DARI MANA SEBENARNYA Kiai Samin Suråsentikå mendapatkan kitab yang berisi pokok ajarannya? Warga Samin di Tapelan, dalam wawancara dengan Profesor Suripan, menyatakan percaya Ki Samin mengarang sendiri kelima buku Layang Jamus Kalimåsådå[1]. Selain Layang Punjer Kawitan, empat buku yang lain ialah Serat Pikukuh Kasajatèn, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.[2]
Akan tetapi, tradisi lisan di Tapelan dikutipnya juga menyuguhkan cerita rakyat berikut:
“Samin Surå(se)ntikå suka sekali bersemadi di tempat sepi atau di tempat yang dianggap keramat. Pada waktu sedang bersemadi, ia menerima wangsit[3]. Wahyu tersebut berisi anjuran agar ia segera mencari buku kuno. Buku tersebut masih terpendam di tanah dekat tempat semadinya.”
“Samin Surå(se)ntikå segera bangun dari semadi. Ia mematuhi anjuran wangsit. Benar apa yang dikatakan wahyu itu. Buku tersebut tersimpan di gundukan tanah rumah anai-anai. Dengan tanpa pikir panjang lagi, buku kuno itu diambilnya. Ke mana saja ia pergi, buku kuno itu selalu dibawanya.”
“Buku kuno itulah yang bernama Layang Jamus Kalimåsådå. Buku ini pernah dimiliki oleh Prabu Puntådéwå[4]. Isi buku inilah yang kini dijadikan pedoman hidup warga Samin sampai sekarang.”[5]
Cerita rakyat ini rupanya sampai juga ke telinga peneliti Saminisme. J. Bijleveld, misalnya, merekamnya sebagai berikut:
“Samin was standing inadvertently in front of a high mountain, solely thinking about the Supreme Being. It was absolutely quite while Samin was beseeching the Supreme Being to bless humanity. Suddenly a kitab –a book– was dropped in front of him containing rules for the salvation of mankind. Samin read the book and became very happy and went to the town of Tjaringén.”[6]
(Samin berdiri tenang di depan gunung tinggi, diam berpikir tentang Yang Maha Agung. Begitu tekun Samin memohon kepada Yang Maha Kuasa agar memberkati manusia. Mendadak satu kitab jatuh di depannya berisikan pedoman penyelamatan umat manusia. Samin membaca buku itu dan menjadi begitu gembira dan pergi ke kota Caringin.)
Anehnya, Bijleveld juga menulis bahwa “… his grandfather and his ancestors already had held the religious beliefs preached by him…”[7] (… kakeknya dan nenek moyangnya sudah memeluk kepercayaan agama yang dianutnya…).
Kitab itu jatuh begitu saja dari langit? Kakeknya dan nenek moyangnya sudah memeluk agama yang dianutnya? Ki Samin menulis sendiri buku pedoman ajarannya? Pergi ke Caringin? Di mana Caringin itu?
Kata “nenek moyang” semestinya lebih didekatkan dengan “kakek”. Dengan demikian, “nenek moyang” yang dimaksud Ki Samin itu masih relatif dekat. Apalagi, silsilah dalam Layang Punjer Kawitan lebih menekankan adipati, raja, dan wali di Jåwå. Karena itu, sangat boleh jadi, yang dimaksudnya dengan “nenek moyang” itu tidak lain adalah para pendiri kerajaan Demak dan Mataram. Dengan kata lain, Ki Samin hanyalah menulis kembali “kitab” lama, entah itu yang ditulis oleh Sultan Agung –bisa saja serat Sastrå Gendhing– atau mungkin silsilah yang disusun kembali oleh R.M.Ng. Rånggåwarsitå.
Bahkan, dalam Serat Uri-uri Pambudi, Ki Samin menulis anjuran “… sartå mangertos dhateng tembung kawi punikå kasaged anggampilaken pangertosan anggènipun remen maos buku karanganipun pårå linangkung ing jaman kinå” (serta mengerti kata bahasa Kawi agar dapat memudahkan pemahaman saat membaca buku karangan orang cerdik pandai pada zaman dulu).[8]
Ajakan ini dilanjutkan dengan contoh “upaminipun kados déné serat punikå utawi Wédhåtåmå kawedar” (misalnya seperti buku yang saya baca ini atau Wédhåtåmå yang diuraikan).[9] Serat Wédhåtåmå ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangéran Aryå Adipati (K.G.P.A.A.) Mangkunegårå IV.[10]
Ada juga kalimat nasihat agar orang “mangertos dhateng larasing sekar ageng ingkang asri kagem ambawani gendhing” (mengerti akan irama tembang besar yang bagus untuk mengawali lagu),[11] yang boleh jadi menunjuk pada serat Sastrå Gendhing.
Ki Samin juga membaca karya dan tahu riwayat hidup Rånggåwarsitå seperti terbukti dari ucapannya “… Rånggåwarsitå piyambak sampun nglampahi, ngebleng kanthi angeningaken ciptå…” (… Rånggåwarsitå sendiri sudah menjalani, tidak makan garam dan bersemadi).[12]
Selanjutnya, ia mengajak orang meneladani hal yang baik dalam cerita pewayangan, misalnya “… tekadipun dhateng kasédan Sang Wiku Jamadagni punikå dipun cariyosaken wonten ing Serat Råmå“ {… tekad Sang Pendeta Jamadagni ingin meninggal (tanpa terikat oleh trilokå) itu diceritakan dalam Serat Råmå}.[13]
Oh ya, tentang Caringin, satu-satunya desa bernama ini yang saya ketahui hanyalah yang berada di Kecamatan Labuan, Kabupatèn Pandéglang. Lokasinya berjarak 43 km dari Kota Pandeglang atau sekira 66 km dari Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Di Caringin, kira-kira pada tahun 1884, penduduk secara bergotong royong, dipimpin oleh K.H. Muhammad Asnawi bin ‘Abd al-Råhman, mendirikan Masjid Salafiah. Tidak jauh dari masjid ini, di tepi pantai, terdapat makam ulama tersebut, yang lebih dikenal sebagai Syèkh Asnawi Caringin, yang wafat pada tahun 1356 H (1937 M).[14]
(Ki Slamet No One) ]
[1] Jamus Kalimåsådå itu jimat Puntådéwå, sulung Pandhåwå. Berkat jamus ini, ia selalu memeroleh perlindungan dan petunjuk ke arah kebenaran dan kesejahteraan. Sayang, yang dapat membaca jimat ini hanya para wali. Padahal, Puntådéwå baru bisa mati setelah tahu isi jamus tersebut. Karena itu, Puntådéwå hidup sampai zaman Demak. Ia baru bisa pulang ke haribaan Penciptanya setelah diwejang isi Jamus Kalimåsådå oleh Sunan Kalijågå. Jasad Puntådéwå, konon, dimakamkan di Masjid Demak, namun hal ini belum diselidiki kebenarannya. Lihat Drs. R. Soetarno A.K., Ensiklopedia Wayang, Dahara Prize, Semarang, cetakan keempat, 1994, halaman 238-239.
[2] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 19-20.
[3] Sebenarnya istilah wangsit ini tak perlu dicetak miring. Dalam Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (KBBI-4), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama, 2008, halaman 1556 kolom 1, kata “wangsit” dimaknai “pesan (amanat) gaib”.
[4] Puntådéwå itu sulung Pandhåwå. Ia berdarah putih, titisan (awatara, avatar) Hyang Darmå. Karena itu, ia juga disebut Darmåkusumå. Namanya yang lain Gunåtalikråmå. Dalam pewayangan Sunda, ia lebih dikenal dengan nama Samiaji. Begitu juga sahabatnya, Prabu Kresnå, memanggilnya. Ia jujur dan sabar, tidak pernah marah. Permaisurinya dua: Dèwi Drupadi dan Dèwi Kuntulwilanten. Ia menjadi raja Amartå atau Indråprastå bergelar Prabu Yudhistirå. Setelah Baråtåyudå, ia menjadi raja Astinå, bergelar Prabu Kalimåtåyå. Soetarno A.K., op.cit., 1994, halaman 238-239.
[5] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 20.
[6] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 122, dengan mengutip J. Bijleveld, De Samin beweging, dalam Koloniaal Tijdschrift, 1923, halaman 16.
[7] C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 122, dengan mengutip J. Bijleveld, op.cit., dalam Koloniaal Tijdschrift, 1923, halaman 10.
[8] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 38.
[9] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 38.
[10] Meski masih dipertanyakan siapa sebenarnya yang menulis serat ini, untuk sementara, kita terima saja fakta ini. Tentang perdebatan ini, dapat dibaca Yusro Edy Nugroho, Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons Pembaca, Penerbit Mimbar, Semarang, cetakan pertama, 2001, halaman 17-19.
[11] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 38.
[12] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 38.
[13] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 38.
[14] Anonim, Buku Panduan MTQ Nasional XXII 2008 Serang Banten, Panitia, Serang, 2008, halaman 54.
Home »
neo saminisme
» Asal-usul Saminisme
Asal-usul Saminisme
Written By Unknown on Kamis, 03 Oktober 2013 | 11.23
Label:
neo saminisme
Posting Komentar