Home » , » Niaga Maritim RI, Potensi Besar Tenaga Kurang

Niaga Maritim RI, Potensi Besar Tenaga Kurang

Written By Redaksi on Senin, 24 Februari 2014 | 17.53

dokderan.com
Oleh Martin Moentadhim SM


Ekonomi maritim masih layak dikembangkan pada masa datang sebagai jalan keluar dari krisis. Akan tetapi, terlalu banyak hambatan, terutama dari segi koordinasi antar-sektor. Lebih dari itu, pencatatan statistik pun cenderung mengaburkan makna potensi kebaharian tersebut.


Yang paling parah: Indonesia tidak punya kapal yang mampu melayari samudera ("ocean going"). "Kita memang punya tiga kapal: Goa, Sriwijaya, dan Majapahit, tapi satu di antaranya rusak," kata anggota Dewan Maritim Indonesia (DMI) Agustomo dalam lokakarya di Pusat Media Jakarta (JMC), Kamis pekan lalu.


Dengan kata lain, "sembilan puluh lima persen barang ekspor-impor 'ocean going' dikuasai asing. Demikian pula lima puluh lima persen barang yang diantar-pulaukan," kata Direktur Komersial Jakarta International Container Terminal (JICT) itu dalam Workshop "Bedah Bisnis Industri Maritim Mencari Format Baru Pemberdayaan" itu, yang diadakan mulai Rabu (12/3).


Lokakarya ini diselenggarakan bersama oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Pusat Studi Ekonomi Maritim dan Regional (Cemers), dan Himpunan Wartawan Maritim Indonesia (IMJA), bersama Marfish X-pose.


Menteri yang terkait dengan industri maritim diundang berbicara, akan tetapi hampir semuanya diwakili oleh pejabat lebih rendah yang dalam lokakarya tersebut hanya memaparkan hal yang bersifat normatif. Demikian pula ketika mereka menjawab pertanyaan peserta yang rata-rata datang membawa persoalan dan mendambakan pemecahan.


Tak pelak lagi, moderator hari kedua Elly Rasdiani dari Eco Bumi Nusantara yang juga sekretaris bidang di DMI sempat menekankan dan mengakui tidak adanya koordinasi dalam penanganan dan pengembangan industri kebaharian yang sangat membutuhkan pemaduan langkah agar tidak kehilangan peluang.


Keterwakilan yang benar




Pada hari sebelumnya, anggota DMI Laode M. Kamaluddin dalam makalah berjudul "Format Pemberdayaan Ekonomi Maritim" sempat mengeluhkan ketimpangan statistik dalam pencatatan untuk laporan keuangan negara, sehingga "pangsa maritim pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tetap dianggap kecil."


"Sumber daya yang tercakup dalam ekonomi maritim sangat beragam ... dan hasilnya pun sangat banyak, tetapi ... belum dipilah dan dihitung secara akumulatif," katanya. Ia mencontohkan, pada tahun 2001, kontribusi sektor perikanan baru menyumbang 2,33% (Rp.34,6 triliun) dari total PDB nasional (Rp.1.484,978 triliun).


"Tentu saja, bila keterwakilan pembangunan maritim hanya dipresentasikan oleh sektor perikanan, maka jelas hasilnya tidak memuaskan. Tetapi, sebaliknya, menilai ekonomi maritim dengan memasukkan segala kontribusi ... seperti ekonomi pariwisata bahari, ertambangan dan energi lepas pantai, transportasi laut dan pengembangan pelabuhan, maka akan lain ceritanya," katanya pula.


Menurut catatan DMI, potensi pendapatan yang tersedia di sektor pelayaran sebelas miliar dolar AS per tahun, atau dengan kurs Rp.8.000/dolar AS, itu berarti Rp.88 triliun. "Bila dimaksimalkan, sektor transportasi dapat menyumbang kira-kira 5,93% dari total PDB nasional," kata Dr. Laode.


Dari sisi pengembangan sektor pelabuhan, ia melihat masih adanya peluang. Saat ini negara Asia menguasai pangsa muatan kira-kira 36,8% dari total muatan dunia (5,83 miliar ton), Eropa 25,5%, dan Amerika 20%. JICT, misalnya, tiap tahun disinggahi lebih dari 1.500 kapal (2002: 1.598 kapal) yang mengangkut peti kemas 1.532.436 TEU (satuan setara 20 kaki).


Pada tahun 2010, "diperkirakan pergerakan arus muatan laut di kawasan ASEAN (Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara) akan bergerak dari 35 juta TEU menjadi 70 juta TEU ... Tentu saja, hal ini merupakan peluang yang harus kita rebut," katanya lebih lanjut.




Konsep pelabuhan kering




Dalam kaitan ini, seperti diungkapkan oleh Agustomo, JICT bersama komponen lain di Tanjung Priok, bertekad menggolkan rencana menjadikan pelabuhan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 sudah dengan konsep pengangkutan beragam jenis ini menjadi pelabuhan poros ("hub port").


Akan tetapi, dalam kondisinya yang sekarang yang begitu dekat dengan permukiman penduduk, sebagai pelabuhan tradisional, Priok tak lagi memiliki kawasan pendukung ("back up area") seperti laiknya pelabuhan modern. "Sudah begitu, jalan akses ke pelabuhan sangat buruk dan ... macet," katanya.


Karena itu, ia kemudian menekankan perlunya perancangan kembali pola operasional. "Pelabuhan hanya sebagai titik bongkar muat saja, sedangkan urusan penumpukan barang, konsolidasi barang ekspor, dan penyaluran barang impor diserahkan kepada 'dry port' (pelabuhan kering) yang berada di luar pelabuhan --semacam layanan Garuda 'city check in'," kata ketua panitia Icu Zukafril. Menurut dia, "dry port" ini bisa dikelola siapa saja: badan usaha milik negara (BUMN), pemerintah daerah, koperasi, swasta, dan bahkan perorangan. "Pemerintah daerah terdekat dapat memotori pengembangannya bekerja sama dengan semua unsur tersebut. Dengan pengelolaan yang optimal dan benar, pendapatan 'dry port' bila lebih besar dari 'sea port' (pelabuhan laut)."


Akan halnya pengembangan kepemilikan kapal "ocean going", sudah lama anggota DMI ini mencita-citakan langkah "mundur setapak untuk kemajuan yang lebih besar".


Seperti yang pernah dikemukakannya dalam diskusi terbatas dengan para redaktur dan wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Aantara tahun lalu, Agustomo menekankan kembali niatnya untuk mendayagunakan armada pelayaran rakyat, dengan syarat pelabuhan menyediakan dermaga khusus untuk mereka.


"Persis sebagaimana pada awal kemerdekaan republik ini yang membesarkan beberapa pengusaha nasional, kita pilih beberapa pengusaha pelayaran rakyat untuk kita besarkan. Dengan tingkat muatan yang tersedia, tidak mustahil dalam tempo yang relatif singkat, mereka akan mampu membeli kapal samudera," katanya optimistis.




Sektor Lain




Masih banyak sektor lain sebagai komponen ekonomi maritim. Laode Kamaluddin menyebut potensi wisata bahari yang demikian besar, 4,4 triliun dolar AS, dan Indonesia baru mampu mengambil pangsa 272,22 miliar dolar AS per tahun.


Akan halnya pengelolaan sumber daya mineral lepas pantai, bangsa Indonesia baru meraup 9,54 miliar dolar AS (Rp.76 triliun) atau 5,1% PDB nasional, katanya pula.


"Bila ditotal seluruhnya, barulah mulai kelihatan arti sumber daya maritim itu sesungguhnya dalam perekonomian nasional. ... Diperkirakan kontribusi ekonomi maritim dalam PDB berkisar pada angka 10-15%. Hal ini tentu saja merupakan angka yang cukup besar untuk dapat dijadikan argumentasi bahwa ekonomi maritim masih 'feasible' (layak) untuk dikembangkan pada masa yang akan datang."


Menurut Laode, akumulasi hasil sumber daya maritim sangat penting untuk "mendudukkan perkaranya" guna menentukan kebijakan pembangunan sektoral secara makro. Contoh yang paling konkret ialah 34% hasil minyak itu "off shore" (lepas pantai), tetapi angka ini tidak muncul dalam data moneter sebagai hasil ekonomi maritim.


"Belum lagi jika kita kaji sektor maritim yang lain. Diskriminasi pengelolaan maritim seperti itu tidak pernah menggugah kecemasan dan kita tetap tidak pernah sensitif terhadap pemberdayaan maritim itu karena kebijakan perdagangan dan industri di Indonesia belum terdeteksi dengan baik oleh Bank Indonesia," katanya.


Lebih dari itu, "Hal-hal seperti itu yang membuat kita gelisah untuk segera kita bangkit dengan memberdayakan sektor maritim, karena bila kita tidak berbenah diri dari sekarang, maka kerugian negeri ini tidak akan pernah berakhir," demikian Dr. Laode Kamaluddin, M.Sc. (ant)

Sumber - http://www.pelita.or.id/baca.php?id=9425
Share this article :

Posting Komentar

Translate

Selamat Datang di Sanggar Jangka Langit

JANGKA LANGIT

Pengikut

Popular post

 
Support : Creating Website | Jangka-Langit | Martin
Copyright © 2013. JANGKA LANGIT - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Jangka-Langit
Proudly powered by Jangka-Langit