EMPAT TAHUN SUDAH aku menekuni
tugas yang satu itu: menerjemahkan berita sosial, politik, dan
budaya[1] internasional dan kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara
(Perbara[2] = ASEAN) di Meja Sunting (Desk) Berita Internasional Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara
di Jakarta. Betapa pun cinta dan sukanya aku pada tugas itu, kebosanan
dan kejenuhan tetap juga ada. Kadang-kadang perasaan semacam itu begitu
menyesaki dada.
{Padahal, pada pagi hari ketika aku tidak dinas, aku sudah berhasil mengaktifkan diri dalam kegiatan perfilman. Ini terjadi setelah salah satu wartawan senior, tepatnya Kepala Redaksi Berkala, Tony Ryanto, memercayai aku mewakilinya menghadiri konferensi pers Festival Film Indonesia (FFI) 1983 di Gedung Dewan Pers, tepatnya kini Jakarta Media Center (JMC).
Dalam hal ini, izinkan aku memuji diri sendiri perihal menjalin hubungan. Betapa tidak, dalam konferensi pers itu, aku berkenalan dengan Ibnu R. Sawarno, wartawan film senior yang sejak aku masih berjualan koran/majalah di jalanan kota Cepu pada kelas IV Sekolah Dasar (SD) hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Blora pada tahun 1972 sudah aku baca tulisannya, misalnya di Majalah Tjaraka. Senior ini suami Evawani Eliza, putri tunggal penyair Chairil Anwar. Aku juga berkenalan dengan penulis masalah perfilman di Harian Umum Kompas, Marseli Soemarno, yang belakangan menjadi dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Pada tahun 1983 itu juga Mas Ibnu sudah memasukkan aku ke jajaran wartawan film yang diizinkan ikut Program Pembinaan Perfilman Nasional (PPFN) yang dibiayai oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada tahun berikutnya, aku sudah ikut Diskusi Perfilman Nasional (DPN) dari program tersebut di Preview Room Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan. Juga menghadiri FFI di Jogjakarta, 1984. Juga menjadi anggota Kine Klub Indonesaia (KKI) yang didirikan oleh Ratna Sarumpaet.
Pada tahun 1984 itu juga, tentu saja, aku sudah menjadi anggota Seksi Film dan Hiburan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang saat itu diketuai oleh Chaidir Rachman. Senior yang satu ini aku baca karyanya di Majalah Bumi Artis dan Harian Umum Duta Masyarakat waktu aku masih di kampung halaman sebagai anggota Gerakan Pemuda (GP) Anshor, organisasi kepemudaan Nahdlatoel Oelama (NO) yang ayahku menjadi pengurus di tingkat ranting.
Pada tahun 1985, Bang Chaidir sudah memasukkan aku sebagai anggota kehumasan Panitia Tetap (Pantap) FFI di Bandung. Oleh Pemimpin Redaksi Majalah Film dan Direktur Pemasaran PT Peredaran Film Nasional (Perfin) ini, aku dibimbing khusus menangani laporan statistik produksi film nasional sesuai dengan catatan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang saat itu diketuai oleh H. Turino Junaidy.}
Uf, ngelanturnya kejauhan, mari kita kembali ke tugasku di Antara. Betapa tidak, kamus Inggris-Indonesia[3] yang dibeli empat tahun yang lalu saja sudah tak lagi berbentuk dan sudah jarang tersentuh; Bukan karena isinya sudah habis masuk otak, melainkan karena kemalasan membukanya sudah sedemikian memuncak.
Akh, sebagai abdi negara tak seharusnya aku merasa bosan dan jenuh begitu. Tetapi, begitulah kenyataannya. Tambahan pengetahuan, yang setiap hari datang melimpah ruah, tak lagi menarik. Persetan dengan itu, sedikit-dikitnya lima jam per hari mengetuk-ngetuk mesin tulis dan membalik-balik kamus pada akhirnya membuat hidupku menjadi monoton dan seolah-olah aku telah menjadi mesin tulis itu sendiri.
Tidak lebih dan tidak kurang, aku seolah-olah hanya sekrup kecil yang setiap saat siap, mau tak mau, dilepas dan diganti dengan yang baru dari sebuah mesin besar yang bernama LKBN Antara.
Sejak setahun yang lalu aku mendambakan mutasi, tetapi dari hari ke hari aku semakin terpantek di kursi tugasku, satu dari sepuluh kursi di Meja Sunting Berita Internasional, yang oleh salah satu bekas kepalanya dijuluki “Siberia”.
Sampai saat aku menulis memoir ini barang kali julukan itu masih tepat dan relevan. Betapa tidak, kecuali beberapa tenaga yang sejak awal kariernya sudah ditunjuk mengisi jabatan itu, selebihnya ialah tenaga buangan dari redaksi atau biro lain yang dianggap pernah melakukan kesalahan di tempat tugasnya yang lama, termasuk aku.
Pada hari itu --salah satu di antara hari-hari terakhir tahun 1985-- aku mulai mawas diri, memikirkan tentang takdir dan bagian nasib yang sudah dipilahkan untuk suratan hidupku.
Aku pun tengadah, ingat bahwa lembaga itulah yang mengentasku dari perjalanan panjang seorang penganggur. Itulah sebabnya aku tidak pernah meragukan sendiri loyalitasku kepada lembaga yang telah mendidik dan menggemblengku hingga aku menjadi aku yang sekarang.
Aku pun tersenyum bagaikan bocah kecil yang menemukan kembali barang mainannya yang hilang.
Beberapa hari sesudah hari itu --masih juga pada salah satu hari-hari terakhir tahun 1985-- mendadak aku dipanggil Direktur Redaksi, Ismail al-Banjar.
Seraya melangkah ke ruangannya, dalam hati aku bertanya-tanya: kesalahan apa yang telah kuperbuat dan teguran macam apa yang akan kuterima.
Tidak seperti biasanya, kali ini alis Sang Direktur tidak terangkat naik. Jadi, itu pasti bukan teguran, melainkan sesuatu yang lain. Tanya-jawab rutin untuk mengisi kondite-ku?
Dengan agak tenang aku duduk di hadapannya.
“Kamu suka bertualang?” dengan tersenyum Sang Direktur bertanya.
Meski mengangguk, aku tertegun, tugas macam apa yang harus kukerjakan?
“Ada undangan dari Angkatan Laut untuk mengikuti pelayaran muhibah KRI[4] Dewaruci ke New York dan Vancouver; Kamu mau?”
“Berapa lama, Pak?”
“Tujuh bulan.”
Masya-Ållåh! Tujuh bulan di laut di laut padahal aku tidak dapat berenang? Rasanya aku tak kuasa menjawab. Tetapi, dalam bayanganku, langsung tergambar pengalaman baru yang sama sekali belum pernah kualami.
Aku pun menunda jawab, bukan karena aku takut menghadapi kebuasan samudera, melainkan aku menunggu kata istriku tercinta. Apa katanya?
“Berangkatlah, Dad! Kapan lagi akan datang kesempatan sebaik itu, anggaplah 210 hari itu cuti wisata dari kejenuhan dan kebosanan berkamus-kamus.”
“Tapi ingat: seekor ikan tak tahu apa itu air, ketika ia bertanya, ikan yang paling bijak menjawab: bila kau ingin tahu apa itu air, keluarlah kau dari air.”
Catatan Kaki:
[1] Saat itu aku masih terbawa salah kaprah mengartikan “budaya” secara sempit yang meliputi seni dan tradisi saja --MMeSeM.
[2] Ini akronim entah diciptakan oleh siapa, tetapi belakangan yang lebih populer justru singkatan Inggrisnya: ASEAN.
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cornell University Press dan P.T. Gramedia, Ithaca, London, Jakarta, cetakan ke-11, Maret 1982. Kamus ini aku beli di “pasar loak buku” di Kwitang pada tanggal 19 April 1983, karena yang di toko buku terlalu mahal. Orang bilang ini barang bajakan, tetapi belakangan aku tahu ini hanyalah barang yang keluar dari gudang secara haram.
[4] KRI itu kapal perang Republik Indonesia.
{Padahal, pada pagi hari ketika aku tidak dinas, aku sudah berhasil mengaktifkan diri dalam kegiatan perfilman. Ini terjadi setelah salah satu wartawan senior, tepatnya Kepala Redaksi Berkala, Tony Ryanto, memercayai aku mewakilinya menghadiri konferensi pers Festival Film Indonesia (FFI) 1983 di Gedung Dewan Pers, tepatnya kini Jakarta Media Center (JMC).
Dalam hal ini, izinkan aku memuji diri sendiri perihal menjalin hubungan. Betapa tidak, dalam konferensi pers itu, aku berkenalan dengan Ibnu R. Sawarno, wartawan film senior yang sejak aku masih berjualan koran/majalah di jalanan kota Cepu pada kelas IV Sekolah Dasar (SD) hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Blora pada tahun 1972 sudah aku baca tulisannya, misalnya di Majalah Tjaraka. Senior ini suami Evawani Eliza, putri tunggal penyair Chairil Anwar. Aku juga berkenalan dengan penulis masalah perfilman di Harian Umum Kompas, Marseli Soemarno, yang belakangan menjadi dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Pada tahun 1983 itu juga Mas Ibnu sudah memasukkan aku ke jajaran wartawan film yang diizinkan ikut Program Pembinaan Perfilman Nasional (PPFN) yang dibiayai oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada tahun berikutnya, aku sudah ikut Diskusi Perfilman Nasional (DPN) dari program tersebut di Preview Room Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan. Juga menghadiri FFI di Jogjakarta, 1984. Juga menjadi anggota Kine Klub Indonesaia (KKI) yang didirikan oleh Ratna Sarumpaet.
Pada tahun 1984 itu juga, tentu saja, aku sudah menjadi anggota Seksi Film dan Hiburan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang saat itu diketuai oleh Chaidir Rachman. Senior yang satu ini aku baca karyanya di Majalah Bumi Artis dan Harian Umum Duta Masyarakat waktu aku masih di kampung halaman sebagai anggota Gerakan Pemuda (GP) Anshor, organisasi kepemudaan Nahdlatoel Oelama (NO) yang ayahku menjadi pengurus di tingkat ranting.
Pada tahun 1985, Bang Chaidir sudah memasukkan aku sebagai anggota kehumasan Panitia Tetap (Pantap) FFI di Bandung. Oleh Pemimpin Redaksi Majalah Film dan Direktur Pemasaran PT Peredaran Film Nasional (Perfin) ini, aku dibimbing khusus menangani laporan statistik produksi film nasional sesuai dengan catatan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang saat itu diketuai oleh H. Turino Junaidy.}
Uf, ngelanturnya kejauhan, mari kita kembali ke tugasku di Antara. Betapa tidak, kamus Inggris-Indonesia[3] yang dibeli empat tahun yang lalu saja sudah tak lagi berbentuk dan sudah jarang tersentuh; Bukan karena isinya sudah habis masuk otak, melainkan karena kemalasan membukanya sudah sedemikian memuncak.
Akh, sebagai abdi negara tak seharusnya aku merasa bosan dan jenuh begitu. Tetapi, begitulah kenyataannya. Tambahan pengetahuan, yang setiap hari datang melimpah ruah, tak lagi menarik. Persetan dengan itu, sedikit-dikitnya lima jam per hari mengetuk-ngetuk mesin tulis dan membalik-balik kamus pada akhirnya membuat hidupku menjadi monoton dan seolah-olah aku telah menjadi mesin tulis itu sendiri.
Tidak lebih dan tidak kurang, aku seolah-olah hanya sekrup kecil yang setiap saat siap, mau tak mau, dilepas dan diganti dengan yang baru dari sebuah mesin besar yang bernama LKBN Antara.
Sejak setahun yang lalu aku mendambakan mutasi, tetapi dari hari ke hari aku semakin terpantek di kursi tugasku, satu dari sepuluh kursi di Meja Sunting Berita Internasional, yang oleh salah satu bekas kepalanya dijuluki “Siberia”.
Sampai saat aku menulis memoir ini barang kali julukan itu masih tepat dan relevan. Betapa tidak, kecuali beberapa tenaga yang sejak awal kariernya sudah ditunjuk mengisi jabatan itu, selebihnya ialah tenaga buangan dari redaksi atau biro lain yang dianggap pernah melakukan kesalahan di tempat tugasnya yang lama, termasuk aku.
Pada hari itu --salah satu di antara hari-hari terakhir tahun 1985-- aku mulai mawas diri, memikirkan tentang takdir dan bagian nasib yang sudah dipilahkan untuk suratan hidupku.
Aku pun tengadah, ingat bahwa lembaga itulah yang mengentasku dari perjalanan panjang seorang penganggur. Itulah sebabnya aku tidak pernah meragukan sendiri loyalitasku kepada lembaga yang telah mendidik dan menggemblengku hingga aku menjadi aku yang sekarang.
Aku pun tersenyum bagaikan bocah kecil yang menemukan kembali barang mainannya yang hilang.
Beberapa hari sesudah hari itu --masih juga pada salah satu hari-hari terakhir tahun 1985-- mendadak aku dipanggil Direktur Redaksi, Ismail al-Banjar.
Seraya melangkah ke ruangannya, dalam hati aku bertanya-tanya: kesalahan apa yang telah kuperbuat dan teguran macam apa yang akan kuterima.
Tidak seperti biasanya, kali ini alis Sang Direktur tidak terangkat naik. Jadi, itu pasti bukan teguran, melainkan sesuatu yang lain. Tanya-jawab rutin untuk mengisi kondite-ku?
Dengan agak tenang aku duduk di hadapannya.
“Kamu suka bertualang?” dengan tersenyum Sang Direktur bertanya.
Meski mengangguk, aku tertegun, tugas macam apa yang harus kukerjakan?
“Ada undangan dari Angkatan Laut untuk mengikuti pelayaran muhibah KRI[4] Dewaruci ke New York dan Vancouver; Kamu mau?”
“Berapa lama, Pak?”
“Tujuh bulan.”
Masya-Ållåh! Tujuh bulan di laut di laut padahal aku tidak dapat berenang? Rasanya aku tak kuasa menjawab. Tetapi, dalam bayanganku, langsung tergambar pengalaman baru yang sama sekali belum pernah kualami.
Aku pun menunda jawab, bukan karena aku takut menghadapi kebuasan samudera, melainkan aku menunggu kata istriku tercinta. Apa katanya?
“Berangkatlah, Dad! Kapan lagi akan datang kesempatan sebaik itu, anggaplah 210 hari itu cuti wisata dari kejenuhan dan kebosanan berkamus-kamus.”
“Tapi ingat: seekor ikan tak tahu apa itu air, ketika ia bertanya, ikan yang paling bijak menjawab: bila kau ingin tahu apa itu air, keluarlah kau dari air.”
Catatan Kaki:
[1] Saat itu aku masih terbawa salah kaprah mengartikan “budaya” secara sempit yang meliputi seni dan tradisi saja --MMeSeM.
[2] Ini akronim entah diciptakan oleh siapa, tetapi belakangan yang lebih populer justru singkatan Inggrisnya: ASEAN.
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cornell University Press dan P.T. Gramedia, Ithaca, London, Jakarta, cetakan ke-11, Maret 1982. Kamus ini aku beli di “pasar loak buku” di Kwitang pada tanggal 19 April 1983, karena yang di toko buku terlalu mahal. Orang bilang ini barang bajakan, tetapi belakangan aku tahu ini hanyalah barang yang keluar dari gudang secara haram.
[4] KRI itu kapal perang Republik Indonesia.
Posting Komentar