SALAH
SATU PENGGEMAR puisi saya menyatakan keheranannya kepada saya ketika
ia membaca riwayat hidup saya dalam buku teori jurnalistik yang terbit
di Djogdja pada tahun 2006. Ia membacanya "fresh from the oven" Andi Publisher di Jalan Beo 39. Apa yang membuatnya heran?
"Baru kali ini saya membaca orang berani mengaku bahwa pada masa remajanya berjualan koran dari pintu ke pintu, padahal sekarang sudah bisa menerbitkan koran sendiri," katanya sambil mengepulkan asap rokok buatan lokal Jawa Timur.
Untuk membuat koran, saya memang harus mengawali perjuangan dengan menjadi penjaja koran. Apa salahnya? Meski tidak seperti penjual koran di bus di Jakarta atau Surabaya yang harus menghafalkan kepala berita agar korannya dibeli orang, saya sering harus berlari ke rumah pelanggan agar tidak keduluan oleh sesama tukang koran.
Salah satu pelanggan itu, Pak Ali, juga binggung ketika kami bertemu kembali setelah saya 23 tahun merantau di Ibu Kota dan saya katakan bahwa saya redaktur kantor berita nasional. "Bagaimana ceritanya bisa jadi redaktur? Bukankah kamu masih 'nganggur' di Cepu sampai akhir tahun 1980?"
"Tembak langsung, Pak, setelah membaca iklan di koran sore, saya mengetik surat lamaran dan... diterima."
"Surat lamaran diketik?" tanya Pak Ali, heran.
"itulah, Pak, waktu awal uji kejiwaan, saya disuruh menulis surat lamaran dengan tangan oleh salah satu penguji."
"Lantas?"
"Beliau 'dosen' fotografi saya saat Kursus Pendidikan Dasar Jurnalistik di kantor tempat saya bekerja. Yang unik, beliau banyak bertanya mengenai wong Samin, ternyata itu untuk menulis karya ilmiah untuk memeroleh gelar kesarjanaan."
Masih banyak lagi kisah itu. Entah kapan saya sempat mengumpulkannya menjadi otobiografi. Pada ulang tahun ke-60, tanggal 1--2 Mei lalu, saya gagal merampungkannya. Entahlah! Salam. (*MMeSeM/TelukAngsan17052014.01:29).-
"Baru kali ini saya membaca orang berani mengaku bahwa pada masa remajanya berjualan koran dari pintu ke pintu, padahal sekarang sudah bisa menerbitkan koran sendiri," katanya sambil mengepulkan asap rokok buatan lokal Jawa Timur.
Untuk membuat koran, saya memang harus mengawali perjuangan dengan menjadi penjaja koran. Apa salahnya? Meski tidak seperti penjual koran di bus di Jakarta atau Surabaya yang harus menghafalkan kepala berita agar korannya dibeli orang, saya sering harus berlari ke rumah pelanggan agar tidak keduluan oleh sesama tukang koran.
Salah satu pelanggan itu, Pak Ali, juga binggung ketika kami bertemu kembali setelah saya 23 tahun merantau di Ibu Kota dan saya katakan bahwa saya redaktur kantor berita nasional. "Bagaimana ceritanya bisa jadi redaktur? Bukankah kamu masih 'nganggur' di Cepu sampai akhir tahun 1980?"
"Tembak langsung, Pak, setelah membaca iklan di koran sore, saya mengetik surat lamaran dan... diterima."
"Surat lamaran diketik?" tanya Pak Ali, heran.
"itulah, Pak, waktu awal uji kejiwaan, saya disuruh menulis surat lamaran dengan tangan oleh salah satu penguji."
"Lantas?"
"Beliau 'dosen' fotografi saya saat Kursus Pendidikan Dasar Jurnalistik di kantor tempat saya bekerja. Yang unik, beliau banyak bertanya mengenai wong Samin, ternyata itu untuk menulis karya ilmiah untuk memeroleh gelar kesarjanaan."
Masih banyak lagi kisah itu. Entah kapan saya sempat mengumpulkannya menjadi otobiografi. Pada ulang tahun ke-60, tanggal 1--2 Mei lalu, saya gagal merampungkannya. Entahlah! Salam. (*MMeSeM/TelukAngsan17052014.01:29).-
Posting Komentar