Home » » Kronologi Gègèr Samin (1905-1930)

Kronologi Gègèr Samin (1905-1930)

Written By Unknown on Kamis, 03 Oktober 2013 | 11.15

KI SAMIN mulai mengembangkan dan menyebarkan ajarannya pada tahun 1890 di Desa Klopod(h)uwur. Banyak orang desa di wilayah sekitarnya, antara lain dari Tapelan, datang berguru. Waktu itu, pemerintah kolonial belum tertarik karena merebaknya kepercayaan yang mengakibatkan berkumpulnya orang itu belum dianggap mengganggu keamanan.[1]

Padahal, ajaran Samin cepat tersebar. Residèn Rembang, Fraenkel, pada tahun 1903 melaporkan ada 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat menyebarkan ajaran Ki Samin.

Dua tahun kemudian, pada tahun 1905, dipelopori oleh Ki Samin sendiri, warga Samin mulai mengubah tata cara hidupnya. Mereka tak lagi menyetor padi ke lumbung desa dan tak mau membayar pajak. Mereka juga menolak mengandangkan kerbau dan sapinya di kandang umum.

Sikap itu menjengkelkan pamong dan warga desa yang bukan penganut ajaran Samin. Mereka pun melontarkan julukan –dalam arti negatif– wong Samin dan wong Dam, orang yang menganut agåmå Adam.

Pada tahun 1907, jumlah pengikut Samin mencapai 5.000 jiwa.[2] Akan tetapi, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie yang terbit pada tahun 1919 baru mencatat angka 2.300 jiwa, dengan persebaran di regensi: Blora, Bojonegoro, Pati, dan Kudus.[3]

Pemerintah Hindia Belanda terkejut dan juga takut, apalagi ada desas-desus bahwa pada tanggal 1 Maret 1907, mereka akan memberontak. Waktu itu, di Desa Ked(h)ungtuban, Kabupatèn Blora, ada orang Samin selamatan. Mereka yang menghadirinya ditangkap, karena dianggap mempersiapkan pemberontakan.

Pada tanggal 8 November 1907, Ki Samin diangkat oleh pengikutnya menjadi ratu adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryångalam. Empatpuluh hari kemudian, Ndårå Setèn (Asistèn Wedånå, Camat) Randublatung, Radèn Pranålå, menangkap dan menahannya di bekas tobong, tempat pembakaran batu gamping. Ia kemudian dibawa ke Rembang, diinterogasi, dan bersama delapan pengikutnya dibuang ke luar Jåwå,[4] tepatnya di Sumatera. Tuduhannya: penghasutan dan pendurhakaan (sedition).[5]

Penangkapan tersebut tidak memadamkan Gerakan Samin. Wångsårejå giat menyebarkan ajaran itu di Distrik (kini: Kecamatan) Jiwan, Regensi (kini: Kabupatèn) Madiun, pada tahun 1908. Ia mengajak orang desa tidak membayar pajak. Ia bersama dua temannya ditangkap dan dibuang.

Suråhidin, menantu Ki Samin, dan Engkrak, pengikutnya, menyebarkan ajaran Samin di Grobogan (Purwådadi), sedangkan Karsiyah, juga pengikutnya, di Kajèn, Regensi (kini: Kabupatèn) Pat(h)i, Karesidènan Semarang, pada tahun 1911. Pada tahun berikutnya, 1912, pengikutnya yang lain berusaha menyebarkan ajaran itu di Jatirogo, Tuban, tetapi gagal.

Ki Samin meninggal di pengasingan pada tahun 1414. Saminisme kian merebak, khususnya di wilayah Pat(h)i.[6] Gègèr Samin justru mencapai puncak pada tahun tersebut, karena pemerintah Hindia Belanda menaikkan pajak. Di Grobogan, orang Samin tak mau lagi menghormati pamong desa dan pemerintah. Di Distrik Balérejå, Madiun, orang Samin mengibuli pemerintah dan tak mau membayar pajak. Di Kajèn, Karsiyah tampil sebagai Pangéran Sendhang Janur, mengimbau orang desa tidak membayar pajak.[7]

Di Desa Larangan, Pat(h)i, orang Samin menyerang lurah dan polisi. Di Tapelan, mereka tak mau membayar pajak, mengancam asistèn wedånå, kemudian ditangkap dan dipenjara. Samat, pemimpin Pergerakan Samin di Pat(h)i, mengajarkan bahwa Ratu Adil akan datang bila tanah yang “digadaikan” kepada pemerintah Hindia Belanda dikembalikan kepada orang Jåwå.[8]

Pada tahun 1915, usaha penyebaran Saminisme di daerah Jatirogo, Tuban, diulang, tetapi lagi-lagi menemui kegagalan. Warga Samin pun mencari daerah baru. Mereka merambah daerah Und(h)an, Kudus, pada tahun 1916.

Pada tahun 1917, pengikut Engkrak meningkatkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda penjajah dengan apa yang disebut “perlawanan pasif”. Namun, pemerintah akhirnya dapat memadamkan “pemberontakan” yang menjengkelkan ini.

Pada tahun itu, menurut C.L.M. Penders yang mengutip data J.E. Jasper, di Bojonegoro, ada 283 keluarga penganut Saminisme yang tinggal di Distrik Pad(h)angan, Tambakrejo, dan Ngampak.[9]

Pada tahun 1930, pergerakan Samin terhenti karena tiadanya pemimpin yang tangguh, meskipun pada tahun 1945, menurut tradisi lisan di Blora, Engkrèk dari Klopod(h)uwur ikut bertempur di Suråbåyå melawan Belanda. Katanya, ia akan menyambut datangnya Ratu Adil.[10]

Sebenarnya gerakan Samin tidak pernah mati. “The movement never quite disappeared. So there were references to Saminists in the former regency of Blora still as late as the late 1960′s (the 1967). And in 1973 a Dutch researcher paid a visit to a community of Saminists in the village of Kutuk in the Kabupatèn of Kudus, in the former residency of Semarang. Of a total population of 5.000 of this desa, allegedly 2.000 persons were Saminists (Mulder). Prior to 1920 the total number of followers of the movement never at any one time exceeded 3.000 heads of households,” tulis A. Pieter E. Korver.[11]

{Gerakan itu tidak pernah benar-benar menghilang. Begitulah, ada rujukan bahwa Saminisme masih ada di bekas Regensi Blora hingga akhir dasawarsa 1960-an, tepatnya 1967. Dan pada tahun 1973, peneliti Belanda mengunjungi masyarakat Samin di Desa Kutuk di Kabupatèn Kudus, di bekas Karesidènan Semarang. Dari total 5.000 jiwå penduduk desa itu, 2.000 jiwå di antaranya diduga keras pengikut Saminisme, (kata Niels Mulder). Sebelum tahun 1920, total jumlah penganut ajaran Samin tidak pernah melebihi 3.000 keluarga pada satu waktu.”}

Meski pemerintah kabupatèn setempat –karena malu!– sejak zaman Orde Baru senantiasa bersikukuh Saminisme telah tiada lagi, pada kenyataannya ajaran yang dianggap mirip milenarisme ini tetap tumbuh. Bahkan, dalam beberapa tahun menjelang akhir dasawarsa 2000-an ini, ketika kejujuran merupakan “barang langka”, Saminisme seperti kembali mendapatkan momentum.

(Ki Slamet No One)

 [1] Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 14. Lihat juga:

    Pieter E. Korver, The Samin Movement and Millenarism, dalam Bijdragen tot de Taal-,Land- en Volkenkunde, 132, Leiden, 1976, halaman 249 dari 249-266. Bijdragen atau BKI adalah majalah terbitan Koninklijk Instituut voor Taal-,Land- en Volkenkunde (KITLV).
    Nancy Lee Peluso, Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java, sebagaimana dikutip oleh G. Sujayanto dan Mayong Suryo (M.S.) Laksono, “Samin: Melawan Penjajah Dengan Jawa Ngoko”, dalam majalah Intisari, Juli 2001, yang juga dipunggah ke website hhtp://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm, yang di antaranya juga di-posting ke laman http://desantara.org/v3, 1 Desember 2008, 11:37.

[2]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 14.

[3]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 12, dengan mengutip Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, 1919.

[4]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 15. Lihat juga Anonim, op.cit., dalam Wikipedia®, 12 Juli 2008.

[5]  A. Pieter E. Korver, op.cit., dalam BKI, 1976, halaman 249-250 dari 249-266.

[6]  A. Pieter E. Korver, op.cit., dalam BKI, 1976, halaman 250 dari 249-266.

[7]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 15. Lihat juga Anonim, op.cit., dalam Wikipedia®, 12 Juli 2008.

[8]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 16.

[9]  C.L.M. Penders, op.cit., 1984, halaman 117, dengan mengutip J.E. Jasper, Verslag betreffende het onderzoek in zake de Samin beweging, Landsdrukkerij, Batavia, 1918, halaman 3.

[10]  Suripan Sadi Hutomo, op.cit., 1996, halaman 16.

[11]  A. Pieter E. Korver, op.cit., dalam BKI, 1976, halaman 250 dari 249-266.
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit