TANPA ILMU BUMI sama sekali, pada hari
Senin 28Agustus 2011.07:30, saya hanya bisa duduk manis diboncengkan
oleh Pèk Harédengan sepeda motornya menuju Desa Kacangan, Kecamatan
Tambakrejo, KabupatènBojonegoro, Jåwå Timur.
Kami menuju rumah Kartono,S.E., M.M., anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupatèn itu dariFraksi Demokrat, untuk wawancara perihal potensi wilayah tersebut, baik dibidang ekonomi maupun seni tradisi.
Dalam benak kami, sudahterbayang bahwasanya kami akan memeroleh data tangan pertama mengenaiperdagangan gelap kayu jati di sana.Kartono dulu lurah di desa tersebut. Yang menggantikannya istrinya, yang menangdalam pemilihan.
Saat itu saya pemimpinredaksi Koran Mingguan Berita Rakyat, yang berkantor di Jalan Pemuda No.71C, Kota Cepu, merangkap reporter, sedangkan kartunis Pèk Haré bertanggungjawab mengurus perolehan iklan, selain menjadi ilustrator.
Di kota Kecamatan Purwosari, dari jalan besaryang menghubungkan Cepu dan Bojonegoro, kami belok ke kanan. Setelah melompatirel kereta api, semestinya kami mengambil jalan belok ke kiri. Akan tetapi,kami lurus saja, menerabas perkampungan dan persawahan.
Karena merasa terlalu jauhmelambung, di tengah jalan, kami bertanya kepada pelintas jalan yang kami dugapenduduk setempat berapa Kilometer lagi kami akan sampai di Desa Kacangan?
“Bapak lurus saja, sampai dihutan Malingmati, belok kiri, kira-kira 28 Km lagi. Setelah Polsek Ngambon,Bapak akan sampai,” kata orang itu, pengendara motor yang sedang istirahat.Entah menuju ke mana ia.
Kantor Kepolisian Negara R.I.Sektor Ngambon? Itu berarti kami sudah masuk kecamatan lain. Sayaterheran-heran, koq ada desa dinamai Malingmati. Sesampai di sana, sejauh-jauh matasaya memandang, saya hanya mendapati pohon jati tua. Pohonnya tinggi-tinggi,mencakar langit.
Itulah perkenalan saya denganhutan di Malingmati. Karena tidak mengetahui betapa penting rimba tersebut,saya juga tidak menanyakannya kepada sumber berita yang saya temui di rumah Kartonoyang merangkap Kantor Lurah Kacangan.
(0) Hutan Monumen
MENURUT
ADMINISTRASI kehutanan, rimba di DesaMalingmati itu termasuk dalam
wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kaliaren, BagianKesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Kaliaren Barat, Kesatuan PemangkuanHutan (KPH)
Padangan.[1]
Selain ditetapkan sebagaihutan monumen, kawasan hutanseluas 99,9 hektare (ha.) di petak 84 C yang di tengahnya berdiri pohon jatiraksasa berdiameter 557 cm ini dikembangkan menjadi usaha wisata ilmiah.
“Wisata ilmiah ini… segeraterwujud, sebab di sekitarnya juga terdapat areal pusat kegiatan pembibitanjati plus untuk kebutuhan rehabilitasi hutan Jåwå dan Madurå, sehingga apabiladipadukan(, akan) menjadi objek wisata yang tiada duanya(, khususnya) untukmengetahui kecintaan kita terhadap hutan dan fungsinya,” kata pejabat Hubungan MasyarakatKPH Padangan, Tarso, di kantornya, Rabu 8 Oktober 2008 pagi.
Perhutani Padangan telahmengamankan keberadaan pohon jati raksasa itu, dengan cara menempatkan Polisi HutanTerpadu (Polhuter) selama 24 jam di dua pos pengamanan hutan yang berdekatandengan tempat berdirinya pohon itu.
Menurut Tarso, gagasan untukmembuka usaha wisata ilmiah itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, karenaprosesnya melalui tahap panjang, di antaranya mulai dari awal: mendapatkanpenetapan kawasan pohon jati raksasa sebagai hutan monumen pada tahun 2005, melaluisurat Kepala DivisiPerhutani bernomor 80/043.3/Can/Dir/2005 tertanggal 15 Maret 2005.
Soal hutan monumen, Tarsomenjelaskan pohon jati raksasa itu telah menjadi fenonema. Lokasi berdirinya berdekatandengan masyarakat desa. Penanamannya dimulai pada zaman pemerintah kolonial HindiaBelanda, tepatnya pada tahun 1857. Hamparan pohon jati raksasa dipagari dengankawat berduri yang kemudian oleh warga desa disebut sebagai hutan kawatberduri.
Selain itu, dari pohon jatiraksasa itu juga didapatkan benih jati pluslima ton dalamsetahun. Untuk satu Kilogramnya saja, dapat diperoleh 1.200 biji jati. Biji unggulanitu kemudian disemaikan dalam areal pembenihan yang berada di sekitar pohon.
Untuk menuju lokasi pohonjati raksasa itu, hawanya sangat sejuk, dengan kondisi jalan yang berkelokdipenuhi berbagai rintangan alam, sekaligus juga dengan pemandangan pepohonanjati yang masih rindang dengan sesekali berlintasan jenis hewan hutan disekitarnya, kata Tarso.
Menurut informasi yangdihimpun dari Rayon I Perum Perhutani Bojonegoro, pohon jati raksasa ituditanam pada tahun 1857, sekaligus merupakan salah satu tinggalan arsitekkehutanan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman W. Daendels.
Ketika itu, H.W. Daendelsmembuat dan membentuk organisasi teritorial kehutanan di Pulau Jåwå. Ia memperlakukankhusus pepohonan jati dengan mengeluarkan Undang-Undang Kehutanan. Tujuannya ialahagar pohon jati ditebang harus sesuai masa umurnya (masa tebang).
Namun, masa reformasi dankrisis moneter melanda Tanah Air. Pelaku illegallogging secara besar besaran memanfaatkan situasi ini untuk merambahkawasan hutan. Akibatnya pohon jati tua pun disikat habis dan hanya disisakansatu pohon.
“Pohon jati sebesar ini hanyaada satu di Tanah Air, ya di sini ini,” kata Tarso selaku mantri di kawasansekitar pohon jati raksasa.[2]
(Martin Moentadhim S.M.)
[1] Ren, “Amankan Jati Raksasa, Usaha WisataIlmiah,” dalam Surabaya Post,sebagaimana dikutip dalam http://publik.bumn.go.id/perhutani/, 9 Oktober 2008.
[2] Ibid.
Posting Komentar