dokderan.com |
Oleh Martin Moentadhim SM
Ekonomi maritim masih layak dikembangkan pada masa
datang sebagai jalan keluar dari krisis. Akan tetapi, terlalu banyak
hambatan, terutama dari segi koordinasi antar-sektor. Lebih dari itu,
pencatatan statistik pun cenderung mengaburkan makna potensi kebaharian
tersebut.
Yang paling parah: Indonesia tidak punya kapal yang mampu melayari samudera ("ocean going").
"Kita memang punya tiga kapal: Goa, Sriwijaya, dan Majapahit, tapi satu
di antaranya rusak," kata anggota Dewan Maritim Indonesia (DMI)
Agustomo dalam lokakarya di Pusat Media Jakarta (JMC), Kamis pekan lalu.
Dengan kata lain, "sembilan puluh lima persen barang ekspor-impor 'ocean going'
dikuasai asing. Demikian pula lima puluh lima persen barang yang
diantar-pulaukan," kata Direktur Komersial Jakarta International
Container Terminal (JICT) itu dalam Workshop "Bedah Bisnis Industri
Maritim Mencari Format Baru Pemberdayaan" itu, yang diadakan mulai Rabu
(12/3).
Lokakarya ini diselenggarakan bersama oleh Korps Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Pusat Studi Ekonomi Maritim dan
Regional (Cemers), dan Himpunan Wartawan Maritim Indonesia (IMJA),
bersama Marfish X-pose.
Menteri yang terkait dengan industri maritim diundang
berbicara, akan tetapi hampir semuanya diwakili oleh pejabat lebih
rendah yang dalam lokakarya tersebut hanya memaparkan hal yang bersifat
normatif. Demikian pula ketika mereka menjawab pertanyaan peserta yang
rata-rata datang membawa persoalan dan mendambakan pemecahan.
Tak pelak lagi, moderator hari kedua Elly Rasdiani dari
Eco Bumi Nusantara yang juga sekretaris bidang di DMI sempat menekankan
dan mengakui tidak adanya koordinasi dalam penanganan dan pengembangan
industri kebaharian yang sangat membutuhkan pemaduan langkah agar tidak
kehilangan peluang.
Keterwakilan yang benar
Pada hari sebelumnya, anggota DMI Laode M. Kamaluddin
dalam makalah berjudul "Format Pemberdayaan Ekonomi Maritim" sempat
mengeluhkan ketimpangan statistik dalam pencatatan untuk laporan
keuangan negara, sehingga "pangsa maritim pada Produk Domestik Bruto
(PDB) nasional tetap dianggap kecil."
"Sumber daya yang tercakup dalam ekonomi maritim sangat
beragam ... dan hasilnya pun sangat banyak, tetapi ... belum dipilah dan
dihitung secara akumulatif," katanya. Ia mencontohkan, pada tahun 2001,
kontribusi sektor perikanan baru menyumbang 2,33% (Rp.34,6 triliun)
dari total PDB nasional (Rp.1.484,978 triliun).
"Tentu saja, bila keterwakilan pembangunan maritim hanya
dipresentasikan oleh sektor perikanan, maka jelas hasilnya tidak
memuaskan. Tetapi, sebaliknya, menilai ekonomi maritim dengan memasukkan
segala kontribusi ... seperti ekonomi pariwisata bahari, ertambangan
dan energi lepas pantai, transportasi laut dan pengembangan pelabuhan,
maka akan lain ceritanya," katanya pula.
Menurut catatan DMI, potensi pendapatan yang tersedia di
sektor pelayaran sebelas miliar dolar AS per tahun, atau dengan kurs
Rp.8.000/dolar AS, itu berarti Rp.88 triliun. "Bila dimaksimalkan,
sektor transportasi dapat menyumbang kira-kira 5,93% dari total PDB
nasional," kata Dr. Laode.
Dari sisi pengembangan sektor pelabuhan, ia melihat
masih adanya peluang. Saat ini negara Asia menguasai pangsa muatan
kira-kira 36,8% dari total muatan dunia (5,83 miliar ton), Eropa 25,5%,
dan Amerika 20%. JICT, misalnya, tiap tahun disinggahi lebih dari 1.500
kapal (2002: 1.598 kapal) yang mengangkut peti kemas 1.532.436 TEU
(satuan setara 20 kaki).
Pada tahun 2010, "diperkirakan pergerakan arus muatan
laut di kawasan ASEAN (Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara) akan bergerak
dari 35 juta TEU menjadi 70 juta TEU ... Tentu saja, hal ini merupakan
peluang yang harus kita rebut," katanya lebih lanjut.
Konsep pelabuhan kering
Dalam kaitan ini, seperti diungkapkan oleh Agustomo,
JICT bersama komponen lain di Tanjung Priok, bertekad menggolkan rencana
menjadikan pelabuhan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1870 sudah dengan konsep pengangkutan beragam jenis ini menjadi
pelabuhan poros ("hub port").
Akan tetapi, dalam kondisinya yang sekarang yang begitu
dekat dengan permukiman penduduk, sebagai pelabuhan tradisional, Priok
tak lagi memiliki kawasan pendukung ("back up area") seperti laiknya
pelabuhan modern. "Sudah begitu, jalan akses ke pelabuhan sangat buruk
dan ... macet," katanya.
Karena itu, ia kemudian menekankan perlunya perancangan
kembali pola operasional. "Pelabuhan hanya sebagai titik bongkar muat
saja, sedangkan urusan penumpukan barang, konsolidasi barang ekspor, dan
penyaluran barang impor diserahkan kepada 'dry port' (pelabuhan kering)
yang berada di luar pelabuhan --semacam layanan Garuda 'city check in'," kata ketua panitia Icu Zukafril. Menurut dia, "dry port"
ini bisa dikelola siapa saja: badan usaha milik negara (BUMN),
pemerintah daerah, koperasi, swasta, dan bahkan perorangan. "Pemerintah
daerah terdekat dapat memotori pengembangannya bekerja sama dengan semua
unsur tersebut. Dengan pengelolaan yang optimal dan benar, pendapatan
'dry port' bila lebih besar dari 'sea port' (pelabuhan laut)."
Akan halnya pengembangan kepemilikan kapal "ocean
going", sudah lama anggota DMI ini mencita-citakan langkah "mundur
setapak untuk kemajuan yang lebih besar".
Seperti yang pernah dikemukakannya dalam diskusi
terbatas dengan para redaktur dan wartawan Lembaga Kantor Berita
Nasional (LKBN) Aantara tahun lalu, Agustomo menekankan kembali
niatnya untuk mendayagunakan armada pelayaran rakyat, dengan syarat
pelabuhan menyediakan dermaga khusus untuk mereka.
"Persis sebagaimana pada awal kemerdekaan republik ini
yang membesarkan beberapa pengusaha nasional, kita pilih beberapa
pengusaha pelayaran rakyat untuk kita besarkan. Dengan tingkat muatan
yang tersedia, tidak mustahil dalam tempo yang relatif singkat, mereka
akan mampu membeli kapal samudera," katanya optimistis.
Sektor Lain
Masih banyak sektor lain sebagai komponen ekonomi
maritim. Laode Kamaluddin menyebut potensi wisata bahari yang demikian
besar, 4,4 triliun dolar AS, dan Indonesia baru mampu mengambil pangsa
272,22 miliar dolar AS per tahun.
Akan halnya pengelolaan sumber daya mineral lepas
pantai, bangsa Indonesia baru meraup 9,54 miliar dolar AS (Rp.76
triliun) atau 5,1% PDB nasional, katanya pula.
"Bila ditotal seluruhnya, barulah mulai kelihatan arti
sumber daya maritim itu sesungguhnya dalam perekonomian nasional. ...
Diperkirakan kontribusi ekonomi maritim dalam PDB berkisar pada angka
10-15%. Hal ini tentu saja merupakan angka yang cukup besar untuk dapat
dijadikan argumentasi bahwa ekonomi maritim masih 'feasible' (layak)
untuk dikembangkan pada masa yang akan datang."
Menurut Laode, akumulasi hasil sumber daya maritim
sangat penting untuk "mendudukkan perkaranya" guna menentukan kebijakan
pembangunan sektoral secara makro. Contoh yang paling konkret ialah 34%
hasil minyak itu "off shore" (lepas pantai), tetapi angka ini tidak
muncul dalam data moneter sebagai hasil ekonomi maritim.
"Belum lagi jika kita kaji sektor maritim yang lain.
Diskriminasi pengelolaan maritim seperti itu tidak pernah menggugah
kecemasan dan kita tetap tidak pernah sensitif terhadap pemberdayaan
maritim itu karena kebijakan perdagangan dan industri di Indonesia belum
terdeteksi dengan baik oleh Bank Indonesia," katanya.
Lebih dari itu, "Hal-hal seperti itu yang membuat kita gelisah untuk segera kita bangkit dengan memberdayakan sektor maritim, karena bila kita tidak berbenah diri dari sekarang, maka kerugian negeri ini tidak akan pernah berakhir," demikian Dr. Laode Kamaluddin, M.Sc. (ant)
Sumber - http://www.pelita.or.id/baca.php?id=9425
Posting Komentar