Home » » (Cerita Pendek) KENAPA HARUS BERAKHIR BEGITU?

(Cerita Pendek) KENAPA HARUS BERAKHIR BEGITU?

Written By Unknown on Senin, 30 Desember 2013 | 19.18

(Cerita Pendek) KENAPA HARUS BERAKHIR BEGITU?

Catatan Pengantar: Ini naskah dan judul asli dari cerita pendek "Selepas Subuh" sebelum disunting oleh AWSp (almarhumah) dan dimuat dalam Tabloid Jelita pada tahun 2005.



RUMAH DI DEPAN bekas bong --pemakaman Cina-- di Desa Cendono, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, itu sederhana tapi asri. Asap rokok yang mengepul dari ruang tamunya demikian tebal. Tentu saja begitu, hla wong semua orang, baik tuan rumah maupun tamu, laki-laki maupun perempuan, seakan-akan berlomba mengalahkan rekor mengisap rokok paling banyak dalam satu jam.

Lihatlah perempuan yang berseragam aparat pemerintah itu, dia malahan mengisap cerutu buatan Negeri Belanda. Dari luar, Anastasia Astuti, dokter umum, tampak ceria, apalagi dengan benges, eh, lipstick merah muda berhiaskan bintik-bintik kecil perak di bibirnya yang sedikit tebal.

“Tasya, gimana? Sudah hafal? Masa hanya beberapa kata saja susah merekamnya di benakmu?” tanya pria setengah baya yang menggunakan sarung dan berbaju batik, juga ber-prada perak di sana-sini, serta berpeci putih. (Apakah ini tanda ia telah naik haji, aku tidak yakin!) Jarinya memegang tasbih yang setiap maniknya bertuliskan asma Allah. Jarinya berhenti berpindah dari manik ke manik sewaktu ia bicara. Ya, mana mungkin bicara sambil wirid, bibir kan cuma sepasang?

“Agak susah, mBah, bahasa Arab, sih. Apa tidak ada do’a yang berbahasa Indonesia saja? Tapi, puasanya lancar. Saya kian asyik, sekalian diet. Berat badan saya turun agak drastis sejak melakoninya sebulan lalu.”

“Bisa saja aku kasih yang bahasa Indonesia, tapi kalau nggak manjur, jangan salahkan aku,” jawab sang paranormal sekota asal, Sidoarjo, dengan penyanyi “kuna” Arie Koesmiran yang sekarang sudah jadi istri milyarwan pembuat rokok dari Kota Kretek Kudus itu.

Sudah menjadi rahasia umum sekarang bahwa kalangan eksekutif lari ke dukun, bila menghadapi kesulitan psikologis dalam rumah tangga, walaupun mereka lulusan perguruan tinggi yang paling rasional, bahkan penyelesaian doktoralnya di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat.

Padahal, dari segi karier, Dokter Tasya boleh dibilang sukses. Di kantor pemerintah, dia sudah menjabat kepala bagian hampir setahun. Klinik pribadinya di rumah tinggalnya juga tak sepi dari pasien. Suaminya, yang juga dokter, bahkan kepala rumah sakit.

Pasangan dokter tidak bahagia dan sang istri lari ke dukun? Ya, begitulah gejala umum di Indonesia pasca krisis moneter yang melanda dengan dampak yang memorakporandakan siapa saja sejak Juli 1997. Kakak ipar dukun kampung itu, yang praktik di bilangan Ciledug, yang masih relatif dekat dengan Istana Kepresidenan di Jakarta, malahan berpasien direktur jenderal, urusan energi minyak lagi. Dunia sudah terjungkir balik?

“Bardo masih tinggal di rumah tempat ia praktik pribadi?” tanya sang dukun tentang sang suami.

“Kata orang, ia lebih banyak tidur di rumah Etik, pacarnya,” jawab perempuan itu. Alis Dokter Tasya berkerut. Bila bedak tebal di wajah itu dicuci, tak pelak lagi akan terbaca gurat kesedihan seorang ibu beranak tiga yang pisah ranjang dari suaminya yang secara terang-terangan menyeleweng. Anak kecil juga tahu, sahut tukang rokok di depan rumah sakit yang dipimpin sang bapak bila ditanya soal tersebut.

“Dari dulu aku sudah bilang, kalian terlalu sibuk. Buat apa sih harta dikejar di luar nalar, dengan mengorbankan ketentraman rumah tangga? Apa sih yang kurang dari yang sudah kalian miliki? Anak tiga, manis-manis. Yang sulung pun sekarang sudah pantas menikah...”

“Bardo saja yang kurang mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Tuhan.”

Si dukun mendesah. Lama mereka tak bicara, agak susah membicarakan siapa yang salah dan siapa yang memulai dalam perkara ini. Sebagai laki-laki, ia tahu persis betapa hal kecil dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi biang masalah. Bahkan, perbedaan lidah --yang satu suka santan, yang lain suka sayur bening-- saja bisa meretakkan pernikahan belasan tahun yang dulu dilandasi ikrar: “Sumpah mampus, aku cinta banget kepadamu!”

“Bagaimana dengan tujuhbelas jurus Kama Sutra yang kamu pelajari dari temanmu yang berkebangsaan India itu? Siapa namanya? Nilakanta Sastri?”

“Kopinya sudah terlanjur dingin,” jawab Dokter Tasya dengan ibarat.

Empat lelaki lain di ruang tamu yang berhiaskan banyak benda kuna itu tak berani ikut bicara. Dua cantrik --murid learning by doing-- paranormal itu jelas harus mengamalkan ilmu “diam itu emas”. Sopir Dokter Tasya juga lebih banyak menyimpan dulu bahan pembicaraan itu dan baru menceritakannya di rumah kepada bininya, awal rantai perjalanan panjang perkara pribadi itu menjadi rahasia umum. Seorang lagi, keponakan istri sang dukun, penulis cerita pendek ini, tangkas merekamnya dalam ingatan untuk diolah menjadi karya tulis yang sedang Anda baca ini. He he he... cari uang dengan membeberkan penderitaan orang, payah!

“Gimana dengan ketiga anakmu? Apakah sudah tidak bisa lagi dipakai sebagai sarana untuk mendekatkan kembali?”

“Hubungan Bardo dengan mereka sudah layaknya ikatan bisnis antara bank dengan nasabahnya, apalagi sekarang anak-anak sudah lebih sering mengunjungi bapaknya hanya untuk sekadar menguras kantung ayahnya.”

Dukun itu seakan-akan kehabisan pertanyaan. Dokter Tasya mengisap cerutunya dalam-dalam. Sebagai tamu di rumah paman, aku justru masih punya segudang pertanyaan dan juga ... pernyataan, dari yang paling sederhana: “Santai saja, Anda kan sebentar lagi menopause!” sampai yang kelewat kurang ajar: “Kalau Anda ingin terpuaskan, bayar saja saya sebagai gigolo yang ditanggung bisa membuat Anda merem-melek terbang ke surga dunia yang paling nikmat!”

Setengah jam waktu berlalu, aku tak tahan untuk tidak menguap, apalagi tanteku, istri sang dukun, dari tadi tanpa sungkan-sungkan menyisiri rambutku yang panjang dan sudah mulai memutih di sana-sini, lalu mengikatnya dengan tali hitam bermanik perak. Bagi tante, aku memang anaknya yang sulung, yang mengembalikan suaminya, yang saat itu sebagai sopir sudah enam tahun tidak pulang.

Hei, jadi: dukun itu menjadi penasihat perkawinan yang berantakan berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri? Tidak tepat begitu, yang pantas menjadi penasihat pernikahan itu aku, ia mah biang perkaranya juga.

“Kamu ingin menyumbangkan saran?” tanya pak dukun mengagetkanku. Gelagapan aku dibuatnya. Akhirnya aku cuma bisa mengisap rokok menthol Dunhill kesayanganku, yang kian susah dicari di kota kecil macam Cepu, dalam-dalam. “Kamu memikirkan sesuatu yang nakal ya?” tanyanya pula.

Pandangan Dokter Tasya terasa menghunjam, tapi aku mengalami kesulitan menafsirkannya, kecuali bahwa ada nada-nada putus asa di sana.

“Mencari kesibukan lain mungkin akan membantu, Paman,” kataku pada akhirnya. “Ikut organisasi, misalnya...” Namun, aku tidak bisa melanjutkannya. Aku ingat tetangga sebelah rumahku, janda berumur enam puluh tahun yang kawin lagi dengan duda seusianya. Dan ketika ditanya apa yang dicari dalam perkawinan pada umur lanjut demikian itu, janda tersebut menjawab genit: “Kan selalu ada jalan lain ke Roma.”

“Jalan lain” itulah gembok-nya, sedangkan anak kuncinya ialah kesediaan untuk bersama-sama menempuh the other way-out itu sendiri. Jadi, bila niat itu sudah tidak lagi ada, ya lebih baik rumah tangga itu diakhiri baik-baik.

“Kamu berpikir tentang sebaiknya aku bercerai saja dari Bardo?” tanya Dokter Tasya, masih dengan pandang mata yang menghunjam itu, seolah-olah dia bisa membaca apa yang kupikirkan.

Nuwun sewu, Dokter Tasya,” jawabku dalam bahasa Jawa campur Indonesia, “dalem percados mbok bilih masyarakat mboten saged nampi talak sebagai jalan keluar terakhir. Nanging, sepindhah malih, nuwun sewu, masyarakat menika namung saged maiben, maiben, lan maiben!

Entah berapa lama waktu berjalan dalam diam. Dokter Tasya melihat ke arlojinya, yang konon dirancang oleh Salvador Dali, dia pun pamit seraya menyelipkan amplop yang cukup tebal ke saku rok tante. “Kamu bisa pulang bareng aku,” katanya. Aku pun mengangguk.

“Kenapa kali ini pamanmu sampai kehabisan bahan?” tanyanya dalam perjalanan.

Aku hanya tersenyum.

“Tolong dijawab, dong, hayo...”

“Pada waktu paman dulu bertingkah seperti Dokter Bardo sekarang, saya yang justru baru tamat SMA harus turun tangan menyelesaikannya.”

“O, begitu!”

“Nuwun sewu, Dok, menawi watuk, Dokter saged ndamel resep ingkang cespleng, ananging menawi watak...”

Dokter Tasya memandangku lekat-lekat. Tangisnya pun pecah. Aku tak tahu harus bicara apa. Batuk bisa diobati, kalau watak, itu susah diubah. Kata orang Jawa: ciri wanci ilange ginawa mati (watak dasar baru hilang setelah orangnya mati).

Kami pun mengganti bahan pembicaraan, bahkan tentang kemungkinan Dokter Tasya membantu menulis konsultasi kesehatan di koran lokal yang kuterbitkan bersama beberapa teman. Juga kemungkinan mendirikan apotek dan optik bila keponakanku, kakak kelas anaknya, sudah lulus Akademi Farmasi. Sungguhkah itu isyarat positif bagi penyelesaian masalahnya?

Selepas jembatan kuna Bengawan Sala, masuk wilayah Jawa Tengah, tepatnya Kota Cepu, tempat aku dan Dokter Tasya tinggal, aku minta turun. “Mau ke mana, rumahmu kan masih jauh?” tanyanya masih dengan mata merah dan pelupuk membengkak.

“Wawancara untuk Tabloid Cahya, Dok.”

Kami pun berpisah.

Pagi esoknya, lepas subuh, kota Cepu geger. Dokter Anantasia Astuti, ditemukan oleh putrinya yang sulung, bunuh diri dengan cara membakar diri. Haruskah berakhir begitu?

mBalun, Cepu, Sanggar Jangka Langit, 2 Agustus 2005.15:29.
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit