DALAM SEMINAR FBMM (Forum Bahasa Media Massa) di Unika Atmajaya, Jakarta, 16 Desember 2013, saya duduk di belakang Pak Hasan Alwi, pakar dari Badan Bahasa (dahulu: Pusat Bahasa) Kemendikbud. Di tengah mendengarkan uraian salah satu pembicara, beliau menengok dan bertanya kepada saya, "Sumatra atau Sumatera?"
Sepanjang saya tahu, penentuan nama geografis menjadi wewenang Bakosurtanal dan Kemendagri. Masalahnya, menurut saya, ada nama yang pada akhirnya tidak sesuai dengan aslinya, apalagi etimologinya.
Kasus yang saya paling tidak bisa mengerti ialah Tanjungpriok. Saya lebih senang bila dipakai nama lama: Tanjung Periuk. Kenapa Tanjungpriok yang akhirnya dipakai? Alasannya: nama itu yang dipakai oleh komunitas maritim internasional, terutama dalam buku data pelabuhan.
Tanjung Periuk itu pelabuhan kita, berada di ibu kota negara kita, dalam wilayah negeri kita. Buku yang dimaksud itu berbahasa Inggris, bukan berbahasa Indonesia. Jadi, biarlah nama internasionalnya Tanjungpriok, tetapi punyalah jati diri bahwa namanya dalam bahasa Indonesia ialah Tanjung Periuk.
Kembali ke masalah yang dipertanyakan Pak Hasan Alwi. Terus terang, saya terbiasa menggunakan Sumatera, dengan asumsi nama itu berasal dari kata "summa terra". Tetapi, dalam konteks rasa kebangsaan, saya pun melakukan riset bibliografis kecil-kecilan.
Nama lama Pulau Perca itu ialah Swarnadwipa (harfiah: Pulau Emas). Ada kata belakang "dwipa" itu berarti pulau tersebut bertepi samudra pada kedua sisinya. Dalam benak saya pun berdengung: Sumatra, samudra, Sumatra, samudra... Jadi, yang benar ialah Sumatra.
Mohon maaf, rujukan yang saya pakai untuk menentukan pilihan itu buku berbahasa Inggris. Judulnya "Ancient Indian Colonies in the Far East, Vol. II: Suvarnadvipa, Part I –Political History" (1937). Penulisnya Doktor Ramesh Chandra (R.C.) Majumdar, M.A., Ph.D., profesor Dacca University. Tabik.
*(MMeSeM/
Posting Komentar