Home » » Sedikit tentang Cara Rakyat (Jawa) Mengajukan Protes

Sedikit tentang Cara Rakyat (Jawa) Mengajukan Protes

Written By Unknown on Kamis, 31 Oktober 2013 | 23.32

Sedikit tentang Cara Rakyat (Jawa) Mengajukan Protes
 
SEPANJANG SEJARAH umat manusia, banyak kali terjadi: ketika raja atau penguasa melalim, rakyat protes, entah dengan cara menghindar atau unjuk rasa terang-terangan, bahkan lewat drama rakyat. Di Blora, rakyat menggunakan caranya sendiri, membentuk komunitas tertutup, Wong Sikep atau Gerakan Samin, tak mau membayar pajak, tidak mau ronda malam, tetapi tidak mengangkat senjata.

“Dalam... situasi pemerintahan yang benar-benar menindas (biasanya bila beban pungutan besar sekali), rakyat akan mencari perlindungan yang tetap di... negeri lain atau setidak-tidaknya di... daerah yang lebih terpencil di negeri mereka sendiri di luar jangkauan kaki tangan raja,” tulis Soemarsaid Moertono dalam tesisnya yang terkenal.[1]

Sejak dari zaman kuno, di dalam kancah pemerintahan Jåwå, tampaknya sudah dikenal berbagai macam protes kolektif oleh rakyat, dengan cara menggunakan:

  1. hak desa untuk menempatkan diri di bawah yuridiksi pejabat lain atau anggota tertentu kelompok keluarga penguasa atau pemungut pajak yang lain.
  2. hak untuk mengadu kepada pejabat yang lebih tinggi dalam arak-arakan yang bernama nggogol.[2]

Menurut Soemarsaid, adat nggogol sudah tua sekali. Penjahat, pencuri, dan pemberontak yang tertangkap dibawa kepada pejabat dalam arak-arakan. Tujuannya jelas: efek jera, yakni untuk mencegah terjadinya kembali perbuatan demikian. Masih ada satu lagi cara menunjukkan perasaan umum yang menarik perhatian, yakni dengan cara melakukan:

3.    kebiasaan pépé: duduk di bawah sinar matahari terik di alun-alun raya keraton di depan sitinggil (ruang balairung raja) sampai raja menyatakan berkenan mendengarkan permohonan. Tindakan ini mengandung arti Si Pemohon meletakkan nyawanya di tangan Sang Tuan. Pépé dapat juga menunjukkan permohonan ampun. Saat dilakukan penghimpunan hukum adat pada tahun 1869, pépé dimasukkan dalam Pranatan Patuh, dengan ketentuan: “Melakukan pépé tanpa alasan yang sah dapat dikenai hukuman.”[3]

Itu tadi unjuk rasa yang terkait dengan hukum, bagaimana halnya dengan protes biasa? “Sehubungan dengan unjuk perasaan tidak senang yang dilakukan oleh masyarakat, kita harus menyelidiki... petunjuk arah pendapat umum dalam masyarakat Jåwå, yaitu humor rakyat, yang dinyatakan dalam lelucon... tokoh badut dalam seni drama Jåwå, pertama-tama dalam wayang kulit, tapi juga, dan yang lebih penting lagi, dalam seni drama rakyat lain... Yang paling umum --setidak-tidaknya untuk masa belakangan-- wayang wong (lakon wayang yang dimainkan... oleh pelaku, bukan boneka), ket(h)oprak (sejenis operete), dan di Jåwå Timur, ludruk,” tulis Soemarsaid pula.[4]

Masih ada lagi cara rakyat menyatakan perasaannya. Ungkapan singkat, sajak, atau kata padat-tajam digubah. Rekaan ini akhirnya dikenal oleh setiap orang. Dia menjadi nyanyian jalanan yang diteriakkan berbalas-balasan oleh kelompok remaja saat berkumpul atau anak-anak waktu bermain. Arti pantun jenaka ini sering tak begitu jelas. Mungkin sekadar ungkapan takjub bahwa mobil bisa jalan tanpa kuda atau sapi di depannya.[5]

Contoh pantun jenaka ini di daerah Suråkartå dikemukakan oleh Soemarsaid:

thit thuwit dimar mati ungalnå
kintel lungguh dhingklik, sabuk nèkel, ora duwé dhuwit

{tit tuit (bunyi peluit) lampu padam nyalakanlah
 katak duduk di atas bangku, bersabuk nikel, tapi tidak punya uang}.[6]

Di kampung saya, Blora, pantun jenaka ini akan berbunyi agak beda:

thitthit thuwit damar mati mulihå
kodhok lungguh dhingklik, sabuk nèkel, ora duwé dhuwik.[7]

Artinya kurang lebih sama, hanya ada perbedaan dialek saja, kecuali kata ungalnå yang sangat Sålå menjadi mulihå (perintah agar pulang) yang lebih umum bagi Jåwå Tengah. Tetapi, dengan logat Blora, irama dalam pantun ini menjadi lebih terjaga, tampak dari kata dhingklik dan dhuwik. Adakah ini menunjukkan pantun ini berasal dari Blora? Entahlah!

Yang pasti: baris pertama “peluit berbunyi, matikan lampu, pulanglah!”, seperti ditulis juga oleh Soemarsaid,[8] menunjukkan situasi sehari-hari yang dihadapi rakyat Indonesia selama Perang Dunia II, begitu terdengar sirine (di Cepu, yang digunakan sirine perusahaan minyak), itu berarti akan terjadi penyerangan dari udara, bom akan dijatuhkan, warga harus pulang atau bersembunyi di tempat yang aman. Begitu saya dengar dari ayah ibu saya.

Lho, koq humor rakyat tidak terabadikan dalam babad, serat, atau bentuk karya tertulis Jåwå yang lain? “Pengungkapan pendapat umum yang demikian tidak pernah tercatat, karena tidak termasuk lingkungan istana,” tulis Soemarsaid lagi.[9] Apa yang ditulisnya tidak salah, sastra kuno itu bersifat keraton-sentris, bahkan di negeri tempat lahir peradaban, Iraq atau Mesopotamia, dan juga Iran atau Persia sana. Contohnya ialah cerita Jåwå, Bayan Budiman, yang ternyata berasal dari kisah induk Seribu Satu Malam.[10]

“Dalam masyarakat Jåwå, badut atau pelawak secara tradisional... punya kekebalan tertentu terhadap hukum karena kejenakaan dan kadang-kadang... ucapan mereka yang pedas mengenai situasi yang berlaku atau... orang penting. ... para badut dan pelawak dianggap ‘berbahaya’ dalam arti... punya kekuatan gaib,” tulis Soemarsaid.[11]

Berbahaya dan punya kekuatan gaib? Dalam wayang purwå Jåwå, para punåkawan --Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong di sisi kanan serta Togog dan mBilung di sisi kiri-- digambarkan sebagai manusia berbentuk aneh. Bagi raja Jåwå, mereka ini dianggap sebagai salah satu prasyarat kewibawaan dan keberhasilan dalam memerintah negara dan melindungi rakyat.

“Sumber kekuatan gaib lain... tampaknya para pålåwijå[12], mereka yang tunaraga, orang katé, orang bulé, ...; karena cacat badannya sejak lahir, mereka dianggap memiliki ‘kekuatan’ yang berbahaya dalam dirinya. Beberapa orang dari mereka selalu ada di dekat raja, bukan saja untuk membuat tawar pengaruh mereka yang berbahaya atas masyarakat... biasa, tetapi terutama karena pengaruh mereka, bagi raja yang memiliki kekuatan gaib, akan menjadi kekuatan yang mendorong dan memperhebat dan bukannya membahayakan,” tulisnya pada bagian lain bukunya, dengan mengutip pendapat pakar Belanda, Th.G.Th. Pigeaud.[13]

Akan tetapi, sebagai cendekiawan, ia buru-buru menambahkan “Bahwa badut dianggap... punya kekuatan gaib itu mungkin karena rupa mereka yang ‘aneh’, lagi pula karena mereka merupakan personifikasi dari para leluhur dan... orang termasyhur lain... dari masa lalu dan dengan demikian ‘sesungguhnya’ mengandung ruh mereka; mengenai badut ini, perilaku mereka yang anehlah yang ‘sesungguhnya’ memberi... mereka kekuatan yang melebihi kekuatan manusia biasa. Barang kali, menurut pikiran Pigeaud, kemampuan mereka menyalurkan emosi dan hasrat manusialah yang menjadikan mereka ‘berbahaya’.”[14]

Menulis sampai di sini, saya jadi ingat tokoh jenaka yang Anda kenal dengan julukan Abu Nawas[15], anak asuh yang mendampingi Harun al-Råsyid (k. 786--809 M), sehingga menjadi sultån yang bijaksana. Bagi saya, ini merupakan isyarat nyata bahwa pemikiran ini bisa saja merupakan pengaruh nyata perkembangan dunia Islam dalam arti luas. Tentu saja, dugaan saya ini membutuhkan penelitian lanjutan.

Yang pasti, orang yang mengaji Jåwå --siapa pun ia!-- akan terperangkap dalam ketertarikan yang dari hari ke hari kian mendalam. Begitu juga ketika Soemarsaid meneliti perkembangan adat unjuk rasa dalam khazanah budaya Jåwå. “Ini merupakan persoalan yang membuat penyelidikan selanjutnya tentang masalah ini sangat menarik. Arak-arakan garebeg --dari Istana ke Masjid Agung pada hari besar tertentu-- seluruhnya bersifat khidmat dan mulia, tetapi secara mencolok, dua tokoh, Canthang (dan) Balung, yang menjadi lurah (kepala)... gadis penari di kota, turut baris dalam arak-arakan, dengan berpakaian lucu, aneh-aneh, dan berkelakuan jenaka sepanjang jalan. Dapatlah dianggap bahwa aspek magis dari jabatannya sebagai badut membuat peran-serta mereka cocok dalam keadaan gawat,” tulisnya.[16]

Apakah pelaku humor rakyat tidak pernah tersandung dan dengan demikian, kekebalannya tidak berlaku? Tentu saja itu pernah terjadi. Masih menurut Soemarsaid, nasib malang itu justru dialami seniman ludruk. “Selama masa pendudukan (oleh) Jepang (1942--1945), ... masa yang penuh siksaan dan kekejaman, ... badut dari kelompok ludruk termasyhur, Cak Durasim dari Suråbåyå, secara terus terang dan blak-blakan mengecam, atau lebih baik: memperolok-olokkan keadaan rakyat yang sengsara. Perbuatannya ini mungkin secara tidak sadar didasarkan pada kekebalan yang biasanya dimiliki... badut. Akan tetapi, malang baginya, pemerintah militer Jepang tidak mengakui kekebalan yang sudah biasa ini.”[17]

(Ki SNO)


[1]       Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, cetakan pertama, November 1985, halaman 88-89. Buku ini diterjemahkan dari judul asli State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century, tesis, Cornell Modern Indonesian Project, 1968/1981.

[2]       Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 89, dengan mengutip C. van Vollenhoven, Javaansch Adatrecht, Leiden, 1923, halaman 42.

[3]       Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 89 dan 89 catatan kaki 229, dengan mengutip
  • Babad Tanah Djawi, diedit oleh J.J. Meinsma, Leiden, 1941, halaman 133, 148.
  • G.J. Oudemans, Javaansche Wetten, Jogjakarta, 1897, halaman 199.

[4]       Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 89.

[5]       Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 91.

[6]       Ibid.

[7]       Saya tidak yakin di Blora pådå (baris) kedua ini berbunyi seperti ini. Setelah menggali ingatan sehari semalam, yang dapat terkorek dari ingatan nisbi-kuno saya, ternyata hanya kalimat: Siti lungå pasar, babi mati, semar mendem enak seger, emplokå! {Siti pergi ke pasar, babi mati (terkena bom yang dijatuhkan Jepang sendiri), semar mendem (sejenis penganan) enak menyegarkan, telanlah!} Artinya kurang lebih: ajakan untuk bersikap masa bodoh saat Jepang membunyikan sirine serangan udara. Menurut kakek saya dari pihak ibu, pembunyian sirine itu berarti Jepang akan menjatuhkan bomnya sendiri untuk menakut-nakuti rakyat Indonesia agar Dai Nippon bisa merampok hasil panen dan harta benda rakyat untuk disimpan sebagai harta karun atau dikirim pulang ke negerinya. Wållåhu a’lam bi al-shåwwab. (Ki SNO)

[8]       Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 91.

[9]       Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 89.

[10]      Karya sastra ini, yang aslinya berbahasa Arab dengan judul Alfu Laylah wal Laylah dan dalam terjemahan Inggrisnya berjudul The Arabian Nights, pertama kali dikumpulkan di Iraq oleh Al-Jahsyiyari (meninggal tahun 942). Karya ini didasarkan atas sastra Persia yang berisi cerita dari India dan pada kemudian hari ditambah dengan cerita lain dari Yunani, Yahudi, Mesir, dan juga dari India. Karya sastra ini memberikan gagasan tentang kehidupan di bawah kekuasaan Khilafah ‘Abbasiyyah pada masa Harun al-Råsyid (k. 786-809 M). Lihat H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Moderen dalam Islam, Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, cetakan keempat, Februari 1993, halaman 179 catatan kaki 3. Buku ini diterjemahkan oleh pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, Drs. Machnun Husein, dari judul asli Modern Trends in Islam, The University of Chicago Press, Chicago, 1947. Catatan kaki ini ditambahkan oleh penerjemah dengan mengutip Dr. Geoffrey Parrinder, A Dictionary of Non-Christian Religious, The Westminster Press, Philadelphia, 1974, halaman 26.

[11]      Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 89-90.

[12]      Jangan kaget, kata pålåwijå memang punya dua arti: (1) tumbuhan yang ditanam sesudah padi, dan (2) orang cacat dalam rombongan raja. Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 189.

[13]      Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 78, dengan mengutip Th. G..Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen, Batavia, 1938, halaman 58.

[14]      Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 90.

[15]      Julukan Abu Nawas itu sebenarnya Abu Nuwas (wafat 195 H/810 M). Ia penyair keturunan Persia yang bernama asli Hasan ibn Hani. Sebagai anak asuh Khålifah Harun, ia menikmati model kehidupan kalangan atas istana. Ia mahir mendongeng dan akhirnya menjadi semacam “pelawak istana”. Berbagai macam cerita, lelucon, dan hal yang jorok (tidak sopan) telah melekat menjadi sifatnya. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), PT RajaGrafindo Persada, cetakan pertama Desember 1996, halaman 9. Buku Glasse ini diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dari The Concise Encyclopedia of Islam.

[16]      Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 90, dengan mengutip I. Groneman, De Garebek’s te Ngayogyakarta, s’Gravenhage, 1895, halaman 33.

[17]      Soemarsaid Moertono, op.cit., November 1985, halaman 90.
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit