kawin lagi dengan duda seusianya. Dan ketika ditanya
apa yang dicari dalam perkawinan pada umur lanjut demikian itu, janda
tersebut menjawab genit: “Kan selalu ada jalan lain ke Roma.”
“Jalan lain” itulah gembok-nya, sedangkan anak kuncinya ialah kesediaan untuk bersama-sama menempuh the other way-out itu sendiri. Jadi, bila niat itu sudah tidak lagi ada, ya lebih baik rumah tangga itu diakhiri baik-baik.
“Kamu berpikir tentang sebaiknya aku bercerai saja dari Bardo?” tanya
Dokter Tasya, masih dengan pandang mata yang menghunjam itu,
seolah-olah dia bisa membaca apa yang kupikirkan.
“Nuwun sewu, Dokter Tasya,” jawabku dalam bahasa Jawa campur Indonesia, “dalem percados mbok bilih masyarakat mboten saged nampi talak sebagai jalan keluar terakhir. Nanging, sepindhah malih, nuwun sewu, masyarakat menika namung saged maiben, maiben, lan maiben!”
Entah berapa lama waktu berjalan dalam diam. Dokter Tasya melihat ke
arlojinya, yang konon dirancang oleh Salvador Dali, dia pun pamit seraya
menyelipkan amplop yang cukup tebal ke saku rok tante. “Kamu bisa
pulang bareng aku,” katanya. Aku pun mengangguk.
“Kenapa kali ini pamanmu sampai kehabisan bahan?” tanyanya dalam perjalanan.
Aku hanya tersenyum.
“Tolong dijawab, dong, hayo...”
“Pada waktu paman dulu bertingkah seperti Dokter Bardo sekarang, saya
yang justru baru tamat SMA harus turun tangan menyelesaikannya.”
“O, begitu!”
“Nuwun sewu, Dok, menawi watuk, Dokter saged ndamel resep ingkang cespleng, ananging menawi watak...”
Dokter Tasya memandangku lekat-lekat. Tangisnya pun pecah. Aku tak
tahu harus bicara apa. Batuk bisa diobati, kalau watak, itu susah
diubah. Kata orang Jawa: ciri wanci ilange ginawa mati (watak dasar baru hilang setelah orangnya mati).
Kami pun mengganti bahan pembicaraan, bahkan tentang kemungkinan
Dokter Tasya membantu menulis konsultasi kesehatan di koran lokal yang
kuterbitkan bersama beberapa teman. Juga kemungkinan mendirikan apotek
dan optik bila keponakanku, kakak kelas anaknya, sudah lulus Akademi
Farmasi. Sungguhkah itu isyarat positif bagi penyelesaian masalahnya?
Selepas jembatan kuna Bengawan Sala, masuk wilayah Jawa Tengah,
tepatnya Kota Cepu, tempat aku dan Dokter Tasya tinggal, aku minta
turun. “Mau ke mana, rumahmu kan masih jauh?” tanyanya masih dengan mata
merah dan pelupuk membengkak.
“Wawancara untuk Tabloid Cahya, Dok.”
Kami pun berpisah.
Pagi esoknya, lepas subuh, kota Cepu geger. Dokter Anantasia Astuti,
ditemukan oleh putrinya yang sulung, bunuh diri dengan cara membakar
diri. Haruskah berakhir begitu?
mBalun, Cepu, Sanggar Jangka Langit, 2 Agustus 2005.15:29.
(Cerita Pendek) KENAPA HARUS BERAKHIR BEGITU?
Written By Unknown on Senin, 30 Desember 2013 | 19.18
Label:
cerpen
Posting Komentar